Senin, 05 September 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #3-1









* * *


Tiga


Hati Mai terasa meleleh ketika melihat betapa binar indah memenuhi mata Qiqi ketika pianonya datang. Rama benar-benar menepati janji dan membeli benda itu untuk cucu tercintanya. Ketika benda itu sudah berdiri dengan cantiknya di sudut ruang tengah rumah Rama dan Hening, segera saja mengalir denting-denting indah yang mewarnai udara siang itu. Mai dan Hening duduk berdampingan, menikmati pemandangan itu dengan hati berlainan isi.

Mai diliputi keharuan. Melihat bahwa pada sepanjang usia Qiqi hingga detik ini, hidupnya dilimpahi dengan kasih sayang yang begitu meluap. Kesalahan masa lalu itu tak akan bisa terhapus. Tapi orang-orang di sekitar mereka selalu memberikan dukungan yang tak pernah putus. Membuat Mai kuat untuk Qiqi. Dan berpikir untuk memberikan segalanya yang terbaik untuk Qiqi. Demi menebus dosa itu.

Sedangkan Hening diliputi rasa syukur yang sedemikian besar. Melihat setiap keajaiban yang diciptakan Qiqi setiap harinya. Terkadang masih ada bersit-bersit kesedihan melihat kondisi Qiqi. Tapi semuanya selalu terhapus sementara dengan segala keceriaan yang dimiliki Qiqi. Dengan semangatnya untuk menghapus semua penghalang yang menghadang di depan.

Dan gadis kecil itu tampak tertawa-tawa di pangkuan sang kakek. Mengorbankan waktu tidur siangnya. Telunjuk tangan kanannya sibuk menekan berbagai tuts sesuai arahan Rama. Mendentingkan lagu anak-anak secara polos dan sederhana.

Mai mengerjapkan matanya yang sedikit basah. Mengingat pembicaraannya dengan Rama semalam.


“Apa tidak terlalu berlebihan, Yah?” Mai menatap Rama.

“Berlebihan apanya?” senyum Rama. “Ayah sudah berjanji. Dan Qiqi berhak mendapatkannya. Lagipula Ayah sudah pesan dan membayarnya lunas. Besok siang piano Qiqi datang.”

Mai menghela napas panjang dengan mata merebak. Rama mengulurkan tangan. Menyingkirkan beberapa anak rambut yang jatuh di kening Mai.

“Ndhuk, sejak awal kita tahu bahwa Qiqi adalah anak yang luar biasa,” ucap Rama lembut. “Dia pejuang yang tangguh. Dan kita wajib memberinya sarana untuk mendukung perjuangan itu. Perjuangannya ke depan masih sangat panjang.”

“Apa ada guru yang bisa menanganinya, Yah?”

“Ayah sendiri yang akan mengajarnya,” suara Rama terdengar mantap. “Ayah sudah melihat bagaimana dia bermain pianika. Ayah tahu dia akan bisa menaklukkan piano itu.”

Mai tercenung. Hampir lupa bahwa ayahnya dapat bermain piano dengan sangat baik. Dan rasanya, untuk kesekian kalinya, ia harus mempercayai ucapan ayahnya.


Mai tersentak ketika mendengar suara tepuk tangan di dekatnya. Qiqi sudah menyelesaikan lagu “Bintang Kecil”-nya dengan sangat baik. Baru dasar sekali. Tapi Rama kelihatannya benar, bahwa Qiqi akan menaklukkan piano baru itu.

“Whoaaa... Anak Mama hebat!” Mai mengacungkan kedua jempolnya. “Sudah bilang terima kasih sama Kakek?”

“Sudah, dong!” jawab Qiqi dengan ceria.

Mai mengacungkan jempolnya sekali lagi.

* * *

Perjuangan...

Mai meletakkan tang kecil yang dipegangnya. Sebuah lagi rangkaian gelang kristal warna-warni selesai ia kerjakan. Ia kemudian mengangkat wajah dan melihat berkeliling. Pada rak-rak kaca dengan beragam koleksi asesoris tertata rapi dan terkunci di dalamnya.

Sudah enam tahun ia menggeluti usaha itu. Berawal dari peluang yang ditangkapnya sehingga ia berani mendirikan MM Wear. Tak mungkin ia seterusnya hidup bersama Qiqi dengan menggantungkan diri pada kedua orang tuanya. Seiring dengan berjalannya MM Wear, dari mulai tertatih hingga bisa berlari cukup kencang, Mai melihat peluang lain. Bahwa kemampuannya merangkai asesoris yang pernah dipelajari saat ia tinggal di tempat Bu Amey bisa dijadikan peluang bisnis yang lain.

