Jumat, 23 September 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #8-2








Sebelumnya  



* * *


Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Grandy sudah mengetuk pintu rumah Mai. Ia cukup lega melihat bahwa mobil Mai masih ada di carport. Dan wajah Mai yang menyembul dari balik pintu membuat senyumnya merekah. Mai terbengong sejenak.

“Selamat pagi...,” ucap Grandy dengan nada berirama.

“Pagi banget?” Mai melebarkan pintu.

“Aku sudah janji pada Qiqi untuk mengantarnya ke sekolah pagi ini.”

“Abang...,” desah Mai. “Kenapa manjain Qiqi banget, sih?”

“Manjain bagaimana?” Grandy mengerutkan kening. “Cuma mengantarkannya ke sekolah.”

“Ya...,” Mai mulai kehabisan kata.

Ia hanya bisa mengangkat bahu ketika Grandy melangkah masuk ke ruang makan. Qiqi sedang duduk manis menikmati sarapannya. Gadis kecil yang sudah rapi itu langsung menyunggingkan senyum cantiknya begitu melihat kehadiran Grandy.

“Pagi, cantik!” Grandy menjatuhkan tubuh di atas kursi di sebelah Qiqi. Mengecup ringan kening gadis mungil itu.

“Pagi, Om. Om sudah makan?”

Grandy mengangguk. Tapi diraihnya juga sebuah piring kosong. Tanpa banyak kata, disendokkannya nasi goreng ke dalam piringnya.

“Lho, katanya sudah makan?” protes Qiqi.

“Cuma roti sama selai,” Grandy meringis lucu. “Lihat kamu makannya lahap begitu, Om jadi lapar lagi.”

Qiqi terkikik geli mendengarnya. Tapi ia kemudian menyeletuk lagi, “Kalau nasi gorengnya Om habisin, Mbak Yayah makan apa, dong?”

“Eh?” gerakan Grandy langsung terhenti. Ditatapnya dengan ragu piring penuh berisi nasi goreng di hadapannya.

Mai tertawa melihat ekspresi Grandy. Ia kemudian duduk di seberang laki-laki itu. Menyesap teh hangatnya.

“Ya, sudah, sih... Makan saja,” ujar Mai. “Nanti biar Yayah sarapan di tempat Ibu. Atau beli nasi uduk juga bisa.”

Mendengar itu, Grandy segera mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya sambil menyerukan nama Yayah. Gadis muda itu tergopoh-gopoh muncul dari arah belakang.

“Ya, Pak?”

“Ini, Yah,” Grandy mengulurkan selembar uang lima puluh ribuan pada Yayah sambil tersenyum. “Nasi goreng jatahmu aku habiskan. Kamu nanti beli nasi uduk saja buat sarapan, ya?”

Yayah langsung tertawa mendengar ucapan Grandy. Begitu juga Mai.

“Bapak apaan, sih?” ujar Yayah di tengah-tengah tawanya. “Nanti saya bisa bikin nasi goreng lagi.”

“Sudah...,” Mai masih tergelak. “Terima saja. Sana, beli nasi uduk dua bungkus. Aku juga nggak kebagian nasi goreng ini, bagaimana?”

“Heh?” Grandy kelihatan terkejut. Kentara sekali kalau hanya acting. “Kamu juga belum sarapan, Mai?”

Mai menggeleng. “Sudah! Buruan sarapan. Habiskan. Nanti Qiqi telat, lho!”

Grandy nyengir sambil mulai menyantap nasi gorengnya.

Dua puluh menit kemudian Qiqi sudah duduk manis di dalam city car yang dikemudikan Grandy. Dilambaikannya tangan dengan wajah ceria ketika mobil itu mulai melaju.

“Dadah, Mama!”

Mai membalas lambaian tangan itu. “Jadi anak manis di sekolah, ya?”

* * *

Sejak laki-laki itu datang, Nirwan sudah didera perasaan tak enak. Apalagi ketika melihat Qiqi, dalam balutan seragam sekolahnya, pergi bersama laki-laki itu. Tanpa Mai. Itu laki-laki yang kemarin siang dilihatnya menggandeng tangan Mai keluar dari lingkungan sekolah dan menuju ke kafe di sebelah.

