Jumat, 22 Juni 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #11-5









Sebelumnya



* * *

Tak puas-puasnya Mahesa menatap Wilujeng yang terlelap dengan wajah damai di ranjang besar mereka. Ada sedikit gurat lelah dalam wajah Wilujeng, tapi tak mengurangi kesan damai itu. Ia tak lagi akan menempati ranjang besar itu sendirian saat beristirahat setelah sibuk bekerja seharian. Itu membuatnya sangat lega sekaligus bahagia.

Wilujeng-nya memang tak lagi persis sama dengan Wilujeng tiga belas tahun yang lalu. Tapi yang ada di dekatnya saat ini memang benar-benar Wilujeng dalam bentuk lebih matang. Wilujeng-nya yang tetap cantik. Wilujeng yang amat sangat dirindukannya. Wilujeng yang dicintainya seumur hidup. Wilujeng belahan jiwanya.

Mahesa menghela napas panjang. Apakah ini artinya debar jantungku yang berlebihan sepanjang hari kemarin? Pelan, ia mengulurkan tangan. Menyentuh lembut anak-anak rambut di sepanjang batas kening Wilujeng. Ini benar-benar dirimu, Jeng... Ya, Tuhan, terima kasih! Terima kasih tak terhingga...

Walaupun Wilujeng kembali sendirian, tanpa adik Seta dan Kresna yang kemungkinan besar memang tidak selamat, tak mengapa bagi Mahesa. Wilujeng sendiri tak tahu nasib bayi mereka, karena tiba-tiba saja sudah melampaui masa tiga belas tahun tanpa bisa mengingat apa-apa dalam periode itu.

Mata Mahesa menghangat ketika mengingat kembali pertemuan mereka beberapa puluh menit yang lalu. Sebuah rasa ketidakpercayaan yang begitu besar saat melihat kembali sosok Wilujeng. Tapi semuanya buyar saat ia menyentuh dan memeluk Wilujeng. Sosok itu nyata. Benar-benar hadir kembali dalam kehidupannya.



Rasa-rasanya ia tak ingin melepaskan Wilujeng. Tapi sebuah sentuhan lembut di bahu menyadarkannya. Ia menoleh. Mendapati kedua perjaka kembarnya menatap dengan mata besar mereka. Ia masih meneteskan air mata, sekaligus tertawa, ketika meraih Kresna dan Seta dengan kedua tangannya.

“Ini anak-anakmu, anak kita. Sudah sebesar ini,” ucapnya dengan suara serak.

Kedua tangan Wilujeng terulur, membelai pipi Seta dan Kresna, kemudian menenggelamkan keduanya dalam pelukan.

“Persis seperti yang selalu kubayangkan,” bisik Wilujeng begitu saja, walaupun ia sendiri tak paham kapan pernah membayangkan wajah anak-anaknya.

Seketika Seta tersedu sambil memeluk erat Wilujeng.

“Maafkan aku, Bu... Maafkan aku... Aku nggak akan nakal lagi... Aku nggak akan pernah mencelakakan Ibu lagi...”

“Sudah... Sudah...,” bisik Wilujeng di telinga Seta. “Yang penting kita sekarang bisa berkumpul kembali. Ibu bisa pulang, dan kita bisa bertemu lagi.”

Sementara itu Kresna hanya bisa memeluk erat Wilujeng dan Seta sekaligus, dalam diam. Mulutnya seolah terkunci rapat. Ada terlalu banyak hal yang ia ingin ungkapkan. Pada akhirnya, semua itu hanya bisa dinyatakannya dalam pelukan erat. Penuh kerinduan.

“Maaf, Pak...”

Suara itu menyentakkan Mahesa. Laki-laki itu menoleh. Polisi bernama Royan itu masih ada di dekat mereka. Menyadari hal itu, Mahesa buru-buru menggiring mereka semua masuk ke dalam rumah.

“Jadi benar, Ibu Wilujeng itu istri Bapak?” tanya Royan setelah duduk nyaman di ruang tamu. Hanya berdua saja dengan Mahesa. Kresna dan Seta membawa Wilujeng masuk ke bagian dalam rumah.

“Betul, Pak,” Mahesa mengangguk dengan mata mengaca. “Kami mengalami kecelakaan lalu lintas sekitar tiga belas tahun lalu di jalur Pegunungan Pedut. ...,” dan Mahesa pun menceritakan kronologi kejadian itu.

Sesekali Royan manggut-manggut. Menemukan kecocokan penjelasan Mahesa dengan pengakuan Wilujeng.

“... Sejak saat itu kami tak lagi pernah mendengar kabarnya,” Mahesa tertunduk. “Juga tak dapat menemukan jasadnya seandainya dia memang benar-benar kehilangan nyawa. Tapi dia hilang begitu saja.”

“Tapi syukurlah sekarang Ibu sudah kembali, Pak,” senyum Royan.

“Betul, Pak. Saya dan anak-anak bersyukur sekali. Oh, ya, bagaimana istri saya bisa ditemukan, Pak?”

