Sebelumnya
* * *
Dua
Semua perbendaharaan kata di benak Winda seolah menguap begitu suara sang abang menghilang dari telinganya. Ada jeda sejenak. Digunakannya untuk mengatur napas.
“Win... Kamu masih di sana?”
“Iya, Mas, iya...”
“Nanti sore pulang kerja, Mas ambil ke tempatmu. Sudah, ya? Mas sekarang mau meeting.”
Winda pening seketika. ‘Barang’ yang dimaksud oleh abangnya saat ini benar-benar tidak berada di tangannya. Ia sudah memberikannya pada Dira tanpa memeriksa ulang isinya. Celakanya lagi, ia mengatakan pada Dira bahwa ‘barang itu’ adalah titipan dari sang abang untuk Dira. Kado. Untuk ulang tahun ke-25 Dira dua hari yang lalu. Dan sang abang benar-benar tak tahu apa-apa soal ini.
Kalau sampai dia tahu, dia pasti mencincangku sampai lembut...
Beberapa minggu yang lalu ia sudah berhasil merayu sang abang untuk membelikan cincin untuknya melalui sebuah online shop. Bukan cincin emas, karena ia merasa bahwa untuk saat ini hal itu masih terlalu jauh. Tapi juga bukan asesori murahan.
Dan abang yang baik hati itu pun menuruti permintaannya. Memesan cincin bermata kristal Swarovski asli berwarna pink keunguan yang dipilih Winda sendiri, membayarnya, menerima paket itu, kemudian memberikannya pada Winda. Dan Winda yang terlalu girang karena misinya berhasil tidak memeriksa ulang barang yang ia terima.
“Win, kemarin itu paket yang kamu pesan isinya apa? Benar cincin pesananmu atau kalung dan liontin?”
“Hah? Aku nggak check. Memangnya kenapa, Mas?”
“Tadi Mas dapat telepon dari olshop. Mereka tanya apa isi paket yang mereka kirimkan sudah benar atau tidak. Mas janji untuk menanyakan padamu. Terus, baru saja mereka telepon lagi, kemungkinan besar asesori yang tertukar itu memang yang Mas pesankan untukmu. Tolong, kamu check, kamu siapkan saja. Mau Mas kembalikan secepatnya.”
Percakapan lewat saluran telepon itu terngiang lagi. Bagai bisikan hantu yang terus-terusan meneror. Tampaknya ia tak bisa mengelak lagi.
Ia harus berterus terang pada sang abang. Apa pun risikonya. Kemarahan yang paling cetar membahana sekali pun. Apalagi bila ujungnya harus berurusan dengan sebuah nama.
Adira Alenia.
* * *
Ares menghembuskan napas panjang ketika bertemu dengan kemacetan begitu keluar dari parkiran kantor. Hanya telat setengah jam karena meeting yang berkepanjangan, tapi efeknya sungguh luar biasa.
Seharusnya ia bisa langsung berleha-leha di apartemennya begitu sampai nanti. Hanya saja keinginan itu tampaknya akan menjurus ke arah gagal. Ada ‘hal kecil’ yang harus diurusnya. Sebenarnya itu bukan tanggung jawabnya. Tapi suara penuh permohonan di telepon tadi siang membangkitkan rasa ibanya.
Manusia bisa salah. Pun pegawai online shop yang keliru mengirimkan pesanan. Barangnya tertukar. Dan meminta dengan sangat dan sopan agar ia bersedia mengembalikan barang itu, dengan kompensasi berupa pengembalian ongkos kirim.
Di sisi lain ada juga sedikit perasaan kesal dan menyesal. Seandainya ia tidak mendengarkan rengekan Winda tempo hari... Tapi ia bukan raja tega yang bisa mengabaikan permintaan adik kesayangannya itu. Hanya sebentuk cincin. Bukan terbuat dari logam mulia pula, walaupun harganya agak membuatnya kaget. Ternyata mahal juga harga asesori perempuan.
Ia melirik jam digital di dashboard dan memutuskan untuk menyerah. Dalam kondisi lalu lintas berhenti total karena lampu merah masih akan berganti hijau sekian puluh detik lagi, ia pun mengambil ponsel dari saku kemejanya. Dengan cepat ia mengetikkan pesan melalui aplikasi Whatsapp.