Siapa dia?

Nirwan mulai menekan pedal gas mobilnya. Berusaha membuntuti city car berisi Qiqi dan laki-laki itu.

Sedemikian bebasnya dia bisa membawa Qiqi?

Sambil mengemudi, tatapan Nirwan tetap terfokus pada mobil berwarna putih selang tiga kendaraan di depannya itu. Hingga akhirnya sampai di depan sekolah. Seperti kemarin, Nirwan menghentikan mobilnya di seberang, sementara city car putih itu mengambil jalur kanan, meluncur lurus sekitar 200 meter, baru kemudian memutar.

Dari balik kaca gelap mobilnya, ia bisa mengamati dengan jelas bahwa laki-laki itu kemudian menggandeng Qiqi setelah keluar dari mobil, dan mengantar gadis kecil itu hingga ke depan lobi sekolah. Laki-laki itu juga kelihatan bersalaman dengan seorang guru perempuan. Mereka mengobrol sejenak bertiga, kemudian Qiqi masuk ke dalam, setelah melakukan tos dengan laki-laki itu. Lalu, laki-laki itu berbalik dan kembali ke mobilnya.

Nirwan bimbang sejenak. Antara ingin tinggal, ataukah mengikuti laki-laki itu. Tapi melihat bahwa mobil laki-laki itu masih terhadang kemacetan kecil di depan sekolah, Nirwan memutuskan untuk kembali membuntutinya.

* * *

Mai dengan sabar menunggu hingga teleponnya mendapat jawaban dari seberang sana. Sekilas diliriknya jam dinding. Pukul 06.45. Dan ia menghela napas lega begitu ada sahutan ramah dari seberang sana.

“Halo, selamat pagi, Bu Mai.”

“Selamat pagi, Bu Ridha. Maaf, saya mengganggu.”

“Tidak apa-apa, Bu Mai. Pasti tentang Qiqi, ya?”

Mai sedikit merasa malu karenanya. Tapi bagaimanapun, ia masih sangat mengkhawatirkan Qiqi. Walau Qiqi bersama Grandy sekali pun.

“Qiqi sudah sampai di sini dengan selamat, Bu. Tadi saya juga sempat mengobrol sebentar dengan omnya. Omnya juga sudah menitipkan Qiqi pada saya. Sekalian menyampaikan bahwa nanti siang, Ibu sendiri yang akan menjemput Qiqi.”

“Oh, ya, ya,” Mai mengangguk cepat. “Terima kasih banyak atas perhatian Bu Ridha. Mohon maaf, ya, Bu, saya terlalu banyak permintaan.”

“Oh, tidak, tidak, Bu. Justru permintaan Ibu menandakan bahwa Ibu percaya untuk menitipkan Qiqi pada kami.”

“Kalau begitu, baiklah, Bu. Sekali lagi terima kasih. Selamat pagi...”

“Selamat pagi, Bu Mai...”

Mai menghembuskan napas keras-keras begitu hubungan telepon itu berakhir. Hari ini ia memiliki cukup banyak pekerjaan. Sedikit banyak, janji Grandy untuk mengantar Qiqi ke sekolah sudah meringankan salah satu tugasnya.

“Bu, sarapan dulu.”

Mai menoleh. Yayah sudah kembali dari membeli nasi uduk, rupanya. Mai beranjak ke ruang makan. Di atas meja makan sudah ada dua buah piring berisi bungkusan nasi uduk. Yayah menyodorkan sebuah gulungan uang pada Mai begitu Mai duduk.

“Apa ini?” Mai mengerutkan kening.

“Kembaliannya, Bu.”

“Sudah, buat kamu saja,” senyum Mai. “Rejekimu.”

Yayah terkekeh sambil mengucapkan terima kasih, dan mulai membuka bungkusan nasi uduknya.