Royan kemudian ganti bercerita tentang kedatangan Wilujeng ke Kantor Polsek Ngentas Timur.

“Karena atasan kami menganggap Ibu harus segera diantarkan, maka semalam apa pun, kami antarkan langsung ke sini, Pak,” Royan menutup penjelasannya.

“Terima kasih banyak, Pak. Saya tak tahu harus bagaimana membalas kebaikan Bapak,” Mahesa menangkupkan telapak tangan di depan dada.

“Sudah jadi tugas kami, Pak,” Royan menganggukkan kepala. “Oh, ya, sewaktu-waktu Polsek Palaguna Kota meminta keterangan ke mari, minta tolong dibantu, ya, Pak?”

“Oh, baik. Baik, Pak.”

Royan segera minta diri. Hendak melaporkan diri ke Polsek Palaguna Kota dan beristirahat sejenak, sebelum kembali ke Ngentas, Maniksuri.



Mahesa mengerjapkan mata ketika hidungnya samar-samar mencium aroma sedap dari arah luar kamar. Kembali ditatapnya Wilujeng. Rasa-rasanya ia masih tak rela meninggalkan Wilujeng walau hanya sejenak untuk menengok dapur. Takut kalau ia nanti kembali, Wilujeng-nya akan menghilang lagi. Tapi tampaknya ia memang tak perlu melakukan niatnya. Aroma itu sudah jelas. Tumisan bumbu nasi goreng.

Laki-laki itu tersenyum. Pasti kedua anak kembarnyalah yang sibuk di dapur. Karena ia sengaja meliburkan ART mereka untuk hari ini dan besok. Senyampang ada dua tanggal merah berimpitan. Dan, ia bersyukur atas keputusan itu. Karena itu artinya mereka punya waktu hanya berempat untuk meretas segala kerinduan. Tanpa diganggu oleh siapa pun.

Lalu, ia kembali menatap Wilujeng. Sepuasnya. Hingga perempuan cantik itu terjaga. Terlihat bingung sejenak, sebelum memberinya senyum teramat manis. Dan, Mahesa memeluknya erat. Lagi dan lagi.

* * *

Wilujeng menatap berkeliling sambil berjalan keluar dari kamar utama di lantai atas, menuju ke dapur, digandeng erat oleh Mahesa. Nyaris tak ada yang berubah dari rumah itu. Sebagian besar masih tetap sama dengan saat ia tinggalkan dulu. Ada beberapa perabotan dan alat elektronik baru, tapi suasana rumah mereka masih tetap sama. Hangat dan menyenangkan.

Mata Wilujeng berbinar ketika Mahesa mendudukkannya di kursi, menghadap meja makan. Sebetulnya Seta dan Kresna ingin menata sarapan di taman belakang, tapi matahari sudah cukup tinggi dan sinarnya mulai menyengat. Maka keduanya pun menyiapkan sarapan di meja ruang makan. Hanya semangkuk besar nasi goreng udang, telur dadar, acar mentimun-wortel, kerupuk udang, dan emping melinjo goreng.

“Wah... Ini siapa yang masak?” Wilujeng membelalakkan mata indahnya dengan takjub.

Seta dan Kresna saling menunjuk sebelum tawa riang mereka pecah.

“Kami berdua, Bu,” jawab Kresna, akhirnya.

Wilujeng mencicipi sesendok nasi goreng yang diambilkan Mahesa, lengkap dengan telur dadar, acar, dan emping melinjo goreng, kesukaan Wilujeng. Setelahnya, ia tak bisa berhenti menyuap dan mengunyah. Bahkan menambah sepiring lagi. Ia sedikit tersipu ketika menyadari bahwa tatapan diiringi senyum dikulum dari ketiga laki-laki tercinta yang ada begitu dekat di sekitarnya.

“Mm... Ibu rakus, ya?” ia sedikit meringis. “Tapi ini enak sekali. Kalian jago masak rupanya!”

Tawa ketiga laki-laki itu pecah seketika. Mahesa yang duduk di sebelahnya meraih dan merengkuh bahunya.

“Makanlah seberapa pun,” ujar Mahesa. “Mintalah apa pun. Sepanjang aku dan anak-anak mampu memenuhinya, akan kuberikan semuanya padamu, Bu.”

“Owh...,” seketika Wilujeng menatap Mahesa, dengan kerlip cinta memenuhi matanya. “Terima kasih, Yah...”

“Ehm...,” Kresna berdehem, menoleh pada Seta. “Kayaknya lama, nih, lo bakal dilepas Ayah urusin perusahaan sendirian.”

Seta terbahak. Ia tahu maksud Kresna. Tahu sekali.

“Jelaslah... Kan, bakalan ada yang bulan madu lagi...,” Seta mengerucutkan bibirnya dengan ekspresi jenaka.

Mereka terbahak lagi. Meriah sekali suasana ruang makan itu.

“Eh, perasaan semalaman kita nggak tidur. Kok, nggak ngantuk, ya?” celetuk Seta kemudian.

“Halah... Sebentar lagi juga kita pada teler,” Kresna meringis. “Nih, mataku juga sudah pedes.”