Mulailah ia memasarkan aneka asesoris hasil rangkaian tangannya. Dan usaha di bawah NitNit Jewelry itu makin berkembang setelah ia bekerja sama dengan supplier asesori dari Jepang dan Korea. Silvi dan Noni yang dikenalnya dari Bu Amey direkrut untuk membantu mengurusi usaha itu. Menambah jumlah karyawati yang dimilikinya selain yang berada di MM Wear.

Mengingat Bu Amey, Mai jadi kaget sendiri. Niatnya untuk mengantarkan baju-baju bekas Qiqi yang masih sangat layak pakai belum terlaksana hingga detik ini. Padahal kardus baju itu dan juga boneka Qiqi sudah siap untuk diangkat pergi.

Dan Bu Amey adalah bagian yang sangat penting dari perjuangan itu...

Mai bangkit dari duduknya, kemudian melangkah pelan ke depan jendela. Menatap taman kecil di luar sana dari balik vitrase. Tapi keasyikannya terputus ketika didengarnya ketukan di pintu. Ia berbalik dan melangkah menuju ke pintu ruang kerjanya itu.

“Mbak...,” senyum Silvi terkembang begitu Mai membuka pintu. “Sudah jam empat, saya pamitan mau pulang dulu.”

“Oh, ya, ya,” Mai mengangguk sambil keluar. Ia terlihat mencari-cari sesuatu atau seseorang. “Lho, Noni ke mana?”

“Lagi ke kantor ekspedisi, Mbak. Tapi nanti balik lagi ke sini. Harta bendanya masih di sini semua. Kalau Mbak mau mengunci pintu, nggak apa-apa. Biar Noni nanti lewat rumah Mbak saja.”

“Biar saja, aku tunggu, Vi. Paling juga nggak lama lagi dia datang.”

Silvi mengangguk sambil berpamitan sekali lagi. Benar saja, tak lama setelah Mai menunggu sambil duduk di depan meja Silvi, Noni datang. Sambil berbincang sejenak, Noni membereskan meja dan memasukkan barang-barang pribadinya ke dalam tas.

“Tadi saya cari Mbak Mai, kok, nggak ada?” celetuk Noni.

“Oh... Aku pulang sebentar tadi, pas kamu keluar makan siang. Ada apa, Non?”

“Itu, Mbak, saya mau laporan, kalung dan liontin yang salah kirim itu ternyata masih ada di sini, nggak dibawa ke Papua. Tadi mbaknya minta alamat pengiriman. Saya kasih alamat sini.”

“Hm... Baguslah!” senyum Mai.

“Tapi kita telanjur dicaci maki di medsos begitu, Mbak,” sesal Noni.

“Halaaah... Nggak apa-apa, sih, Non. Namanya juga orang usaha pasti ada bagian nggak mulusnya. Itu yang bikin kita bisa makin berhati-hati. Yang upload testimoni puas sama pelayanan kita jauh lebih banyak, kok. Asal niat kita baik, pasti ada hasilnya.”

Noni manggut-manggut.

“Permisi... Selamat sore...”

“Selamat sore,” Mai dan Noni serempak menjawab sambil menoleh ke arah pintu yang sedari tadi terbuka lebar.

Seorang gadis cantik bertubuh mungil, berambut pendek, dan berkacamata berdiri di sana. Melongok dengan wajah terlihat ragu-ragu. Dan segera saja Mai terkesiap setelah mengamati gadis itu lebih lanjut. Tatapannya tak bisa lepas lagi, dan jantungnya berdebar kencang. Dan ia hanya bisa duduk terpaku sementara Noni melayani gadis itu dengan ramah.

Dia...

Jantung Mai berdebar makin kencang.

* * *

Iseng, Winda membuka tutup kotak kecil itu. Kalung dan liontin itu sudah ada di tangannya. Diambil ‘tanpa perlawanan’ melalui ibu Dira menjelang siang tadi, di sela-sela waktu mengajarnya. Perempuan itu dengan arif menerima permintaan maaf Winda. Bagaimanapun ia menyadari bahwa sesungguhnya maksud Winda baik adanya.

Memang bagus...

Kalung serupa emas putih itu bentuk rantainya saja sudah cukup unik. Apalagi dipadu dengan liontin berbahan dan berwarna sama, berbentuk sulur-sulur pakis dengan beberapa mata kristal menghiasi setiap ujung sulur. Kristal itu tampak berkerlip ketika beradu dengan cahaya yang berasal dari luar jendela kamar. Memantulkan warna-warni yang cukup jelas tertangkap mata.

Pantas saja si Baba Yaga itu ngiler banget melihat kalung dan liontin ini!

