Selasa, 05 Juni 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #10-2








Sebelumnya



* * *


Mahesa sudah tak mampu lagi berkata-kata untuk menumpahkan rasa syukurnya. Ia hanya bisa memeluk erat anak laki-lakinya yang sempat beberapa hari tak diketahui nasibnya. Tak malu lagi orang-orang di sekitar melihat air matanya meleleh membasahi pipi. Demikian juga Seta. Baginya, Kresna bukan hanya sekadar saudara kembar, tapi juga sahabat dan penopangnya. Bahkan memiliki juga setengah jiwanya.

“Sumpah! Lo jangan pernah lagi tinggalin gue kayak kemarin!” bisik Seta, penuh tekanan. "Jangan pernah!

Kresna hanya mengangguk-angguk dengan wajah terlihat masih sedikit linglung. Seta mengguncang sedikit bahu Kresna. Kemudian memeluknya lagi.

“Janji, jangan pernah tinggalin Ayah sama gue!” bisik Seta lagi.

Kresna kembali mengangguk. Pelan-pelan, suasana riang tapi penuh haru itu menularinya juga. Apalagi ketika para sahabatnya yang lain, minus Alex dan Rizal, bergantian memeluknya. Tapi sejenak Kresna tercenung.

Alex...

Ditatapnya Seta.

“Rizal sudah berangkat ke Sanggura?” tanyanya.

Seta mengangguk.

“Alex?”

Seketika suasana menghening.

* * *

Kresna termangu di depan jendela viewing gallery[1]. Alex terbaring di dalam sana. Koma. Ditemani berbagai selang dan alat yang Kresna tak paham apa saja fungsinya. Gadis itu terluka berat dengan luka bakar mencapai 70%. Kresna menghela napas panjang.

“Kalau Alex pulih, dia harus siap untuk dituntut,” bisik Seta, “karena ada korban lain juga.”

Kresna menggeleng sambil mengerutkan kening. Ada korban lain?

Seta seolah mengerti apa yang ada dalam pikiran saudara kembarnya. Diremasnya bahu Kresna pelan.

“Alex nabrak warung iga bakar di Samenik, di kaki Bukit Seribu Kembang Goyang. Dia lari ke vila keluarganya di bukit itu. Ayah, aku, dan teman-teman sempat mencarinya sampai ke Gondang, tapi dia sudah keburu kabur. Besoknya, kami dapat kabar Alex kecelakaan. Mobilnya nabrak warung dan kebakar. Ada empat orang yang ikut jadi korban. Satu keluarga yang lagi makan di dalam. Salah seorang anaknya nggak selamat, satu lagi masih koma, ayah-ibunya luka nggak terlalu parah. Saksi bilang Alex ngebut waktu masuk ke Samenik. Lalu mobilnya oleng gitu saja ke kiri. Nabrak warung, meledak, dan terbakar.”

Kresna makin kehabisan kata. Tapi sejenak kemudian ia seolah tersadar. Ia menoleh. Menatap Seta.

“Memangnya aku hilang berapa hari, Set?”

Seta menghitung sejenak. Ia balas menatap Kresna.

“Sembilan hari,” jawabnya.

Kresna menggeleng pelan. Masih tak habis mengerti bagaimana perjalanannya keluar dari jurang di sisi selatan Gunung Nawonggo, hingga ditemukan di sisi timur gunung yang sama. Yang diingatnya hanya peristiwa melayangnya ia ke dalam jurang, serasa masuk ke lorong gelap, kemudian terbangun saat ditemukan seorang pencari bahan obat bernama Saijan. Itu pula yang diungkapkannya pada para polisi yang memeriksanya. Jawaban yang dinilai sangat jujur karena memang ada hal-hal di luar nalar yang telah terjadi pada Kresna, tanpa pemuda itu menyadarinya.

Kresna menghela napas panjang. Mengerjapkan mata.

“Apakah Ayah akan menuntutnya, Set?”

Seta menggeleng. “Entahlah. Tapi seandainya kita tidak menuntut pun, kepolisian akan meneruskan kasusnya. Kasus percobaan pembunuhan bisa tetap diteruskan walaupun tidak ada delik aduan. Lagipula, memang ada korban jiwa dalam rangkaian kasus ini.”

Kresna mengembuskan napas keras-keras. Ia kemudian mundur dari depan jendela. Duduk di kursi tunggu di depan seberang ruangan. Seta mengikutinya.

Ada lagi yang membuatnya tak habis pikir. Kenapa Alex tega melakukan itu padanya? Apa salahnya pada Alex? Dan masih banyak lagi pertanyaan lain. Membuatnya pening. Lagi-lagi Seta memahami hal itu.

“Kres, kita pulang,” ucapnya sembari menepuk bahu Kresna. “Kamu butuh istirahat. Ayah sebetulnya ada meeting di kantor pagi ini, tapi ditunda. Kamu lebih penting.”

Kresna tak punya pilihan lain. Ia pun mengangguk dan berdiri. Keduanya keluar beriringan dari ruangan itu.

* * *

Lagi-lagi, ia merasa terapung dalam ruang kosong dan gelap yang serasa tak berujung dan sama sekali tanpa cahaya. Berkali-kali ia meneriakkan pertanyaan yang melingkar-lingkar dalam kepala.

Apa yang sudah terjadi?

Tapi tak satu huruf pun jawaban bisa diraihnya dari dalam kelam di sekitar. Lalu, ia mencoba mengingat-ingat. Sedikit demi sedikit. Secuil demi secuil. Mencoba merangkainya dengan segala kemampuan yang ia punya.



Sore itu, mereka berempat bermaksud merayakan ulang tahun ke-50 sang ayah. Setelah melalui perdebatan panjang beberapa hari sebelumnya, mereka akhirnya sepakat untuk naik ke Samenik. Ada warung iga bakar yang lezatnya sudah tersohor di sana.

Di bawah langit menjelang senja, mereka pun memulai perjalanan dari tengah kota Margiageng menuju ke Samenik. Taruno, sang ayah, bersenandung sambil mengemudikan mobil mungil mereka. Misty, sang ibu yang cantik, menimpalinya dengan nyanyian melalui suaranya yang indah. Di jok belakang, ia dan kakaknya menikmati semua itu dengan riang gembira.

Satu setengah jam kemudian, mereka berempat sudah sampai di Samenik. Warung iga bakar bakar yang mereka tuju masih menyisakan meja untuk berempat di sudut depan warung.

Celoteh mereka memenuhi sudut itu, ditimpali pula dengan aneka canda dan tawa. Kegembiraan itu makin lengkap ketika pesanan mereka datang. Empat porsi iga bakar super istimewa dilengkapi dengan lalapan dan sambal yang sungguh menggoda, ditambah dengan lauk lain yang tak kalah enaknya.

Setelah itu mereka berempat bergandengan tangan di sekeliling meja. Dengan suara lembutnya Misty memanjatkan doa syukur dan harapan. Tapi, ketika mereka akan mengakhiri doa itu, sebuah hantaman yang begitu keras dan menyakitkan melanda tubuhnya. Masih bisa didengarnya jeritan kakaknya sebelum kegelapan menyelimutinya dengan begitu sempurna.



Ia sedikit tersentak.

Mana Kakak? Mana Ayah? Mana Ibu? Hei! Di mana kalian semua?

"Alma... Alma..."

Pada saat itu, samar-samar ia mendengar ada yang memanggilnya. Lebih terasa seperti gema. Tapi sekeras apa pun ia mencari sumber suara itu, kegelapan tetap menyelimutinya. Begitu juga ketika ia mencoba menjawab. Yang ada hanyalah hening.

Dan, kegelapan serta keheningan itu kembali menenggelamkannya.

* * *

Sebelum menyapa Ki Ageng Giri agar batu besar itu membuka jalan, tiba-tiba saja Paitun menghentikan langkahnya. Perempuan itu mengerutkan keningnya sejenak. Randu ikut berhenti dan menatap Paitun.

“Ada apa, Mak?” tanyanya halus.

Tapi Paitun menggeleng. Mengisyaratkan agar Randu diam. Laki-laki itu pun hening di tempatnya berdiri.

“Hm...,” gumam Paitun beberapa saat kemudian. “Aku harus kembali ke Bawono Kinayung, Ndu. Kamu saja ke ‘atas’ sendirian. Jangan lupa, catat semua pesanan Saijan. Kalau sampai menjelang senja kamu belum datang, akan kukirim Janggo untuk menjemputmu.”

“Baik, Mak,” Randu mengangguk patuh.

Laki-laki itu kemudian meneruskan perjalanannya, sedangkan Paitun berbalik dan kembali ke Bawono Kinayung. Saat ia sudah berada di dekat pondok, dilihatnya Tirto sedang melangkah menjauhi pondok.

“To!” serunya. “Mau ke mana?”

Laki-laki itu berhenti dan berbalik. Diangkatnya keranjang rotan yang ditentengnya.

“Mau kirim makan siang untuk Mbak Jeng dan Pinasti, Mak,” jawab Tirto.

“Sudah,” Paitun mengibaskan tangannya. “Sini! Biar aku panggil saja mereka.”

Tirto pun mengangguk patuh, dan mengikuti langkah Paitun masuk ke area pondok perempuan itu.

“Emak tak jadi ke ‘atas’?” tanya Tirto.

Paitun menggeleng. “Ada yang lebih penting, To. Menyangkut Wilujeng dan Pinasti.” Paitun membuka pintu pondoknya. “Randu kusuruh meneruskan perjalanan sendirian. Kalau dia terlambat pulang, suruh Janggo menjemputnya nanti.”

“Baik, Mak,” Tirto kembali mengangguk. “Tapi, ngomong-ngomong, Mbak Jeng dan Pinasti kenapa, Mak?”

Paitun tak segera menjawab pertanyaan itu. Ia mengheningkan diri sejenak. Menyelaraskan gelombang pikirannya dengan pikiran Wilujeng atau Pinasti. Kali ini yang selaras lebih dulu adalah gelombang pikiran Wilujeng.

‘Jeng, sekarang juga bawa Pinasti pulang. Kutunggu di pondok.’

‘Lho, Emak tak jadi ke ‘atas?’

‘Tidak, Jeng. Nanti saja kujelaskan. Sekarang berkemaslah. Pulang.’

‘Baik, Mak.’

Setelah pembicaraannya dengan Wilujeng selesai, Paitun menatap Tirto.

“Ada perintah baru dari Gusti. Wilujeng dan Pinasti harus secepatnya kembali ke atas. Bersamaan. Kita harus menyiapkan mereka dalam waktu dua hari ini.”

“Oh...,” Tirto manggut-manggut.

Keduanya kemudian berbincang sambil menunggu Wilujeng dan Pinasti datang.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



Catatan :


[1] Viewing gallery = ruangan untuk menengok pasien yang dirawat di ruang ICU. Pasien dapat dilihat melalui jendela kaca.

5 komentar: