Selasa, 26 Juni 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #13-2










* * *


Taruno dan Misty sama-sama mengistirahatkan tubuh lelah mereka, duduk bersisian di sofa. Taruno merengkuh hangat bahu Misty, sedangkan Misty merebahkan kepalanya di dada Taruno. Bersamaan, keduanya mengembuskan napas lega.

Alma sudah kembali terlelap. Setelah Alma menyantap habis semua makanan yang dimintanya dan minum obat, ketiganya mengobrol sejenak. Kemudian Alma mulai memilih koleksi bukunya untuk dibaca. Ia menemukan sebuah novel yang kelihatannya cukup bagus, justru karena kondisi novel itu sudah sedikit lecek, tanda agak terlalu sering dibaca. “Omerta”, karya Mario Puzo.

“Itu novel favoritmu,” senyum Misty.

Alma mengangkat wajah sejenak, membalas senyum ibunya.

“Ya,” angguknya. “Aku rasa begitu.”

Dan, ia mulai membaca novel itu. Seketika ia seolah terlanda deja vu. Dari sedikit halaman yang sudah ia baca, ia sudah memahami isi novel itu, seperti benar-benar pernah membacanya.

Mungkin benar ini novel kesukaanku...

Tapi baru beberapa halaman, kantuk sudah menyerangnya. Ia menguap lebar-lebar.

“Kalau mengantuk, tidur saja,” tegur Taruno lembut.

Alma sedikit tersipu. Ia menutup novelnya dan meletakkannya di atas meja kecil di dekat bantalnya. Taruno segera menyetel ranjang Alma yang tadi dalam mode setengah duduk.

“Terima kasih, Yah,” ucapnya manis, sebelum berbaring dan memejamkan mata.

Taruno mengecup keningnya, dan Misty membenahi selimut sang putri.

Sejak sadar beberapa hari lalu, perkembangan kondisi Alma sangat menggembirakan. Pulihnya lebih cepat daripada yang diperkirakan. Kecuali amnesianya, tentu saja. Dokter Kana sendiri cukup takjub dengan keadaan itu. Pun Taruno dan Misty.

Meskipun demikian, Taruno masih tetap menolak kunjungan dari para guru dan teman sekolah Alma. Mereka masih perlu waktu untuk mengembalikan ingatan Alma. Sedikit demi sedikit. Kalau terlalu banyak yang dijejalkan pada Alma pada satu waktu, ia dan Misty khawatir akan terjadi ‘kelebihan muatan’ yang justru tidak baik bagi Alma. Untungnya mereka semua memahami kondisi itu.

“Yah...,” gumam Misty.

“Ya?”

“Seandainya Alma ingat Alda, ingat peristiwa itu, apakah... dia akan baik-baik saja?”

Taruno tercenung lama. Ia sama sekali tak punya jawaban atas pertanyaan itu.

Alma dan Alda hanya dua bersaudara. Keduanya saling menyayangi. Hubungan mereka sangat dekat sebagai adik-kakak dan sahabat. Beda usia mereka hanya sekitar tiga tahun, lebih tua Alda. Dan, membayangkan seperti apa Alma bila nantinya mengingat Alda secara utuh, Taruno sama sekali tak berani.

“Kita harus bisa lebih kuat daripada dia, Bu,” bisik Taruno, “agar bisa menopangnya.”

Misty tergugu.

Tiba-tiba...

“Kakak... Kakak... Kakak!”         

Taruno dan Misty tersentak mendengar suara itu. Keduanya segera melompat dari duduk mereka dan berlari ke arah ranjang. Ketika tangan Misty menyibakkan tirai, dilihatnya Alma sudah bangun dan terduduk dengan berurai air mata. Bibirnya terus memanggil sang kakak, hingga Misty mendekapnya.

“Kakak mana, Bu? Kakak mana? Kak Alda mana?” tanya Alma di tengah sedu sedannya.

Misty hanya mampu mengeratkan pelukan, sementara Taruno pelan-pelan mengalihkan tatapan ke luar jendela. Dengan rasa di hati yang tak terkira perihnya.

* * *

Sejenak setelah memejamkan mata, Alma tenggelam dalam sebuah rasa damai. Perutnya kenyang, hatinya riang. Sedikit demi sedikit, banyak hal yang terkait dengan ingatan di masa lalu mulai masuk ke dalam benaknya. Entah bagaimana caranya.

Lalu...

Perlahan-lahan segulung kabut putih menyelimutinya. Terasa begitu sejuk, sekaligus menyeretnya dalam sebuah keheningan yang sangat menenangkan. Ia bisa melihat dirinya sendiri di tengah kabut itu, berdiri dalam sunyi, sebelum ada kilasan gambar berbagai peristiwa menyambar-nyambar dan memenuhi benaknya.

Ia hanya bisa terdiam ketika satu demi satu setiap episode dalam kehidupannya sebelum ini melompat masuk ke dalam setiap lorong ingatannya. Berbagai kejadian, berbagai kenangan, berbagai momen mengesankan, sekumpulan teman-teman, dan masih banyak hal lagi, mulai mengalir nyaris tanpa jeda. Hingga pada satu detik ia seolah dipaksa untuk terjaga dari mimpi. Terjaga dalam kondisi sadar dan ingat sepenuhnya siapa dirinya.

Ia adalah Alma. Zervia Almandine Garnet. Putri kedua sekaligus bungsu dari pasangan Taruno Purbowiyakso dan Mistykala Purbowiyakso. Ia memiliki seorang kakak perempuan bernama Alda. Lengkapnya Xania Aileena Emeralda. Ia punya banyak teman di sekolah. Bahkan ia punya geng lucu-lucuan bernama Buyar Kabeh bersama Binno, Riska, Camelia, Dondit, dan Gamaliel, teman-teman yang sudah bersama sejak TK.

Dan, peristiwa terakhir sebelum ia serasa terperosok dan terjebak dalam lorong gelap yang seolah tak berujung adalah kepergian mereka sekeluarga ke sebuah warung iga bakar di Samenik. Lalu...

Ayah dan Ibu selalu menemaniku. Tapi di mana Kakak?

Alma tersentak.

Gambaran itu muncul begitu saja di tengah kekacauan yang tiba-tiba melanda acara makan bersama mereka berempat. Ada ledakan. Kakaknya terjebak di sana. Di tengah api yang membara. Sia-sia ia memanggil sang kakak.

“Kakak... Kakak... Kakak!”  

Kali ini ia benar-benar terjaga karena mendengar seruannya sendiri.

Kakak... Kakak di mana...?

Ia mulai tersedu tanpa tahu apa sebabnya. Pun makin terjaga ketika sang ibu memeluknya erat. Hanya bisa terdiam ketika ia menanyakan keberadaan sang kakak tersayang.

* * *

Paitun sedikit terhenyak ketika tugasnya kali ini sudah purna. Ia sudah utuh mengembalikan ingatan seorang Zervia Almandine Garnet ke tempat yang seharusnya. Sejenak ia tercenung.

Sepanjang kehidupannya di Bawono Kinayung, tugasnya kali ini dirasanya jadi tugas yang terberat. Tapi ia tahu, hanya atas kehendak Gusti seutuhnyalah ia bisa menyelesaikan tugas itu dengan sempurna. Dihelanya napas panjang.

Kehidupan jiwa Pinasti di ‘atas’ sana, dalam tubuhnya yang baru, pastilah tak mudah. Tapi ia mengenal Pinasti dengan sangat baik. Apalagi Pinasti dibesarkan oleh Wilujeng yang sudah membekalinya dengan cukup pengetahuan dasar untuk hidup dan bertahan di ‘atas’ sebagai manusia normal.

Baik-baiklah kalian, Nduk...

Paitun mengulas senyum. Dihelanya napas panjang sebelum beranjak. Tugas lainnya sudah menunggu untuk dipersiapkan dan diselesaikan.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


4 komentar:

  1. Luar biasa tulisan ini, good post mbak

    BalasHapus
  2. Setia menunggu Mbak Lizz... josh gandhos pokok e...

    BalasHapus
  3. Leyean nunggoki arek" turu kambek moco cerbung iki ciamik weska !

    BalasHapus