“Nggak apa-apa... Hari libur ini,” sahut Mahesa dengan nada santai. “Habis ini kita kelonan lagi, ya, Bu?”

Wilujeng langsung tersipu. Kresna dan Seta kembali terbahak. Jelas sekali atmosfer kebahagiaan memenuhi ruangan itu.

“Padahal kita kangen juga sama kelonan Ibu, ya, Kres,” lengan Seta menyenggol lengan Kresna.

Sang saudara kembar buru-buru mengangguk dengan wajah jahil. Mahesa dan Wilujeng tertawa lebar melihatnya.

“Ya, sudah, kita kelonan berempat,” ujar Mahesa. “Semoga tempat tidur kita kuat, nggak ambleg.”

Mereka terbahak lagi, untuk kesekian kalinya.

* * *

Dengan sangat lembut, Wilujeng membelai pipi Seta dan Kresna yang sudah terlelap di ranjang besar di kamar utama. Tak puas-puas, ditatapnya kedua pemuda itu. Rasa-rasanya masih sulit memercayai, bahwa pada akhirnya ia bisa kembali lagi ke rumah ini. Bertemu lagi dengan suami dan anak kembarnya dalam kondisi hidup dan utuh.

Ketika ia membelai pipi Kresna, sesaat ia merasa seperti terjebak dalam sekilas deja vu. Rasa-rasanya, belum lama ini ia melakukan hal yang sama.

Tapi kapan? Di mana?

Sementara ia sendiri sempat terjebak dalam lorong gelap selama belasan tahun lamanya, entah di mana dan melakukan apa saja. Sesuatu yang ia sama sekali tak bisa mengingatnya.

“Sekitar dua minggu lalu, Kresna sempat hilang selama sekitar sembilan hari,” gumam Mahesa. “Rasanya aku sudah hampir gila, Jeng.”

Wilujeng menoleh cepat. “Di mana? Bagaimana kejadiannya?”

Mahesa kemudian menuturkan peristiwa hilangnya Kresna. Termasuk saat hatinya cenderung menuduh bahwa Seta-lah yang telah sengaja mencelakakan saudara kembarnya sendiri.

“Dan, sama sepertimu,” Mahesa menatap Wilujeng dengan mata mengaca. “Dia juga sama sekali tak ingat apa pun selama dia hilang. Cukup jauh jaraknya dari tempat dia hilang dengan tempat dia ditemukan. Sama persis sepertimu.”

Wilujeng kehilangan kata. Ditatapnya kembali Kresna dan Seta. Dibelainya kembali pipi kedua pemuda itu.

“Perasaanku bilang, Seta sudah berubah,” bisik Wilujeng. “Tak lagi senakal dulu.”

“Ya,” angguk Mahesa. “Dia benar-benar menyesal sudah menyebabkan kita celaka dan kamu hilang. Perlu penanganan psikolog soal itu. Tapi dia pejuang, Jeng. Anak-anak kita adalah pejuang yang hebat. Aku bangga sekali pada mereka.”

Tatapan Wilujeng meredup. “Dan, aku tak ada di samping kalian untuk melihat mereka berjuang dan tumbuh besar seperti sekarang.”

Tangan Mahesa terulur. Membelai puncak kepala Wilujeng.

“Yang penting kamu sudah kembali, Jeng. Utuh, selamat, tak kurang suatu apa pun.”

Wilujeng mengangguk. “Ya, dan banyak sekali ketinggalan yang harus kukejar.”

“Dunia berputar cepat sekali, Jeng,” senyum Mahesa.

Wilujeng tertegun sejenak. Ya, dunia cepat sekali berputar... Dan, rasa-rasanya ia seperti kehilangan sesuatu. Entah apa. Tapi secepatnya ia menindas habis perasaan itu. Lalu, sesuatu seperti menyentil benaknya. Ditatapnya Mahesa baik-baik.

“Apakah... pernah ada orang lain?” gumam Wilujeng. “Perempuan lain?”

Dengan tegas Mahesa menggeleng. “Tak pernah ada, Jeng. Bagiku, cuma kamu belahan jiwaku. Dulu, kemarin, sekarang, selamanya.”

Tak ada setitik kebohongan pun dalam manik mata Mahesa. Itu yang didapati Wilujeng.

“Tanyakan saja pada anak-anak,” senyum Mahesa.

Wilujeng pun ikut tersenyum. “Ya, aku percaya.”

Mungkin cinta Mahesa juga yang membuatnya bertahan dalam kegelapan total ingatan kosong selama tiga belas tahun lamanya. Cinta dari seorang belahan jiwa sejati yang membuatnya bisa kembali.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


4 komentar:

  1. Aaaawwwwww so sweet .......
    Lope" temen aq kambek cerbung iq mb Lis !
    Karek ngenteni critae Pinasti.
    Tamba garai semangat kemping terus gek sini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heluk ditinggal budal dines diluk ae es kedisikan ojob awak rek wkkkkkkkkkkk

      Hapus
  2. Ayo lanjut mumpung masih ada sirup lebaran. Hehehe

    BalasHapus