‘Win, Mas kesorean kalau harus ke kost-mu sekarang. Macet parah. Besok saja tolong kamu kirim barangnya via Great-Jek atau Great-Kurir langsung ke kantor Mas. Makasih ya...’
Send.
* * *
Bahu Winda langsung lemas begitu selesai membaca pesan Whatsapp dari Ares. Itu artinya ia kehilangan kesempatan untuk bicara langsung dengan sang abang. Kehilangan kesempatan untuk secepatnya menjelaskan masalah ini. Dan baginya, itu berarti bencana. Karena tidak mungkin untuk memperoleh kembali barang itu dari Dira secepatnya.
Winda menghembuskan napas keras-keras untuk mengurangi rasa sesak di dalam dada. Setelah beberapa kali mengatur napas, pikirannya mulai jernih. Mulai mampu berkelana untuk mencari celah yang mungkin bisa ditembusnya. Tapi semua cabang yang berhasil ia temukan dan telusuri berujung pada satu titik yang sama.
Aku memang harus berterus terang pada Mas.
Tidak ada pilihan lain. Dan Winda pun segera bangkit dari duduknya.
* * *
Ares melajukan mobil menuju ke basement apartemen dengan wajah kecewa. Sudah lelah karena terjebak macet, lapar, kedai makanan langganannya ramai pula. Maka ia pun memutuskan untuk naik dulu ke apartemennya, mandi, baru setelah itu kembali ke bawah untuk mencari sepiring nasi dan segunung lauk.
Tapi kejutan sudah menunggunya begitu ia membuka pintu apartemen. Senyum Winda menyambutnya. Lengkap dengan beberapa kotak makanan terbuat dari kertas dengan logo kedai makanan langganannya di lantai bawah, tersusun rapi di atas meja pendek di depan sofa.
“Halo! Halo!” sapa Winda meriah.
Rasa lelah Ares seketika meluruh. Apalagi melihat apa yang ada di atas meja.
“Mas mau mandi dulu apa makan dulu?” tanya Winda sambil menyodorkan segelas air putih dingin.
“Hm... Makan dulu saja,” putus Ares kemudian.
Dengan manis, Winda menemani Ares makan. Sebetulnya Ares agak heran dengan kemunculan Winda yang sepertinya tanpa rencana seperti ini. Setidaknya, ia belum mengetahui rencana itu.
“Kamu menginap, kan?” Ares mengangkat alisnya.
Winda mengangguk. “Tapi besok pagi-pagi aku cabut.”
“Kan, sudah Mas bilang kirim via Great,” Ares mengerutkan keningnya. “Kamu nggak baca pesan Mas?”
“Baca...,” sahut Winda sambil terus mengunyah. “Justru itu... Eh, tapi sebaiknya kita habiskan dulu makanan ini, terus Mas mandi, terus... yah, kita lanjutkan ngobrolnya. Oke?”
Ares hanya bisa mengangguk dengan wajah bodoh.
* * *
“APA?!”
Winda langsung mengkeret mendengar kata tanya itu keluar dengan volume cukup dahsyat dari mulut Ares. Ia tak berani lagi mengulangi penjelasan panjang lebarnya. Semua sudah cukup jelas. Bahwa ia berperan sangat besar dalam kerumitan ‘salah kirim’ itu.
“Kamu ini mikir apa, sih, Wiiin?” ada nada gemas yang sangat kental dalam suara Ares. “Bisa tambah salah paham si Dira ituuu... Haduuuh!”
“Ya... Habisnya aku nggak betah lihat Mas jomlo terus. Menjurus ke paten begitu...,” suara Winda melirih.
“Jadi Mas lagi yang salah?!”
Keberanian yang sempat muncul di hati Winda langsung amblas begitu didengarnya suara Ares naik lagi. Ia hanya bisa tertunduk.
“Mas nggak mau tahu, ya. Pokoknya minta barang itu dari Dira, kembalikan pada Mas, biar Mas urus, biar nama Mas sendiri nggak cemar di online shop itu karena sudah janji mau bantu.”
Winda susah payah mendegut ludah.
“Dir, bagus nggak kado dari abang gue?”
“Bangeeet!” terdengar suara riang dari seberang sana.
