Rabu, 06 Juni 2018

[Bukan Fiksi] Tulis Sendiri Cerita Anda







Membaca adalah hobi saya banget. Dari kecil. Pas TK saya sudah bisa membaca. Masih grothal-grathul tentu saja. Dan itu bukan paksaan. Kan ada teman bermain dan belajar (Majalah Bobo) 😁. Entah dilanggankan Majalah Bobo mulai kapan. Yang jelas ibu saya kalo lagi masak sering saya rusuhi buat bacain Bobo. Itu sebelum saya sekolah. Udah dapet gilirannya terakhir (di-rayah kakak-kakak saya duluan gilirannya), belum bisa baca lagi. Akhirnya bisa juga membaca. Nulis belum bisa. Kayaknya baru TK ada latihan nulis huruf dan angka pakai titik-titik yang dihubungkan (atau saya belajar sendiri dari buku bergambar yang dibelikan Babeh? Saya lupa). Nanti kelas 1 SD belajar lagi baca-tulis. Nggak kayak SD jaman sekarang yang (kadang-kadang) pake ujian calistung dulu sebelum boleh masuk SD.

Back to the topic

Entah sejak tahun berapa juga ibu saya langganan Majalah Femina. Yang jelas, pas SD saya sudah mulai intip-intip baca cerpen dan cerbung (disebutnya cerber) Femina. Kadang kakak-kakak saya juga rusuh minta dibelikan Majalah Anita Cemerlang yang saat itu isinya kumpulan fiksi thok. Pastilah saya kecipratan ikut ngintip.

Salah satu cerber Femina yang nancep banget di kepala saya yang masih SD kicit adalah "Petromarin". Ditulis oleh Marga T. Itu saya jatuh cinta bener sama tokoh laki-lakinya, namanya Steve Finito. Penggambaran karakternya yang dingin kayaknya perfect banget. Sayangnya, si tokoh Steve ini mati, dan itu sedih banget buat saya. Dari situ, saya jadi ingin menulis sendiri fiksi saya, yang 'harus' berakhir bahagia.

Berikutnya, yang nancep banget juga di kepala saya adalah cerbung Sidney Sheldon yang dimuat di Koran Kompas (Babeh langganan juga nih koran pagi, biarpun nyampenya di rumah jam 2-3 siang). Judulnya "Pasir Waktu" (The Sands of Time). Dan saat itu belum terbit terjemahannya sebagai novel. Saya jatuh cinta juga sama tokohnya. Jaime Miro. Seorang pemimpin pemberontak ETA di Spanyol (dari etnis Basque kalo nggak salah). Dan, kisah ini berakhir manis, nggak tragis. Jalinan ceritanya amat sangat memukau. Sejak saat itu, Sidney Sheldon masuk dalam deretan penulis favorit saya.

Jaman akhir SMP atau awal SMA (saya lupa) tau-tau saya dapat hadiah ultah berupa novel "Kincir Angin Para Dewa". Whoooaaa... Suenengnya jangan ditanya! Bahkan sampai sekarang novel itu masih saya simpan walopun sudah rada lecek (thanks to Sam Noid πŸ™). Daaan... Setelah itu saya nggak bisa berhenti baca karya Sidney Sheldon. Mulai dari pinjam temen, pinjam di perpus berbayar, dan beli sendiri (dari honor pemuatan cerita). Semua karya Sidney Sheldon sudah saya baca. Ketika blionya meninggal dunia, saya sedih banget. 

Novel lainnya juga saya baca. Karya Marga T. terutama. Numpang pinjem teman SMA saya bernama Mimi. Trilogi Saskia-Kishi-Oteba (1-2) saya sikat habis. Belum lagi novel V. Lestari, S. Mara Gd., dan Mira W. Kalau novel yang ditulis oleh 3 nama terakhir ini saya bisa baca karena pinjam di perpus berbayar di depan sekolah Santa Maria Malang (ada di Jalan Telomoyo). Termasuk beberapa komik Jepang, karya Barbara Cartland, dll. Pernah juga jaman SMP pinjem komik wayangnya sohib saya Jeng Dani Purwanto. Baru berhenti sewa-menyewa setelah saya kerja karena nggak punya waktu lagi 😁.

Daaan... Jaman SMP itulah saya mulai coba menulis fiksi saya sendiri. Amburadul pasti. Tapi bisa beredar di 'bawah tanah' untuk dibaca sohib-sohib yang sama gemblungnya kayak saya. Masih terpengaruh banget sama fiksi-fiksi manis dari Majalah Anita. Oh iya, ada satu lagi novel (kalo jaman sekarang kayaknya disebut sebagai teenlit) berjudul "Sebuah Makhluk Mungil" karya Katyusha. Ini cerita juga nancep banget di kepala saya.

Jaman SMA juga saya masih nulis cerita. Masih sekacau jaman SMP alias nggak ada kemajuan πŸ™ˆπŸ™ˆπŸ™ˆ Makluuum... Abal-abal abadi... Jadi, lebih banyak membaca daripada menulis.

Jaman kuliah, mulai coba kirim ke Majalah Anita. Langsung ke event lomba. Menang? Pastilah enggak! 🀣🀣🀣 Tapi dianggap layak untuk mengudara. Judulnya saya inget bener "Cerita Tiga Hati". Di mana saya tuliskan semua dalam gaya 'aku' untuk tiga tokoh utamanya. Rasa-rasanya gΓͺndhΓͺng juga coba masuk ke tiga karakter sekaligus (satu cewek, dua cowok). But I did it. Setelah itu walopun nggak rutin, ya ada aja karya saya yang nongol di Majalah Anita. Dan berikutnya ada beberapa di Majalah Bobo.

Sekarang? Menggila di blog gratisan. Saya merasa bisa tetap menjaga kewarasan dengan menulis. Apalagi menulis cerita manis yang berakhir bahagia. Jujur, saya males nulis cerita tragis. Ya sesekali pernahlah. Coba-coba keluar dari zona nyaman. Hasilnya ya gitu dweeeh... Teteeep bercita rasa abal-abal. Tapi pada dasarnya, saya menganggap fiksi (dan menulis fiksi) adalah hiburan. Dalam benak saya yang cuma sekecil separuh buah kemiri ini, apa iya namanya menghibur kalo hasilnya tragis? πŸ˜πŸ™

Lalu, apakah cerita dengan akhir tragis dan menyedihkan itu jelek? Ya nggak juga laaah... Tergantung gimana caranya menjalin cerita. Nilai bagus dan jelek itu sama relatifnya dengan kepuasan pembaca. Cuma masalah 'rasa' dan 'selera'.

Jadi, merasa nggak puas dengan cerita yang Anda baca? Terutama cerita-cerita super ngaco di blog ini yang memang bermutu abal-abal tingkat dewa? Karena mungkin kurang sesuai dengan ekspektasi yang sudah telanjur Anda gantung terlalu tinggi?

Mungkin memang sebaiknya Anda mulai menulis sendiri cerita yang Anda kehendaki dan harapkan. πŸ˜ŠπŸ™πŸ’•


Salam hangat,
Lizz



Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

4 komentar:

  1. Hwaaa makasih Bu Lis udah mau jadi guru online buat belajar fiksi. Thank you soooo much... (maafkan pembaca alay ini.) πŸ˜‚

    BalasHapus
  2. Eh aku suwe buanget yo ora nulis...

    #barunyadar

    BalasHapus
  3. Hiks..hiks...banyak gawe, nggak bisa bikin cerita, pantesan akhir2 ini aku sering error

    BalasHapus