Rabu, 20 Juni 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #11-3









Sebelumnya



* * *


Sekuat tenaga Paitun menyerap aura kesedihan yang menguar di Bawono Kinayung dan membuangnya jauh-jauh dari tempat itu. Pada akhirnya perpisahan akan datang juga. Waktu tiga belas tahun sama sekali bukan masa yang pendek untuk mengikat rasa sayang pada Wilujeng dan Pinasti. Karena itu Nyai Sentini pun turut membantu Paitun mengurangi warna kelabu dan aroma perpisahan di tempat itu.

Menjelang sore, waktunya pun tiba bagi Wilujeng untuk meninggalkan tempat itu. Paitun memeluknya untuk terakhir kali. Air mata pun menetes di kedua belah pipi Wilujeng. Pun ketika Pinasti memeluknya. Isak tangis Wilujeng pecah. Demikian pula Pinasti.

“Bu..., kita akan... baik-baik saja,” bisik Pinasti, tersendat. Seolah ia pun ingin meyakinkan dirinya sendiri.

Wilujeng mengangguk. Ia kemudian melepaskan pelukannya. Dirangkumnya kedua pipi Pinasti dengan telapak tangannya.

“Kita pasti akan bertemu kembali,” ucap Wilujeng. “Semoga hati kita tetap saling mengenal, Nduk.”

Pinasti mengangguk-angguk. Saat itu juga, Paitun dan Nyai Sentini menyatukan telapak tangan kanan masing-masing. Seketika mata Pinasti dan Wilujeng sama-sama terkatup. Bersamaan pula Paitun dan Nyai Sentini menghapus ingatan-ingatan yang tak perlu dari benak Pinasti dan Wilujeng.

Setelah semuanya usai, Nyai Sentini menggandeng tangan Wilujeng, sedangkan Paitun meraih Pinasti dan merengkuh bahu perawan sunti itu. Kedua tangan Nyai Sentini membuat sebuah lingkaran besar di udara. Bersamaan dengan itu, kabut putih tebal menyelimuti seluruh pondok Paitun.

Selama beberapa saat kabut itu mengambang di udara, sebelum pada akhirnya menipis. Dan, bersamaan dengan menghilangnya kabut itu, Nyai Sentini dan Wilujeng pun lenyap dari pandangan.

Paitun menghela napas panjang. Lega, walaupun masih ada setitik kesedihan menghinggapi hatinya. Tapi waktu terus berputar. Diremasnya lembut bahu Pinasti yang matanya masih terpejam erat. Bersamaan dengan itu, Paitun memanggil Kriswo dan Randu melalui pikirannya. Kedua orang itu muncul beberapa saat kemudian.

“Sudah selesai,” gumam Paitun.

Kriswo mengusap air matanya yang mengembang. Ia dan Randu memang sengaja tidak muncul di pondok Paitun saat Wilujeng hendak dibawa Nyai Sentini meninggalkan tempat itu. Terlalu menyedihkan bagi keduanya untuk berpisah dengan Wilujeng.

“Pinasti jadi kami bawa pulang, Mak?” tanya Randu, memecah keheningan.

Paitun menggeleng. Didudukkannya Pinasti yang matanya masih terpejam di balai-balai terdekat.

“Malam ini juga dia harus meninggalkan tempat ini.”

Air mata Kriswo menderas. Tangannya terulur, membelai kepala Pinasti.

“Akan ada orang baru, Kris,” ujar Paitun dengan suara lembut. “Selalu ada perjumpaan dan perpisahan.”

Sambil mengucapkan itu, Paitun terus-menerus menyerap kesedihan Kriswo dan Randu, hingga rasa itu pun mereda. Sesuai perintah Paitun, Randu menggendong Pinasti ke dalam kamar dan membaringkannya di atas tilam. Perawan sunti itu sungguh-sungguh terlelap. Menunggu waktunya tiba untuk meninggalkan pula tempat itu.

* * *

Di tengah keheningan tepi sebuah telaga kecil yang airnya sangat jernih, kabut putih perlahan melingkupi sekitar tempat itu. Tak lama. Kabut itu kemudian perlahan menipis dan menghilang.

Dengan sangat lembut, Nyai Sentini mendudukkan Wilujeng di tepi telaga itu, di atas rerumputan bagai permadani di bawah sebuah pohon besar. Pelan-pelan, ia kemudian menjauh dan menyembunyikan diri di balik pepohonan. Dari tempatnya itu, Nyai Sentini masih bisa melihat Wilujeng. Ia pun menjentikkan jemarinya tiga kali. Tepat saat itu, dilihatnya Wilujeng sedikit tersentak. Ia pun tersenyum, dan mulai mengambil peranannya.