“Isinya apa, sih?” rayu Winda.
“Ih! Kepo, deh, lu!” disambung dengan gelak tawa.
“Hm... Gitu, ya...”
“Hahaha... Kalung sama liontin, Neng. Cakep banget!”
Jelas sudah! Dan Winda kehilangan akal begitu menangkap kegembiraan Dira melalui suara dari seberang sana. Ia tak mampu menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada Dira.
Winda kembali mendegut ludah.
“Masalahnya...,” suara Winda benar-benar nyaris hilang. “Masalahnya... Dira... kemarin... sudah berangkat... ke Papua. Dia... ada penelitian... di sana.”
“Berapa lama?” sambar Ares.
“Dua... setengah... bulan...”
Ares merebahkan punggungnya ke sandaran sofa dengan wajah gelap.
* * *
Dira...
Ares mengerjapkan mata. Menatap ke satu titik maya pada langit-langit kamarnya.
Sebetulnya Dira adalah gadis yang menarik. Bahkan sangat menarik. Bukan saja karena wajahnya yang manis – bulat telur sempurna dengan alis asli tergambar rapi, bibir berwarna merah muda, hidung mungil walaupun tidak terlalu mancung, mata bulat yang dinaungi bulu mata lentik, rambut hitam bergelombang yang membingkai wajahnya dengan sangat indah, dan kulit bersih coklat muda cerah yang mulus dan sehat – tapi juga karena kecemerlangan otaknya.
Di saat Winda terengah-engah menyelesaikan jenjang masternya, Dira sudah melenggang untuk mulai meraih gelar doktor. Dan di usia yang masih menginjak seperempat abad, tampaknya Dira sudah siap lepas landas untuk menyematkan gelar itu di depan namanya.
Tapi rasa itu sudah benar-benar mati...
Pelan, Ares menggelengkan kepalanya.
Sudah dibawanya pergi. Rara. Entah ke mana. Dan entah kapan bisa bertemu.
Masih diingatnya dengan jelas wajah pucat Rara. Tanpa ekspresi dengan mata terpejam erat. Itu Rara yang terakhir kali dilihatnya. Setelah itu tak ada pertemuan lagi.
Rara menghilang. Lenyap. Hanya menyisakan rindu yang masih beraroma wangi di hati Ares.
Hingga detik ini. Hingga ia terpaksa mencoret Dira untuk sementara waktu dari kehidupannya. Dan selama ini semuanya berjalan sesuai dengan skenario yang diinginkannya. Hingga Winda mengobrak-abrik semuanya.
Anak ituuu...
Ia masih saja merasa gemas pada si adik semata wayang. Dan kalau saja Winda bukan adik kesayangannya, bisa jadi ia sudah melumat Winda sampai halus, memasukkan Winda ke dalam kantong plastik, dan menghanyutkannya ke Kali Ciliwung.
* * *
Good post mbak
BalasHapusMakasih kesetiaannya mampir, Pak Subur... 😊
HapusManteb tenan mbak lizz...
BalasHapusLanjoot...hehe
Siaaap lanjut, Mbak Ita. Makasiiih... 😘
HapusLis tanggung jawab lo mantuku kecanduan baca critamu....ha ha. Tante ini iseng baca bakne apik temenan. Isa nular ini nyandu....ha ha. 3 hari ngebut baca cempluk kemaren itu. Apik. Dikasik tau ada feature destinasi liburane. Kamu ya....jempol (tante Mieke)
BalasHapusCring !
HapusIki mantue oma mecungul wakwakwakwak
Aq tukang ngracuni tibae wakwakwakwak
Whoaaa... Tante Mieke berkunjuuung! Saya sepicles ini, Tante 😍😍😍
HapusMakasih mampirnya, Tante. Saliiim...
Sering-sering mampir ke sini ya, Tante. Semoga berkenan...
Lho ya, jadi lupa balesin komen mantunya tersayang, hihihi... Iya, Nit. Dirimu memang tukang ngetacuni 😁😁😁
HapusSuwun yo... 😘😘😘
Winda kecil tuh ngegemesin kayak aku gitu, ya? *eh*
BalasHapusHuahahaaa... 😄😄😄
HapusManstaf :)
BalasHapus