Jumat, 02 September 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #2-2










* * *


Yang bisa dilakukan hanyalah berusaha menghubungi online shop itu. NitNit Jewelry. Di sela istirahat makan siangnya, Winda menyempatkan diri langsung membuka situs NitNit. Di sana ada nomor customer service, selain semua info tentang akun media sosial yang dimiliki NitNit. Dengan mantap, dihubunginya salah satu nomor yang tertera. Setelah menunggu sesaat, ada tanggapan dari seberang sana.

“NitNit Jewelry, selamat siang. Dengan Silvi di sini. Ada yang bisa dibantu?”

Winda menghela napas lega mendengar sapaan ramah itu.

“Selamat siang, Mbak,” sahutnya. “Maaf, saya mengganggu. Ini soal asesori yang pengirimannya tertukar beberapa hari lalu.”

“Oh, dengan Mbak Trisnia ya?”

“Bukan. Saya Winda, adik Mas Antares.”

“Oh... Sebentar, Mbak. Mbak tutup dulu teleponnya, akan kami hubungi lagi. Tunggu saja sebentar ya, Mbak?”

Winda menuruti ucapan CS itu. Beberapa detik kemudian ponselnya berbunyi. Dari nomor yang sama dengan yang dihubunginya baru saja. Ada suara lain yang menyapa begitu ia menjawab telepon itu.

“Selamat siang, Mbak. Saya Noni dari NitNit. Ini tentang perhiasan yang tertukar itu, ya, Mbak?”

“Iya, Mbak. Saya Winda, disuruh abang saya untuk mengurusnya langsung dengan NitNit.”

“Jadi, bagaimana, Mbak? Kapan kami bisa memperoleh kembali kalung dan liontinnya? Cincin yang Mbak pesan sudah dalam perjalanan kembali ke kami. Akan segera kami kirimkan pada Bapak Antares begitu sampai. Dan kami akan mengembalikan seluruh biaya yang sudah Bapak Antares keluarkan karena kesalahan ini, sebagai wujud permintaan maaf kami karena sudah merepotkan customer.”

Winda meringis sejenak. Seutuhnya ia menangkap harapan yang sarat dalam gema suara yang masuk ke dalam telinganya itu.

“Maaf, Mbak Noni, sepertinya saya tidak bisa mengembalikan kalung dan liontin itu.”

Terdengar seperti ada napas yang tertahan dari seberang sana.

“Masalahnya,” lanjut Winda, “barangnya sudah dibawa sama yang punya ke Papua. Dan dia baru kembali sekitar 2-3 bulan lagi.”

“Mbak...,” suara di seberang sana itu muai bergetar. “Apa yang punya itu tidak tahu kalau barang yang diterimanya tidak sesuai pesanan?”

“Mm...,” entah kenapa perasaan bersalah memenuhi hati Winda. “Jadi begini, Mbak. Cincin itu memang saya yang memilih, tapi abang saya yang memesankan dan membayarnya. Waktu paket itu datang, dia langsung kasih ke saya. Saya juga langsung kasih ke temen saya sebagai hadiah. Saya nggak check lagi.”

“Aduh...,” mulai ada nada tangis yang tercampur dalam suara itu.

“Memangnya nggak bisa diganti, itu kalung dan liontin?” Winda mengerutkan kening.

“Koleksi NitNit itu eksklusif, Mbak. Nggak ada kembarannya.”

Winda tercenung. Seutuhnya ia tahu bahwa kesalahan utama terletak pada pihak NitNit yang tidak teliti. Tapi ia juga tidak teliti dengan tidak memeriksa lagi kondisi asesori yang sampai ke tangannya.

“Mbak...”

Winda sedikit tersentak. “Ya?”

“Kami mengucapkan terima kasih atas kerja sama Mbak. Kami mohon maaf atas kesalahan ini. Sewaktu-waktu kami membutuhkan bantuan Mbak, boleh kami hubungi Mbak lagi?”

“Oh... Silakan, Mbak. Bisa via Whatsapp juga. Bisa saya jawab sewaktu-waktu. Oke, begitu saja, ya, Mbak?”

“Iya, Mbak Winda, terima kasih. Selamat siang...”

Winda menghembuskan napas lega begitu pembicaraan itu selesai. Setidaknya, untuk sementara ini soal asesori yang tertukar itu ia anggap selesai. Tapi tidak dengan abangnya, yang masih malas untuk bicara padanya.

* * *

Mai langsung menghembuskan napas sekeras-kerasnya melalui mulut. Sekuat-kuatnya. Sudah positif bahwa pelanggan pemesan kalung dan liontin bernama Trisnia itu bersikeras untuk memperoleh barangnya kembali. Akan lebih mudah kalau barang itu masih ada di supplier-nya di Korea sana.

‘Sold out, Mai.’

Begitu tulis Kim tanpa basa-basi melalui email yang diterimanya tadi pagi. Langsung menghadapkan Mai pada setengah jalan buntu. Benar-benar buntu ketika Noni melaporkan bahwa liontin dan kalung pesanan Trisnia saat ini sudah berada nun jauh di Papua, bersama pemilik barunya.

“Sudah, jangan menangis,” ujar Mai sambil menyodorkan sehelai tisu pada Noni yang duduk di seberang meja dengan berurai air mata. “Aku tahu kamu sudah berusaha semampumu. Sudah, kasus ini aku ambil alih. Nanti aku sendiri yang akan menghubungi Trisnia itu.”

“Mbak, potong gaji saya saja buat menutup kerugian,” ucap Noni dengan suara lirih.

“Non,” senyum Mai, “memangnya dengan aku memotong gajimu, lantas masalah ini selesai begitu saja? Enggak, kan? Masalah tetap ada. Dan aku tahu, sampai kapan pun kamu tidak akan melupakan kejadian ini. Itu yang akan mengingatkanmu untuk terus berhati-hati. Bukan karena kamu ingat gaji yang terpotong.”

Noni tengadah sejenak, untuk kemudian tertunduk lagi. Lidahnya kelu. Tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Mai selalu baik. Terlalu baik. Pada siapa pun. Juga pada dirinya. Kebaikan yang membuatnya segan untuk mengecewakan Mai. Tapi ia sudah melakukannya. Berbuat kesalahan ‘kecil’ yang sangat fatal akibatnya.

“Kalau kamu nggak keberatan, kamu bisa lanjutkan kerjaanmu sekarang. Check, check, check, and recheck. Jangan sampai terjadi kesalahan lagi.”

Mendengar dirinya ‘diusir’ sedemikian rupa, Noni segera mengundurkan diri dari ruangan Mai. Tanpa banyak kata.

* * *

Pembeli adalah raja, ratu, pangeran, putri, dan sejenisnya. Penjual hanyalah kacung dari kasta terendah. Apalagi berada di pihak yang bersalah. Mai terpaksa menerima dengan lapang hati posisi itu.

Dimintanya Silvi mengetik dan mengunggah kronologi kasus itu di halaman Instagram NitNit Jewelry. Persis seperti catatan yang diberikan oleh Mai. Diakhiri dengan permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang dirugikan. Antares dan – terutama – Trisnia.

Tanggapan yang masuk rata-rata bernada baik. Terutama dari para pelanggannya. Bernada mendukung keterbukaan yang dilakukan oleh NitNit. Apalagi selama ini mereka mengaku merasa puas dengan pelayanan prima yang diberikan oleh NitNit.

Hanya satu tanggapan pedas dari Trisnia yang tampaknya belum cukup puas mencaci maki Mai melalui telepon. Dan seutuhnya Mai memaklumi hal itu. Baginya, masalah sudah cukup selesai dengan usaha yang dilakukannya agar pesanan Trisnia kembali, dan dikembalikannya seluruh biaya yang telah dikeluarkan Trisnia, beserta kompensasinya. Bagi Trisnia, mungkin masalahnya tak akan pernah selesai karena ia telah kecewa tidak berhasil mendapatkan keinginannya.

Satu lagi pelajaran berharga bagi Mai. Suatu kesalahan bisa diperbaiki, tapi tidak akan bisa menghapus kesalahan yang telanjur terjadi di masa lalu. Dan mungkin juga akibat yang timbul dari kesalahan itu.

* * *

Winda duduk sambil bertopang dagu menatap layar laptopnya. Dibacanya berulang-ulang unggahan terbaru dari NitNit Jewelry di akun Instagramnya. Juga kalimat pedas dari salah satu akun bernama Trisnia.

Hm... Jadi dia pemesannya...

Dengan sekali gerakan, Winda menyambar ponselnya. Segera saja ia asyik mengetikkan sesuatu.


‘Dir, kalo lo udah nggak sibuk, tolong balesin message gue ini yak? Pentiiing!’


Winda setengah terlonjak ketika langsung ada balasan dari Dira beberapa belas detik kemudian.


‘Apaan? Kebeneran gue lagi break nih!’

‘Kalung dari abang gue udah lo pake, Dir? Bagus banget yak?’

‘Bentar deh! Keknya ada yang aneh. Dari kemaren lo nanyain kado dari abang lo. Emang ada apa sih, Win?’


Perlu beberapa menit lamanya bagi Winda untuk mengumpulkan keberanian. Untuk memilih kata-kata yang tepat demi mengaku dosa terhadap Dira. Dan ketika semuanya selesai, ada jeda yang cukup panjang sebelum Dira membalas pesan panjang lebar Winda.


‘Sebenernya dari awal gue udah bertanya-tanya dalam hati. Gak salah abang lo ngadoin gue? Sementara selama ini abang lo cuek bebek sama gue. Ngelirik aja kagak. Yah tapi gak apa kok. Gue nyadar posisi gue.’


Sampai di sini, ada yang terasa menusuk hati Winda. Bagaimanapun ia mengenal Dira dengan baik. Termasuk perasaan yang dimiliki Dira terhadap abangnya.


‘Kalo lo mau minta kado itu balik, ambil aja ke Mama. Gak gue bawa kok. Belum gue pake juga. Baru gue buka doang. Gak apa kok Win. Tar abis ini gue hubungin Mama.’


Winda tak tahu harus menanggapi bagaimana pesan dari Dira itu. Tak ada yang bisa diucapkannya selain penyesalan dan permintaan maaf yang sebesar-besarnya. Dira pun menanggapinya dengan baik. Membuat hati Winda diliputi kelegaan yang luar biasa.


‘Gue ambil besok ke rumah lo ya, Dir. Sekali lagi gue minta maaf yang sebesar-besarnya. Tar gue ganti sama yang lebih bagus deh!’

‘Iya, nyante aja lagi, Win. Kek sama siapa aja.’

‘Eh, tau nggak, siapa yang barangnya ketukar sama kado buat lo?’

“Hah? Siapa?’

‘Trisnia.’

‘What???’

‘Dia caci maki olshop itu. Padahal olshop itu udah upload kronologi sekalian permintaan maaf. Masih dicaci maki juga sama Trisnia.’

‘Hadeeeh... Bisa jigrak ‘kali rambut dia kalo tau barangnya ada di gue.’

‘Lha, gimana? Gue kasih ke Trisnia apa balikin ke tuh olshop?’

‘Terserah lo aja, Win. Tapi yang jelas gue ogah urusan sama dia.’

‘Apalagi gue! Heran yak, lo baiknya nggak ketulungan, sepupu lo kek kerak neraka gitu hahaha...’

‘Hahaha...’


Selanjutnya Winda bisa menarik napas lega. Dira tidak marah. Kalung dan liontin itu pun bisa ditemukannya lagi. Meskipun bukan tanggung jawabnya, tapi mau tak mau ia merasa ikut terseret di dalamnya. Ia kemudian kembali sibuk dengan ponselnya.

“Mas...,” ucapnya halus begitu ada jawaban dari seberang sana. “Kalung sama liontinnya masih ada di sini. Nggak dibawa sama Dira. Besok aku ambil ke rumahnya.”

“Hm...”

Winda meringis begitu terdengar jawaban pendek itu. Dan hubungan telepon diputuskan begitu saja dari seberang sana.

* * *

Dira menatap layar ponselnya yang menggelap. Ada tusukan yang terasa begitu nyeri menghujam hatinya. Ia menggeleng pelan.

Seharusnya ia tak boleh begitu saja membiarkan hatinya menyimpan harapan. Sebesar apa pun rasa tertariknya terhadap Ares. Mungkin memang benar hati Ares sudah tak ada lagi sisanya karena sudah ada perempuan lain yang membawanya pergi. Setidaknya, hal itu ia tahu dari cerita Winda.

Rara namanya. Bukan Dira.

Dira tersenyum pahit.

* * *





Ilustrasi : www.monticelloshop.org

13 komentar:

  1. Weh aku mampir terus hlo dik. Nanging nembih komen meneh saiki. Tambah mantep critane. 👍
    Iki mau ngenteni terbite awit isuk.
    Monggo dilanjut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Whoaaa... Matur nuwuuun nggih, Mbak Tiwi... 😘😘😘

      Hapus
  2. Gara"e ngurus krucils segank jadie lak telat gini bacae.
    Ngakak gondrong soro pas bacae sampek gek kerak neraka wakwakwakwak
    Isok ae mb Lis iki !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... Sing penting krucils-mu sek sak'kepala gank-e, Niiit 😝😝😝

      Hapus
  3. Saya kira Qiqi itu anaknya Antares. BTW Antares bukannya udah melebur dengan Auriga??

    BalasHapus