Senin, 25 Juni 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #13-1







Sebelumnya



* * *


Tiga Belas
Meniti Guliran Waktu


Amnesia sebagian...

Taruno menatap putri yang kini tinggal satu-satunya itu dengan sedih. Alma tengah duduk di atas ranjang rumah sakit. Sibuk membuka-buka sebuah album foto keluarga yang kemarin sore diantarkan ke rumah sakit oleh sopir mereka. Dengan sabar, Misty menjelaskan satu demi satu siapa saja yang ada dalam foto itu dan pada kesempatan apa foto itu diambil.

Alma sudah mulai pulih. Bisa bicara dengan lancar. Bisa membaca, menulis, berhitung, dan mampu mengenali banyak nama benda beserta fungsinya dengan tepat. Hanya ingat nama lengkap dan nama panggilannya, dan mengenal Taruno dan Misty sebagai ayah dan ibunya tanpa ingat siapa nama mereka. Tapi gadis muda itu seolah benar-benar terputus dari relasi sosial dan perkembangan teknologi. Belum mampu mengingat orang selain ayah-ibunya, dan asing dengan televisi, laptop, maupun ponsel.

“Bisa dibilang wajar,” ucap Dokter Kana kemarin siang, “karena kepalanya mengalami benturan hebat dengan benda keras. Tapi saya yakin dia bisa pulih. Mungkin prosesnya panjang. Jadi memang harus bersabar.”

Pelan, Taruno mengembuskan napas panjang. Saat itu Alma mengangkat wajah. Menatapnya.

“Jadi, kapan aku boleh pulang?” tanya Alma tiba-tiba.

“Mungkin dalam beberapa hari ini, sayang,” senyum Taruno.

“Kamu sudah bosan di sini, ya?” Misty mengelus lembut kepala Alma.

Gadis cantik itu mengangguk.

“Apa aku punya buku?” celetuknya lagi.

“Ada,” Taruno mengangguk antusias. “Banyak! Mau buku apa?”

“Apa saja.”

“Baik, Ayah akan telepon Pak Soli agar bawa ke sini novel-novel kesukaanmu.”

Sejenak kemudian Taruno sibuk dengan ponselnya. Sementara Alma mengamatinya nyaris tanpa kedip, sebelum kembali menekuni album foto besar yang masih terbuka lebar di atas pangkuannya.

* * *

Mm... Hape, henfon, telepon genggam, telepon seluler, ponsel...

Alma berusaha mencatat baik-baik nama benda di tangan ayahnya itu. Ia kemudian kembali menunduk. Ditunjuknya sebuah foto.

“Kalau yang ini, Bu? Siapa saja?”

“Oh, itu keluarga besar kita. Diambil saat pernikahan sepupumu tahun lalu. Yang ini Pakde dan Bude Ripto. Yang ini Tante Mirta dan Om Sunu. Yang ini...”

Dengan sangat telaten Misty menjelaskan satu demi satu siapa saja yang berjajar rapi dalam foto itu. Taruno sudah selesai dengan pembicaraannya di ponsel. Ia kemudian mendekati ranjang dan duduk di tepinya. Direngkuhnya bahu Alma dengan penuh kehangatan.

“Tadi Dokter Kana bilang, siang ini kamu boleh makan makanan kesukaanmu. Apa pun yang kamu sukai. Nah, kamu mau apa saja?”

Alma berpikir sejenak. Selintas pikiran tiba-tiba saja masuk ke dalam benaknya.

“Mm... Ayam crispy yang pedas, sup jagung manis, kentang goreng, green salad, dan... soda stroberi.”

Hening sejenak. Alma melihat bahwa ayah-ibunya bertatapan.

“Kenapa?” diam-diam ia meringis. “Banyak, ya? Mm... Aku lapar, Yah, Bu...”

Gelak tawa Taruno dan Misty pecah seketika. Taruno mengeratkan rengkuhannya.

“Tidak, tidak,” ucap Taruno di tengah gelak tawanya. “Tidak apa-apa. Itu semua makanan favoritmu. Dan, kamu bisa mengingatnya dengan baik! Ah, anak Ayah...,” Taruno mengecup puncak kepala Alma.

“Nanti kalau Pak Soli datang, biar sekalian Ibu suruh belikan di resto sebelah,” timpal Misty dengan mata berbinar.

Alma mengangguk-angguk dengan wajah riang. Entah kenapa, ia suka sekali dengan kehidupannya yang sekarang. Walaupun sama sekali tak mampu mengingat seperti apa ia di masa lampau.

* * *

Lukisan terbaru Kresna sudah jadi. Diam-diam Wilujeng tercekat ketika menatapnya. Sekaligus ada rasa seolah hendak tersedot ke dalam lukisan itu.

Pemandangan yang memenuhi kanvas berukuran 90x60 sentimeter sungguh indah. Gambaran sebuah padang bunga dinaungi langit biru cerah dan sedikit arakan mega putih. Beraneka warna dan ragam bunga bermekaran, seolah saling berebut perhatian siapa pun yang melihatnya. Ada semburat warna hijau segar dedaunan di sana-sini. Pun julangan sebuah tebing di kejauhan.

Benar-benar menyeret Wilujeng dalam situasi deja vu. Dengan ragu, ditatapnya Kresna yang tengah asyik merapikan alat-alat lukisnya.

“Kamu pernah pergi ke tempat seindah ini, Kres?” tanya Wilujeng. “Di mana?”

Kresna mengalihkan perhatiannya, Ditatapnya Wilujeng, lalu pemuda itu menggeleng.

“Rasa-rasanya belum pernah,” jawabnya. “Tapi bermalam-malam aku bermimpi tentang pemandangan ini sebelum aku mulai menuangkannya pada kanvas. Selalu pemandangan yang sama, Bu. Dan, mimpi itu berhenti ketika aku mulai melukisnya.”

“Oh...,” Wilujeng manggut-manggut.

Ia kemudian duduk di tepi ranjang Kresna. Ditatapnya baik-baik anak laki-lakinya itu.

“Mm... Ibu dengar dari Ayah, kamu pernah hilang selama beberapa hari. Benar?”

Kresna kini benar-benar menghentikan kesibukannya. Pemuda itu memutar arah duduknya, tepat menghadap pada Wilujeng.

“Ya, Bu,” angguk Kresna. “Aku mendaki Gunung Nawonggo bersama teman-teman. Ada Seta juga. Sampai akhirnya aku didorong ke dalam jurang oleh Alex. Lalu, aku seolah-olah tersedot masuk ke lorong yang gelap gulita. Entah di mana, kenapa, berapa lama, dan apa yang terjadi, aku sama sekali tidak tahu. Baru sadar setelah seseorang menemukanku. Jauh sekali dari tempat aku jatuh.”

Wilujeng tercenung mendengarnya. Yang pernah dialaminya nyaris persis sama dengan yang baru saja diungkapkan Kresna. Hanya saja rentang waktunya jauh lebih lama. Tiga belas tahun. Begitu saja ia seolah terlempar kembali ke dalam terang dalam kondisi sudah menua. Kondisi yang memang sudah seharusnya ia alami.

“Bu...,” Kresna tiba-tiba saja sudah berlutut di depan Wilujeng. Menggenggam tangan Wilujeng dengan erat dan hangat. Berucap lembut, “Apa pun yang terjadi pada kita, yang penting kita sudah kembali ke rumah. Bisa berkumpul lagi bersama.”

“Ya,” Wilujeng mengangguk dengan mata mengaca. “Kamu benar.”

“Nah,” Kresna melepaskan genggaman tangannya dan berdiri. “Sudah jam segini, Bu. Sebaiknya kita siap-siap untuk jemput Ayah dan Seta.”

“Oh, ya, ya!” Wilujeng menengok jam dinding.

Sudah hampir pukul sebelas siang. Ia dan Kresna sudah berjanji untuk menjemput Mahesa dan Seta di kantor. Mereka berempat akan menikmati makan siang bersama di luar. Membayangkan itu, Wilujeng tersenyum dan beranjak dari duduknya.

* * *

Paitun menghela napas panjang. Bawono Kinayung jadi jauh lebih sepi tanpa kehadiran Wilujeng. Bagaimanapun perempuan cantik itu sudah membuat suasana Bawono Kinayung jadi lebih semarak selama beberapa tahun belakangan ini.

Ia menatap berkeliling. Bilik Wilujeng dan Pinasti sudah bersih. Buku-buku yang selama ini menghiasi rak dan hampir memenuhi dua sisi dinding sudah bersih dan dipak rapi. Siap dikirimkan ke pemiliknya secara bertahap.

Pinasti ajak sudah memilih untuk tidak menempati bilik itu. Ia lebih suka tidur melingkar di sudut ruang depan, beralaskan sehelai daster bekas milik Wilujeng, seperti saat ini, siang ini. Pada malam hari, ia akan bertualang bersama Janggo. Terkadang juga bergabung dengan para ajak lainnya menjelajah lebatnya hutan di dasar-dasar jurang Gunung Nawonggo. Sebuah kehidupan baru yang dinikmatinya dengan riang.

‘Tun...’

Paitun sedikit tersentak ketika suara itu menggema dalam benaknya, disertai aroma wangi yang menguar memenuhi udara dalam pondok itu.

‘Ya, Gusti?’ ia menanggapi panggilan itu dengan sangat sopan.

‘Sebaiknya besok pagi-pagi sekali, kamu dan Tirto pergi ke Bawono Kecik. Ajak juga Janggo dan Pinasti. Ada orang baru yang akan datang malam ini. Bawalah ke sini, rawatlah dengan baik.’

‘Baik, Gusti.’

Lalu, ia mendapat satu pesan lagi yang harus diselesaikannya siang ini juga. Sebuah pesan yang langsung disanggupinya dan membuatnya bisa tersenyum lega.

Maka, ia pun segera bersiap diri. Menutup pikiran dan jiwanya. Berkonsentrasi pada satu hal yang baru saja menjadi tugasnya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

3 komentar: