Kamis, 15 September 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #6-1









* * *


Enam


Perlu waktu selama beberapa menit untuk bisa menguasai diri. Mai berusaha mengatur napas agar rasa sesak itu menghilang dari dalam dada. Rasa sesak yang timbul dari kemarahan luar biasa yang masih juga menggunung. Tapi sejenak kemudian ia tercenung.

Kesalahan itu...

Bukan Nirwan saja yang salah. Tapi dirinya juga.

Tapi...

Mai berdiri. Diraihnya tangan kanan Qiqi. Ia kemudian menoleh ke arah Rihana.

“Mbak, saya batalkan kunjungan saya sore ini. Saya konsultasi dengan Dokter Intan saja. Dengan catatan, Dokter Intan sendiri yang menangani. Bukan dokter lain.” Tatapan Mai dingin dan tajam menyambar Nirwan, sebelum menatap Rihana lagi. “Permisi.” Ditariknya Qiqi meninggalkan ruang tunggu itu.

“Ra, tunggu!”

Mai mengabaikan panggilan itu. Ia tetap melangkah, setengah menyeret Qiqi yang, untungnya, tak melancarkan protes apa-apa.

“Ra!”

Mai melupakan postur tubuh Nirwan dan langkahnya yang panjang. Sosok itu kini sudah menghadangnya. Berdiri di antara ia dan Qiqi dengan mobil mereka.

“Rara, tunggu.”

“Apa lagi?” desis Mai, menahan murkanya.

“Dia...,” tatapan Nirwan jatuh sesaat pada Qiqi. “Dia...”

“Bukan urusanmu!” sembur Mai. “Minggir!”

“Ra,” Nirwan berusaha menjangkau bahu Mai. Tapi Mai menepiskan tangan itu.

“MINGGIR!”

Nirwan menatap Mai dengan putus asa. Bentakan keras Mai menyadarkannya, bahwa tak mungkin ia memaksa Mai untuk tetap tinggal dan bicara. Apalagi saat itu ada dua mobil lain yang masuk ke area parkir itu. Ia menyerah dan membiarkan Mai dan gadis kecil itu masuk ke dalam mobil, kemudian meluncur meninggalkan tempat itu dengan bunyi ban nyaris berdecit.

“Ada apa?” Intan yang baru saja turun dari salah satu mobil menatapnya dengan heran.

Nirwan hanya bisa menggeleng. Sesungguhnya, ia tak tahu harus dari mana mulai bercerita.

“Wan, ada apa?” tatapan Intan menghujam Nirwan. Membuat laki-laki itu tak bisa lagi mengelak.

“Tante, kita bicara di dalam,” ucapnya lirih, dengan semangat seolah menguap habis. “Tapi nanti, setelah aku selesai tangani pasien berikutnya.”

Intan hanya bisa mengangkat bahu.

* * *

“KAMU INI SUDAH GILA ATAU APA???”

Gelegar suara Intan membuat Nirwan ingin menyusut, mengecil, dan menghilang seketika dari hadapan Intan.

“Aku kenal Mai sejak dia masih berada di rumah singgah Bu Amey!” lanjut Intan, masih dengan nada tinggi. “Dan aku langsung menyumpahi laki-laki pengecut yang sudah membiarkannya berjuang sendirian! Dan ternyata laki-laki pengecut itu kamu, Nirwan! Keponakanku sendiri! MEMALUKAN!”

Nirwan tertunduk dalam-dalam menerima murka dari adik ibunya itu.

“Jadi ibu tunggal itu sudah susah! Ditambah lagi dengan kondisi anaknya yang tidak sempurna! Dia mati-matian berjuang untuk tetap hidup, tetap menerima dan mengasihi anaknya dalam kondisi seperti itu! Sekuat tenaga melatih Qiqi agar bisa mandiri! Sedangkan kamu?! Huh! MEMALUKAN! ME-MA-LU-KAN!!!”

“Tante...,” Nirwan memberanikan diri untuk mengangkat wajah. “Kasih aku kesempatan buat menebus kesalahanku,” ujarnya, nyaris tanpa suara.

“Mau menebusnya dengan cara apa?!” nada suara Intan masih sarat dengan kemarahan. “Menikahinya?! Meninggalkan tunanganmu itu?! Gali lubang tutup lubang itu namanya!”

Nirwan mendegut ludah.

Lantas apa?

* * *

Setengah mati Mai berusaha agar mobil yang dikemudikannya tidak oleng. Sepenuhnya ia memusatkan pikiran pada kemudi dan jalanan di depannya. Qiqi kelihatannya memahami bahwa saat itu bukan waktu yang tepat untuk membuka mulut. Maka ia duduk diam dengan manis di jok depan sebelah kiri. Terikat oleh sabuk pengaman.

Dan Mai menghela napas lega ketika ia tiba di depan pintu pagar rumahnya dengan selamat. Dua klakson pendek membuat Yayah tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah untuk membukakan pintu pagar.

“Yah, kamu temani Qiqi sebentar, ya?” ujar Mai begitu turun dari dalam mobil.

Yayah mengangguk dengan wajah polos. Mai mengalihkan tatapannya pada Qiqi.

“Qi, Qiqi main sebentar sama Mbak Yayah, ya? Mama ada perlu sama Kakek dan Nenek.”

“Ng...,” Qiqi menatap Mai dengan ragu-ragu. “Qiqi mau main piano, boleh?”

Mai menimbang sejenak sebelum mengangguk. Qiqi segera menggandeng tangan Yayah. Tapi Yayah menggiring Qiqi dulu ke dalam rumah untuk berganti baju sebelum menyusul Mai ke rumah sebelah.

* * *

Mai duduk di hadapan Rama dan Hening di ruang tengah rumah mungilnya. Mereka terpaksa menyingkir dari rumah Rama dan Hening karena Qiqi memilih untuk bermain piano di sana.

“Aku bertemu Nirwan,” gumam Mai, akhirnya, dengan suara nyaris menyerupai bisikan.

“Di mana?” suara Rama terdengar menajam di telinga Mai.

“Tempat praktik Dokter Intan.”

“Ngapain dia di sana?” suara Hening pun mulai digayuti emosi.

“Pesawat Dokter Intan delay dari Denpasar. Jadi dia memanggil keponakannya untuk menggantikan praktiknya. Dan keponakannya itu...”

Ruangan kecil itu menghening. Semuanya terlampau mengejutkan. Nama Nirwan masih menorehkan luka yang dalam di hati ketiganya. Apalagi jawaban kurang ajar Nirwan ketika Mai meminta pertanggungjawaban.

“Memangnya kamu yakin itu anakku?”

Betapa terhinanya Mai. Betapa terhinanya Rama dan Hening. Mai memang bersalah, tapi tetap saja tak patut menerima penghinaan seperti itu. Hal itu juga yang membuat Rama dan Hening secepatnya sepakat untuk membuat keputusan mengungsikan Mai. Bukan membuangnya, tapi menempatkannya ke sebuah sarang yang lebih aman sementara mereka berdua bersiap diri untuk mendampingi Mai. Tak perlu mengemis apa-apa pada Nirwan sialan itu.

“Nirwan pasti bisa melihat record Qiqi,” ucap Rama dengan nada berat. “Termasuk alamat rumah ini. Cepat atau lambat, dia akan berhasil menemui Qiqi.”

Mai menarik napas panjang sebelum menghembuskannya keras-keras.

“Dia sudah mulai sering menanyakan tentang seorang ayah,” desah Mai.

“Tapi Qiqi tidak pantas punya ayah seperti Nirwan!” sambar Hening, tajam. “Nirwan cuma andil menanamkan bibit. Selebihnya?” Hening mengangkat bahu. “Perannya nol besar!”

Mai tercenung menekuri lantai.

Sejujurnya, ia juga tak rela setitik pun Nirwan menyentuh Qiqi. Walaupun laki-laki itu seribu persen ayah Qiqi. Karena ia memang benar-benar berbuat hanya dengan Nirwan.

Kesalahannya yang terbesar adalah terhanyut bujuk rayu Nirwan yang melambungkannya jauh ke awan. Lalu sebuah kenyataan datang menghempaskannya. Bahwa kenikmatan sesaat itu berujung pada tanda plus yang sangat nyata di test pack. Tapi Nirwan kembali membuatnya merasa terbanting ketika pemuda itu menolak untuk bertanggung jawab. Dan ia terpaksa terhempas sekali lagi ketika mengetahui bahwa Qiqi terlahir dengan tidak sempurna.

Tumpukan rasa bersalah itu hampir saja membuatnya berpikir untuk bunuh diri yang kedua kalinya. Sedikit pupus ketika Grandy menghiburnya dengan mengatakan bahwa ketidaksempurnaan fisik Qiqi kemungkinan besar bukanlah karena Mai minum racun serangga. Tangan janin sudah terbentuk pada minggu ke-8 dan ke-9, sedangkan Mai mencoba bunuh diri pada saat kandungannya sudah mencapai umur belasan minggu. Tapi tetap saja ia tak pernah bisa menghilangkan rasa bersalah itu.

Lalu yang bisa dilakukannya kemudian adalah berjuang. Seperti Qiqi yang berjuang keras meraih kehidupan sejak awal dilahirkan. Mengatasi satu demi satu halangan yang melintang di depan. Hingga jadi Qiqi yang sekarang.

Adilkah kalau tiba-tiba saja Nirwan merasa bahwa Qiqi adalah anaknya?

Mai menggeleng samar.

* * *

Tentu saja Nirwan tak pernah melupakan ucapannya sendiri ketika Rara datang dan memberitahukan kehamilannya. Panik adalah hal terbesar yang dirasakannya saat itu. Sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah mengingkarinya. Berusaha menyelamatkan dirinya sendiri tanpa memikirkan lagi diri Rara.

Dan perasaan yang ada di hatinya ketika mendengar bahwa Rara sekeluarga meninggalkan Surabaya, entah ke mana, adalah kelegaan yang luar biasa. Tak ada yang harus ia tanggung. Dan ia pun mulai meraih mimpinya. Satu per satu. Mendapat gelar ‘drg.’ di depan namanya. Menyelesaikan masa internship-nya di Sumbawa dengan sempurna. Bertemu dengan Maika sekaligus jatuh cinta pada gadis itu. Bergabung dengan klinik perawatan gigi milik ayah Maika di Tangerang. Dipercaya untuk menangani perawatan gigi anak-anak di klinik itu. Bertunangan dengan Maika enam bulan lalu. Dan...

Qiandra Revika...

Nirwan membaca catatan kecil yang berada di tangannya. Setelah selesai dengan pasien yang datangnya bersamaan dengan Intan, ia berhasil membujuk Rihana untuk membocorkan sedikit data anak Rara. Dan ia berhasil mendapatkannya.

Mata Nirwan mengerjap.

Seorang Qiandra Revika utuh mewarisi mata bulat dan bulu mata lentik milik Rara. Tapi bentuk hidungnya, bibirnya, rambut lurusnya, semua itu miliknya, seorang Nirwan Erlangga. Dan selama ini, jauh di lubuk hatinya yang terdalam, ia tahu bahwa anak yang ada dalam kandungan Rara adalah anaknya.

Dia cantik sekali!

Nirwan mendesah. Pelan-pelan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.

Tapi lengannya hanya ada sebelah kanan saja...

Nirwan memejamkan mata.

Apa yang terjadi?

* * *

Selanjutnya

Ilustrasi : www.artfire.com

17 komentar:

  1. Numero uno !
    Gasabar nunggu lanjute besuk.
    Go go !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wes bablas tekan emboh, Nit. Hihihi... 😁😁😁

      Hapus
  2. Gregetaaannn.... sama Nirwan. Jangan izinkan dia mengusik ketenangan Rata en Qiqi. Hiks.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... Dibinasakan aja, Mbak... 😋😋😋

      Hapus
  3. ngerti banget aku rasane dadi rara...

    nangndi omahe nirwan ??
    tak ajak bacokan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ndek Tangerang omah. Ampirono, Jeng. Gawakno golok 😁😁😁

      Hapus
  4. Pusing. Gak kepikiran gimana nasibnya Qiqi nanti. Yang benar-benar bersih kan cuma dia. Btw, Qiqi jangkung juga nggak?

    BalasHapus
  5. Balasan
    1. Diumpankan ke Ciprut sama Roger aja, Mbak 😁😁😁

      Hapus
  6. Masih menunggu lanjutannya ... Seru sekali

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih singgahnya. Salam kenal... 😊

      Hapus
    2. Salam kenal juga mba lis ... Pertama kali baca review cerita ini dari fb di grup fiksiana ( kalo ga salah).. Langsung deh saya cari alamat blognya dan saya suka sekali alur ceritanya ....

      Hapus
    3. Semoga nggak mengecewakan ya... 😊

      Hapus