Winda nyengir sendiri ketika dalam hati menyebut nama itu. Baba Yaga adalah seorang nenek sihir mengerikan yang sering terbang mengendarai lesungnya dalam legenda Slavia kuno. Nama itu dipakainya secara rahasia bersama Dira untuk menyebut Trisnia.

Selesai mengagumi kalung dan liontin itu, Winda menghubungi CS NitNit Jewelry untuk meminta alamat pengembalian asesori. Dan ia hampir saja ikut terharu ketika mendengar suara dari seberang sana jelas sekali mengandung nada syukur yang sangat besar. Kini alamat itu pun sudah ada di tangannya. Ternyata masih sama-sama di Jakarta.

Setelah pulang ke kostnya yang tak jauh dari kampus, Winda memutuskan untuk mengantarkan sendiri kalung dan liontin itu ke NitNit Jewelry. Sebenarnya bisa dikembalikan melalui ojek atau kurir online langganannya. Tapi entah kenapa, ada dorongan yang begitu kuat di dalam hatinya untuk sesekali menghirup udara senja di tempat yang lumayan jauh dari kostnya itu.

Ojek online yang dipesannya datang tak lama setelah ia menunggu di teras. Segera saja motor itu meluncur, membawanya menuju ke kantor NitNit Jewelry. Sekitar setengah jam kemudian ia pun sampai di depan alamat yang dituju.

Sejenak ia menatap bangunan itu. Mungil dan rapi dengan cat luar berwarna peach dan putih. Ada taman kecil yang tertata apik di bagian depannya, dengan sebuah papan nama yang menunjukkan bahwa benar itu adalah kantor NitNit Jewelry dan MM Wear.

Sudah lewat enam belas menit dari pukul empat sore, tapi pintu kantor itu masih terbuka lebar. Ada sebuah motor matic berwarna hitam terparkir di carport. Winda pun memantapkan langkahnya mendekati pintu itu.

“Permisi...,” Winda melongokkan kepalanya. Di dalam ada dua perempuan yang tengah bercakap. “Selamat sore...”

Kedua perempuan itu serempak menoleh dan menjawab salamnya. Lalu yang seorang menghampirinya.

“Mari, masuk, Mbak,” ujar perempuan itu dengan ramah. “Mau bertemu siapa, ya?”

“Mm... Saya Winda, yang tadi telepon tanya alamat pengembalian paket,” senyum Winda.

“Oh... Lho, kok, malah dianter sendiri, Mbak?” perempuan itu tampak terkejut bercampur senang. “Wah, malah merepotkan. Mari, duduk dulu, Mbak.”

“Eh, nggak apa-apa, Mbak. Saya juga lagi nggak ada kerjaan. Sekalian ingin jalan-jalan dan lihat kantor NitNit.”

Winda pun digiring untuk duduk di atas sofa. Sejenak kemudian ia sibuk mencari kotak kecil berisi kalung dan liontin itu dari dalam tasnya. Ketika benda itu berhasil ia temukan dan ditariknya keluar dari dalam tas, sebuah suara lirih menyapa telinganya. Terdengar ragu-ragu.

“Winda...?”

Winda pun mengangkat wajahnya, Seketika ia ternganga.

Perempuan yang satunya itu, yang tadi duduk di depan meja kerja, kini berada di dekatnya. Menatapnya dengan mata besar bulat yang tak pernah berubah.

Walau bertahun-tahun telah berlalu, bertahun-tahun tak pernah bertemu lagi, tapi segala sesuatu tentang perempuan itu masih begitu segar dalam ingatannya. Apalagi sebelumnya mereka sudah saling mengenal selama belasan tahun. Dan Winda pun tak ragu lagi.

“Kak... Rara...?” desisnya, nyaris tak percaya.

* * *



Ilustrasi : www.monticelloshop.org

13 komentar:

  1. Met pagi Mbak Lizz..........episode nya makin seru neeh.......

    BalasHapus
    Balasan
    1. Met malem, Mbak... Makasih udah mampir... 😘

      Hapus
  2. Beeeeh onok meneh Baba Yaga wakwakwakwak
    Jan isok ae pean hloh mb Lis !
    Kemping ngenteni sesuk.
    Aq maeng kedisikan Oma mocoe iki.
    Saiki duwe saingan wakwakwakwak

    BalasHapus
  3. Aaahhh... makin penasaran euy.

    BalasHapus
  4. keren....Mbak Lis..selalu menarik kisah kisahnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang juempol banget yang punya ide tuh, Mbak Bekti 😉

      Hapus
  5. Tambah kesengsem. Jan numani tenan 👍

    BalasHapus