* * *

Wilujeng tiba-tiba saja merasa seperti terperosok dalam kegelapan tak berujung. Ingin ia berteriak, tapi tak sedikit pun suara muncul dari mulutnya. Segalanya terasa begitu hening. Hingga tiba-tiba saja ia mendengar sebuah ledakan keras, dan matanya terbuka lebar.

Hal pertama yang dilihatnya adalah pemandangan indah yang terpampang begitu saja di depan mata. Telaga beriak lembut yang dikelilingi padang semak kecil berhiaskan aneka bunga liar warna-warni. Di seberang telaga itu ada tebing tinggi dengan sisa-sisa cahaya matahari mengintip dari puncaknya. Sebersit angin sepoi menyapa wajahnya, membawa pula aroma segar tanah basah dan udara yang sejuk murni. Wilujeng ternganga.

Tempat apa ini? Kenapa aku bisa ada di sini?

Perempuan itu mengernyitkan kening dalam-dalam. Perlahan, ia berdiri dan melangkah ke arah telaga. Genangan bening itu kini memantulkan wajahnya. Membuatnya terkesiap seketika.

Benarkah ini aku? Apa yang terjadi?

Pantulan wajah di permukaan air danau itu memang benar wajahnya. Tapi wajah yang mulai menua, bukan lagi wajah seorang perempuan berusia akhir dua puluhan.

Astaga...!

Lalu kilasan-kilasan peristiwa itu menyambar-nyambar begitu saja dalam benaknya. Liar. Tak terkendali. Tapi rangkaiannya seketika membuatnya terhenyak. Hal terakhir yang diingatnya adalah ia terjun bebas ke sebuah jurang di Pegunungan Pedut setelah mobil yang ia tumpangi mengalami kecelakaan. Pintu mobil terbuka lebar, dan ia seolah tersedot keluar tanpa bisa menghindar. Lalu gelap, dan ia berada di tempat ini.

Ia tersentak lagi. Bayiku? Seketika tangannya meraba perut. Kempes. Ya, Tuhan... Apa yang terjadi? Mana bayiku?

Wilujeng terduduk lunglai di tepi danau itu, dan mulai menangis. Selama beberapa saat ia tersedu, hingga ada suara lembut yang menyapanya.

“Nduk...”

Ia menoleh cepat. Dari balik tirai airmatanya, tampak seorang nenek berusia sekitar 70 tahun membawa sebuah tempayan kecil melangkah pelan mendekatinya. Wajah perempuan tua itu terlihat ragu-ragu.

“Kamu siapa? Sedang apa di sini?” tanya perempuan tua itu.

Wilujeng buru-buru menghapus air matanya. Ia pun berdiri.

“Nek, tempat apa ini?” perempuan cantik itu justru balik bertanya.

“Ini Telaga Wening. Aku biasa mengambil air di sini. Kamu siapa? Kamu bukan orang sini kelihatannya.”

“Saya...,” Wilujeng mengerutkan kening. “Saya Wilujeng, Nek. Saya...”

“Oh, Wilujeng,” nenek itu mengangguk-angguk. “Aku Sentini. Rumahku tak jauh dari sini. Rumahmu di kampung mana?”

Wilujeng mendegut ludah. Di titik mana persisnya Telaga Wening ini berada di peta, ia tak tahu persis. Tapi ia masih ingat betul rumahnya, kotanya.

“Saya dari Palaguna, Nek.”

“Palaguna?!” Sentini membelalakkan matanya. “Itu jauh sekali dari sini!”

Wilujeng kembali terhenyak. Ditatapnya Sentini.

“Sebenarnya ini di mana, Nek?”

“Sebelah situ--,” Sentini menunjuk ke arah belakang punggungnya, “Pegunungan Pedut. Di sebelah sana--,” Sentini menunjuk ke arah tebing di seberang telaga, “—Gumuk Sewu. Dan telaga ini maupun rumahku, masuk daerah Ngentas. Tepatnya, Ngentas Timur..”

Astaga... Wilujeng menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan. Aku ini kenapa?

“Kamu sendirian di sini?” tanya Sentini lagi.

Wilujeng mengangguk, kemudian menggeleng. Wajahnya tampak diliputi kebingungan.

“Saya...,” ia kembali mengerutkan kening. “Saya jatuh ke jurang di Pegunungan Pedut, Nek. Tapi... Saya kenapa bisa ada di sini sekarang?” Wilujeng setengah menggumam.

“Kapan kamu jatuh?” Sentini menatap Wilujeng dengan khawatir.

“Itu...,” Wilujeng seketika tersentak lagi. “Sekarang ini tahun berapa, Nek?”

Ketika Sentini mengucapkan sederet angka tahun berjalan, Wilujeng serasa hampir pingsan. Ia terhuyung dan segera bersandar pada pohon terdekat. Sentini membuntutinya, masih dengan tatapan khawatir.

“Nduk, kamu tak apa-apa?” Sentini mengulurkan tangannya, mengusap bahu Wilujeng.

“Nek...,” ucap Wilujeng dengan suara bergetar hebat. “Saya jatuh di Pedut sudah tiga belas tahun lalu...”

“Gusti...,” Sentini menutup mulutnya dengan telapak tangan. “Lha, kok, bisa kamu di sini sekarang? Selama ini kamu di mana?”

Wilujeng menggeleng resah. “Saya tidak tahu, Nek. Saya benar-benar tidak tahu.”

Sentini terlihat berpikir sejenak sebelum kembali buka suara, “Sudah, begini saja. Ini sudah hampir sore. Kamu ikut aku ke rumah. Nanti kita pikirkan bagaimana kamu bisa pulang. Ya?”

Wilujeng tak punya pilihan lain kecuali mengangguk. Sentini kemudian meneruskan niatnya untuk memenuhi tempayan kecilnya dengan air telaga. Setelah itu, ia mengajak Wilujeng meninggalkan Telaga Wening.

* * *

Rumah serupa gubuk itu sederhana saja. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu, los tanpa sekat bilik. Atapnya berupa rangkaian daun kelapa kering. Perabot di dalam gubuk itu pun sederhana saja. Alat masak sekadarnya beserta tungku tradisional berbahan bakar kayu. Balai-balai bambu beralaskan tikar ada di sudut bagian depan gubuk, dan satu lagi di belakang di area dapur. Tanpa kursi, tanpa meja. Hanya ada sebuah bangku kayu panjang di bawah jendela dekat pintu.

“Nenek tinggal sendirian di sini?” celetuk Wilujeng.

“Tidak. Ada keponakanku. Sekarang sedang ada di ladang.”

Wilujeng duduk di bangku setelah meletakkan tempayan yang tadi dibawanya di sudut yang ditunjuk Sentini. Sentini pun ikut duduk di sebelah Wilujeng.

“Nah, sekarang bagaimana?” tanya Sentini dengan wajah serius.

“Saya harus pulang, Nek,” Wilujeng tertunduk.

“Hmm... Kalau begitu, tunggulah keponakanku pulang,” ujar Sentini. “Sebentar lagi. Biasanya sebelum gelap dia sudah pulang. Nanti biar kamu diantarnya langsung ke kantor polisi. Kalau harus melalui kepala desa, letaknya terlalu jauh. Masih lebih dekat kantor polisinya."

Dan, ucapan Sentini terbukti. Seorang laki-laki tinggi besar berambut panjang yang diikat rapi di belakang kepala muncul tak lama kemudian. Sentini pun memperkenalkannya pada Wilujeng.

“Nah, ini keponakanku, Nduk Wilujeng. Namanya Tirto.”

Laki-laki itu menyalami Wilujeng dengan sikap sangat sopan. Sentini kemudian menjelaskan pada Tirto siapa Wilujeng. Pun maksud Sentini agar Tirto mengantarkan Wilujeng ke kantor polisi terdekat. Tirto pun segera menyanggupinya.

Laki-laki itu keluar dari gubuk. Samar-samar Wilujeng mendengar ringkik kuda yang mendekat. Beberapa saat kemudian, Tirto kembali lagi.

“Kereta kuda sudah siap, Mbakyu,” ujarnya halus, tanpa bermaksud mengusir. “Kalau kita perginya terlalu sore, kasihan Bibi kalau harus saya tinggalkan sendirian di sini.”

Wilujeng pun mengangguk. Dipeluknya Sentini sembari berpamitan dan mengucapkan terima kasih. Ketika ia keluar membuntuti langkah Tirto, sebuah sado yang terikat pada seekor kuda sudah siap di depan gubuk. Sentini membalas lambaian tangan Wilujeng hingga sado itu menghilang di belokan.

Perempuan tua itu mengangkat kedua tangannya dan membuat lingkaran besar di udara. Kabut putih pun perlahan muncul, menebal, untuk kemudian menipis kembali. Dengan menghilangnya kabut itu, menghilang pula bangunan gubuk berserta Sentini. Tempat itu hanya menyisakan pepohonan rapat khas hutan perbukitan. Kembali hening dan kian temaram.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


4 komentar:

  1. Gara"e gambuka wag kaet wingi aq male gangerti lek ada pengumuman cerbunge terbit awan.
    Tiwaso aq ngintip" kaet isuk maeng mb Lis wkwkwkwkwk
    Tancep mb Lis ......

    BalasHapus
  2. Mantapp....

    Ibu Wilujeng kembali ke rumah....

    BalasHapus