* * *

City car putih itu terus melaju membelah jalanan yang mulai dipadati aneka kendaraan. Beberapa kali terpaksa harus berhenti karena terhadang lampu merah dan kemacetan-kemacetan kecil di sekitar U-turn. Hingga akhirnya...

Nirwan mengerutkan kening. Mobil laki-laki itu berbelok dan masuk ke dalam sebuah area parkir. Nirwan mengenali tempat itu.

Rumah Sakit Pelita Hati?

Kerut di kening Nirwan makin dalam. Ia tak ikut masuk. Tapi memarkir mobilnya di seberang.

Terlalu pagi untuk jam kunjungan pasien.

Nirwan menghenyakkan punggungnya ke sandaran jok. Tepat saat itu ponselnya berbunyi nyaring. Nirwan hampir terlonjak dibuatnya. Segera diambilnya benda itu dari saku kemeja. Matanya terbelalak ketika melihat nama yang berkedip di layar.

* * *

Grandy menatap bangunan rumah sakit itu sambil mengunci pintu mobilnya.

Akankah aku kembali ke sini?

Dihelanya napas panjang sebelum mulai melangkah menyeberangi area parkir. Sebuah pertimbangan yang harus dipikirkannya baik-baik di tengah waktu yang kian sempit.

Ketika sampai di bagian bedah, beberapa rekan menyambutnya dengan meriah. Mereka bertukar kabar sebelum ia meneruskan langkah ke dalam. Ia ada janji dengan Prof. Handono. Banyak yang harus ia bicarakan.

Karena keputusannya kali ini haruslah benar-benar tepat.

* * *

Nirwan berdehem sejenak sebelum menjawab telepon.

“Halo, Ka...”

Dan sebuah suara menyambar telinganya tanpa ampun.

“Mas Nirwan ada di mana, sih?”

“Aku...”

“Aku dikasih tahu Papa kalau Mas kecelakaan. Lalu minta cuti. Sebenarnya ada apa? Mas sekarang ada di mana?”

“Aku...”

“Aku kemarin  sore ke rumah Mas. Mas nggak ada. Ponsel juga nggak bisa dihubungin. Sekarang aku di rumah Tante Intan. Tante Intan bilang Mas sudah pulang ke Tangerang hari Sabtu kemarin. Ini bagaimana?”

Nirwan menepuk keningnya. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan Maika? Tentu saja Maika sudah pulang dari seminar di Surabaya.

“Iya, iya, aku segera ke rumah Tante sekarang. Kamu tunggu di sana, ya?”

Tanpa memperpanjang pembicaraan, Nirwan kembali mengantongi ponselnya, menyalakan mesin mobil, dan tancap gas. Secepatnya meninggalkan tempat itu.

* * *

Intan diam-diam menatap Maika sambil mengerucutkan bibir. Gadis cantik yang memiliki warna kulit dan garis wajah eksotis berambut ikal panjang itu sedang sibuk dengan ponselnya.

Kamu bisa pingsan kalau melihat lebam di wajah Nirwan...

Intan tersenyum tertahan.

Dan semoga lebamnya belum hilang.

Intan mengubah kembali ekspresi wajahnya menjadi seserius semula ketika Maika menurunkan ponsel dari depan telinganya. Maika menatap Intan, yang balas menatapnya dengan raut wajah tenang.

“Katanya, dia akan segera ke sini, Tante,” ujar Maika.

Intan mengedikkan bahu dengan ringan.

Dan Nirwan muncul kira-kira setengah jam kemudian. Membuat Maika terpekik setengah histeris melihat rahang dan pelipis kiri Nirwan yang lebam birunya belum memudar.

Intan sendiri buru-buru menyingkir menuju ke klinik perawatan gigi miliknya. Ada janji dengan pasien pukul sembilan nanti. Setidaknya ia punya alasan. Menyiapkan diri untuk bertemu dengan pasien.

Daripada mendengarkan keributan tidak mutu antara Nirwan dengan tunangannya itu...

Diam-diam Intan mencebikkan bibir.

* * *


Ilustrasi : www.knockoffdecor.com




14 komentar: