Senin, 18 Juni 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #11-1







Sebelumnya



* * *


Sebelas
Setangkup Belahan Jiwa


Pelan-pelan, Kresna mengeja kembali kehidupannya. Tapi masih terasa ada sedemikian besar ruang kosong dalam jiwanya. Entah semula berisi apa, ia tidak tahu. Sekuat apa pun ia berusaha mengingatnya, semua hal yang ia coba pikirkan itu kembali terpental pada sebuah situasi hampa.

Mahesa dan Seta berusaha memahami hal itu. Sederhana saja. Kresna pasti masih merasa sedikit linglung dengan apa yang telah dialaminya beberapa saat lalu. Sejak ia jatuh ke jurang, hingga kemudian ditemukan kembali. Sehalus apa pun keduanya berusaha mengorek keterangan tentang apa yang sebenarnya terjadi saat ia hilang selama beberapa hari, jawaban Kresna tetap sama. Gelengan kepala disertai desahan, “Aku tidak tahu...”

Maka, Mahesa dan Seta pun berhenti bertanya. Kresna sudah kembali. Utuh. Selamat. Tak kurang suatu apa pun. Hanya saja sedikit linglung. Itu sudah lebih dari cukup. Dengan telaten Seta pun mengembalikan Kresna pada kehidupan semula. Kampus yang masih libur, sahabat, teman-teman, yang semuanya masih dikenal Kresna dengan sangat baik. Menimbulkan perasaan lega dalam hati Seta maupun Mahesa.

Tentang kenapa Alex bisa melakukan ‘kejahatan’ itu pada Kresna, mereka hanya bisa menduga-duga. Tanpa berani berbuat lebih. Membiarkan jawabannya disimpan Alex sendiri, masih dalam diamnya pada kondisi koma. Hingga akhir minggu itu Lavia muncul dengan wajah pucat pasi di rumah Kresna dan Seta. Mahesa sendiri yang membuka pintu depan untuknya.

“Selamat pagi, Om,” bisik Lavia.

“Ya?” Mahesa mengerutkan keningnya sedikit. “Selamat pagi,” senyumnya kemudian. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya...,” gadis cantik itu mendegut ludah. “Saya... ingin bertemu Kresna... atau Seta... atau... keduanya...”

“Oh...,” Mahesa mengangguk seraya melebarkan pintu. “Masuklah. Kamu temannya Seta dan Kresna?”

Gadis cantik itu mengangguk. “Ya, saya Lavia.”

“Oh...,” Mahesa kembali mengangguk.

Setelah menyuruh gadis itu duduk, Mahesa pun memanggil dua anak kembarnya sekaligus. Seta yang pertama muncul. Kresna masih mandi.

“Hai! Halo!” senyum Seta merekah melihat kehadiran Lavia di ruang tamu. “Sama siapa, Vi?”

“Hai!” Lavia berusaha membalas senyum Seta. “Aku sendirian. Mm... Kresna...?”

“Oh, dia baik-baik saja,” Seta tertawa ringan. “Lagi mandi. Kamu ada perlu sama Kresna atau aku?”

“Mm... Kalian berdua,” wajah Lavia mendadak saja terlihat seolah menyimpan beban.

“Oh?” Seta jadi ikut serius. “Ada apa, ya, Vi?”

Lavia tak menjawab. Gadis itu menghela napas panjang. Seolah mengulur waktu. Tapi tak terlalu lama, karena Kresna segera muncul begitu selesai mandi. Disapanya Lavia dengan ramah. Ia pun duduk di sebelah Seta.

“Nah, ini Kresna sudah ada juga,” ujar Seta, menepuk halus bahu kiri saudara kembarnya. “Gimana, Vi?”

Lavia menatap dengan resah pada kedua pemuda kembar itu. Tapi pada akhirnya ia buka suara juga. Dengan sangat lirih dan terbata-bata.

“Aku... sepertinya tahu... kenapa Alex... bikin celaka... Kresna...”

Sebuah kalimat terputus-putus yang membuat Seta dan Kresna seketika ternganga.

* * *

“Jadi... kita akan sama-sama ke ‘atas’, tapi harus berpisah, Bu?”

Suara lirih itu membuat airmata Wilujeng hampir luruh. Waktu terasa cepat sekali berlalu. Bahkan terlalu cepat. Sepertinya beberapa hari belakangan ini ada lubang besar sekali di hatinya. Lubang kosong menganga yang ia tak tahu kenapa dan tentang apa. Belum lagi hal itu terjawab, kini kenyataan lain kembali menghantamnya.

Waktunya untuk kembali ke ‘atas’ sudah ditentukan. Itu artinya ia akan berpisah dengan Pinasti kesayangannya. Dan, ia sungguh-sungguh tak tahu bagaimana bisa menyimpan ‘secuil’ Pinasti dalam ingatannya, karena semuanya akan terhapus begitu saja. Dihelanya napas panjang.

“Tapi suatu saat kita pasti akan bertemu lagi,” jawab Wilujeng dengan mata mengaca.

Pinasti memeluknya erat, berbisik, “Bagaimana kita akan tahu?”

“Ibu tidak tahu,” Wilujeng balas berbisik dan memeluk Pinasti. “Tapi Ibu yakin Gusti tidak akan sepenuhnya memisahkan kita. Gusti kita baik sekali, Pin.”

“Kenapa kalau Gusti baik, kita harus berpisah?”

Pelan, dengan sangat halus, Wilujeng melepaskan pelukan Pinasti. Dirangkumnya kedua belah pipi halus Piansti dengan kedua telapak tangannya yang hangat.

“Pinasti sayang, dengar kata Ibu,” Wilujeng menatap Pinasti dalam-dalam. “Nini bilang, kita punya garis hidup sendiri-sendiri. Garis yang kelak ada kemungkinan akan saling bersinggungan. Kita tidak tahu kapan. Tapi Ibu yakin, hati kita masih akan bisa saling mengenal dengan baik.”

Pinasti terdiam. Wilujeng masih merangkum wajahnya.

“Gusti akan menjaga kita,” bisik Wilujeng lagi. “Kita akan baik-baik saja.”

Pinasti pun perlahan mengangguk, walau sepenuhnya keraguan masih melanda hatinya. Pada saat itu Paitun muncul di beranda, tempat Wilujeng dan Pinasti bercakap. Ditatapnya kedua orang itu.

“Aku harap kalian sudah siap,” gumam Paitun. “Kami semua di sini akan kehilangan kalian. Memang akan selalu ada orang baru. Tapi bagaimanapun, kalian akan selalu ada dalam hati kami.”

Wilujeng balas menatap Paitun. “Benarkah kami akan seutuhnya melupakan tempat ini, Mak?” tanyanya sedih.

“Ya,” angguk Paitun. “Untuk melindungi tempat ini, Jeng.”

“Tapi kenapa Kang Saijan masih bisa terhubung dengan tempat ini, Mak?” suara Wilujeng terdengar bernada menuntut.

Paitun tersenyum samar. “Ada banyak perjanjian dengan Saijan, Jeng. Kami saling membutuhkan. Walaupun begitu, tetap saja ada batasan yang tak bisa ditembus Saijan. Dia tahu tempat ini ada. Begitu juga dengan keberadaan bawono lainnya. Tapi dia tetap tidak tahu bagaimana bisa masuk ke sini. Dan, aku masih bisa sewaktu-waktu menghapus ingatannya kalau dia sampai membahayakan tempat ini.”

Wilujeng termangu. Paitun mengerti apa yang dipikirkan Wilujeng. Perempuan itu tersenyum.

“Bukan kami tak percaya padamu atau Pinasti, Jeng,” ucap Paitun lembut, seraya dengan halus mengusap bahu kiri Wilujeng. “Tapi kalian semua punya peranan sendiri-sendiri. Gusti itu maha sempurna dalam mengatur segala sisi kehidupan kita semua. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua akan baik-baik saja.”

“Ni...,” suara lirih Pinasti menyeruak tiba-tiba.

“Ya?” masih dengan senyum terkembang di bibir, Paitun mengalihkan tatapannya pada Pinasti.

“Apakah... kehidupanku di ‘atas’... akan sama seperti... sekarang?”

“Tentu saja tidak,” Paitun menggeleng tegas walaupun suaranya tetap terdengar lembut. “Tapi kamu akan belajar lagi. Akan ada banyak bagian yang kosong dalam dirimu. Itu milik kehidupanmu yang baru. Sebagian lagi masih akan tertinggal di sini dalam bentuk lain. Hanya sebagian kecil saja. Dan..., kamu akan memiliki keluarga baru di ‘atas’ sana. Keluarga yang menyayangimu dan menganggapmu sangat penting. Kamu akan baik-baik saja.”

Pinasti mengalihkan tatapannya pada Wilujeng.

‘Kita akan baik-baik saja, Bu...,’ ucapnya dalam hening.

Wilujeng mengangguk.

“Nah,” Paitun berdiri. “Kalian masih punya waktu sehari ini di sini. Nikmatilah selagi bisa.”

“Aku ingin mengajak Pinasti ke padang bunga, Mak,” ujar Wilujeng.

“Ya, pergilah ke mana saja kalian suka,” angguk Paitun seraya beranjak masuk ke dalam pondok.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


3 komentar:

  1. Ttd presensi ndisek yoh. Mocoe ngkok ndisek wkkkkkkkkk. Bagas waras terus nyah !

    BalasHapus
  2. Yeyy,,, rasa kangenku pada pinasti terobati....
    Berhari2 nunggu mpe lupa makan minum tepat waktu hanya untuk ngintip blog saja...

    Lanjut lagi, mb Lizz

    BalasHapus