"Kamu benar-benar sudah siap kembali ke sekolah?" Misty menoleh sekilas di tengah kesibukannya mengemudi mobil.
Misty tersenyum tipis. Bagaimanapun, kehidupan mereka harus terus berjalan setelah peristiwa mengerikan dan menyakitkan itu terjadi. Diam-diam, semangat Alma menular padanya dan Taruno. Apalagi Alma sudah menceritakan mimpinya pada mereka. Bahwa Alda baik-baik saja. Dan, ia cukup percaya bahwa mungkin benar bahwa mimpi itu adalah salah satu cara Alda untuk menyampaikan kabarnya pada mereka.
Beberapa belas menit setelah meluncur meninggalkan rumah, city car itu pun tiba di depan gerbang sekolah. Misty langsung berbelok masuk ke area parkir.
"Melihat semangatmu seperti ini, sebenarnya Ibu nggak perlu, ya, mengantarkanmu sampai masuk ke kelas?" senyum Misty sembari membuka pintu mobil.
Alma tergelak ringan. Mungkin memang terlihat sedikit kekanakan, diantar ibunya sampai ke kelas. Tapi Alma cukup memahami apa yang dirasakan sang ibu. Kini, ialah satu-satunya putri yang dimiliki ibu-ayahnya. Tentunya mereka tak mau merasakan kehilangan lagi.
Dengan bergandengan tangan, mereka pun masuk ke area dalam sekolah melalui lobi. Tapi...
Seketika Alma ternganga. Belum lagi kaki mereka sampai di batas antara lobi dan bagian dalam, belasan teman sekelasnya datang menyerbu dan menyambut. Alma tertawa dan menangis sekaligus. Gembira dan terharu melihat sambutan meriah teman-temannya.
"Nah, Ibu antar sampai di sini, ya?" Misty tersenyum lebar.
"Tenang saja, Tante," ucap seorang gadis berkuncir ekor kuda. "Kami bakal jagain Alma."
"Iya... Tante percaya...," Misty tergelak, menutupi rasa harunya.
Ia pun berpamitan. Meninggalkan Alma dalam kerumunan teman-temannya.
Mendekati kelas, langkah Alma tersendat lagi. Ia hanya mampu terpaku ketika melihat bentangan spanduk lebar dan panjang di atas pintu ruang kelasnya.
SELAMAT DATANG KEMBALI,
ALMA KRIWIL!!!
Ia tertawa geli membaca spanduk itu. Sisa teman-temannya yang tidak ikut menyambut di lobi kini menyerbunya. Berebut menyalami dan merangkulnya. Tak lama kemudian beberapa guru ikut bergabung. Alma pun digiring masuk ke dalam kelas.
Suasana dalam kelas bercat kuning gading itu benar-benar hangat pagi ini. Alma kriwil sudah kembali. Siap untuk meramaikan persaingan antar pelajar dengan kecerdasan papan atas dalam kelas itu.
Pada suatu detik, Alma melihat berkeliling. Kelasnya yang selalu bersuasana meriah. Kelasnya yang tetap hangat walaupun ada suasana persaingan. Teman-teman yang menyenangkan. Guru-guru yang penuh perhatian. Semua itu membuat semangatnya kembali membara.
Ketika bel masuk berbunyi, mereka pun segera membubarkan diri. Mendadak saja Alma teringat pada Alda yang biasanya berada tak jauh darinya pada jam sekolah. Hanya ada di lokal SMA di sebelah. SMA yang berada di bawah naungan yayasan yang sama dengan SMP tempatnya menuntut ilmu. Dihelanya napas panjang.
Ah, Kak... Sekarang aku sendirian...
Sebersit kesedihan menyusup masuk ke dalam hati tanpa bisa dicegah.
'Hayo! Belajar! Jangan melamunkan Kakak saja kerjamu!'
Alma tersentak tiba-tiba. Suara tegas Alda begitu saja menggema di telinga.
Ah! Kakak masih mengawasiku, rupanya!
Buru-buru ia menegakkan punggung. Kelas mulai menghening bersamaan dengan masuknya seorang guru perempuan berpenampilan apik. Dan, pelajaran pun dimulai.
* * *
Nun jauh di benua lain, Mahesa dan Wilujeng mulai menikmati liburan dalam aroma bulan madu yang sangat manis. Sepenuh hati Mahesa memanjakan Wilujeng. Menebus waktu tiga belas tahun perpisahan mereka. Menebus semua kerinduan yang sudah jauh melampaui batas yang bisa mereka tahan.
"Aku sudah berjanji untuk melakukan selamatan besar-besaran kalau kamu benar-benar kembali, Jeng," bisik Mahesa. "Tapi aku belum melakukannya."
"Mm...," Wilujeng menatap Mahesa. "Bagaimana kalau selamatan itu disalurkan dalam bentuk bantuan ke panti asuhan saja, Mas?"
Mahesa balas menatap Wilujeng, dengan pendar rasa cinta memenuhi matanya.
"Apa pun yang kamu inginkan," Mahesa meraih tangan Wilujeng dan mencium punggung tangan itu dengan lembut.
"Juga seandainya aku menginginkan bantuan itu diberikan secara berkesinambungan?" Wilujeng mengangkat alisnya.
Mahesa tertawa.
"Siapa takut?" ia kemudian menanggapinya dengan antusias. "Aku yakin, kita tidak akan bertambah miskin hanya karena menambah bantuan untuk satu atau dua panti asuhan lagi."
"Ah...," Wilujeng tampak sedikit terpana. "Mas Hesa masih meneruskan kebiasaanku?"
Mahesa mengangguk.
"Tiga panti asuhan yang biasa kamu beri bantuan tak pernah telantar saat kamu menghilang selama belasan tahun, Jeng. Aku dan anak-anak meneruskan semua kebaikanmu."
"Oh...," Wilujeng tak lagi mampu berkata. Hanya bisa memeluk erat Mahesa sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Good post mas
BalasHapusLanjut!!!
BalasHapus