Kamis, 29 September 2016

[Fiksi Horor dan Misteri] Lacrimosa








Aku termangu di sudut pekarangan luas itu, tempat rumahku berdiri. Waktuku tampaknya akan segera tiba. Aku harus pergi. Mungkin aku akan diusir secara paksa. Atau mungkin lebih bagus lagi bila aku bisa mengusir diriku sendiri. Tapi ke mana? Aku mencoba untuk melihat berkeliling. Ah, mungkin ke rumah mungil di seberang jalan itu.

“Rumahnya sudah laku, ya, Yu?”

Aku menoleh. Puspo, tetanggaku, mengintip sedikit dari rumahnya di sebelah rumahku ini.

“Iya,” jawabku, mengangguk sedikit.

“Memangnya sudah pasti Yu Tri bakalan disuruh pindah?” usiknya lagi.

Embuh,” aku menggeleng.

Kali ini Puspo terdiam. Tak mencoba untuk mengusikku lagi.

* * *

Senja makin temaram. Membulatkan niatku untuk menyelinap diam-diam ke dalam rumah besar itu. Sekadar memenuhi keinginanku untuk mengenang keberadaanku di rumah itu.

Dan kehangatan itu seolah menyelimutiku ketika aku masuk ke dalam sebuah kamar. Kamarku bersama Yu Tika dulu. Kakak kesayanganku.

Selain Yu Tika, aku punya seorang kakak lagi. Yu Yasmin, yang sulung. Tapi bertolak belakang dengan Yu Tika, Yu Yasmin adalah pembenciku nomor wahid. Pada awalnya aku tak tahu kenapa. Hingga kemudian aku tahu sebabnya. Ibu sendiri yang menceritakan padaku dengan berurai air mata. Sambil berkali-kali menyatakan bahwa Ibu seutuhnya menyayangiku. Tak pernah membedakan kasih terhadapku dengan kasih terhadap Yu Yasmin dan Yu Tika.

Aku anak kandung Bapak. Tapi bukan anak Ibu. Ibu kandungku adalah salah seorang pembantu di rumah besar ini yang dihamili oleh Bapak. Ibu kandungku meninggal ketika melahirkan aku. Hanya saja Bapak dan Ibu tak lama-lama membiarkan aku jadi anak piatu.

Bila Yu Tika bisa menerima dan menyayangiku dengan tulus, maka tidak Yu Yasmin. Dan aku adalah sasaran empuk segala macam frustrasinya yang terkadang aku sendiri tak mengerti. Yang bisa menghentikannya hanyalah kemarahan Bapak. Tapi entah kenapa semuanya terus saja berlanjut. Hingga puncaknya aku sudah tak tahan lagi.

Yu Yas mencoba untuk bergenit-genit terhadap pacarku. Dan laki-laki bernama Sarno itu seperti kucing kelaparan yang masih juga matanya meleng melihat ikan asin walaupun di depannya sudah tersedia selembar dendeng. Bagiku, itu sudah lebih dari cukup.

“Aku merasa bahwa aura rumah ini ndak bagus. Tapi kenapa bisa laku semahal ini, ya?”

“Luas dan letak strategisnya, Min.”

“Hm... Dida percaya waktu aku bilang lakunya satu milyar. Hahaha... Bodoh dia!”

Seketika aku menangis ketika mendengar pembicaraan yang terjadi di luar kamar ini. Anak-anak Yu Yasmin ternyata seculas ibunya! Tega sekali mengakali adik sepupu mereka, anak tunggal Yu Tika.

“Dia ndak akan menang lawan kita berempat. Dapat seperlima, atau ndak sama sekali. Hahaha...”

Tangisku makin keras. Ngilu sekali rasanya mendengarkan pembicaraan itu.

“Min, kamu dengar ada yang menangis?”

“Eh, iya, aduuuh... Itu pasti si Setan Kenitu.”

Aku tak tahan lagi. Mereka selalu menyebutku Setan Kenitu. Padahal aku punya nama! Sulastri! Dan mereka sesungguhnya tahu hal itu.

Segera aku menyelinap keluar. Kembali ke rumahku.

* * *

Sepanjang senja kupuaskan diriku untuk menangis. Kenapa selalu saja ada tempat bagi orang-orang culas itu? Tak apa-apa bila aku saja yang jadi korbannya. Tapi Mbak Dida?

Aku memanggilnya Mbak Dida. Dia adalah putri tunggal Yu Tika dan Mas Sunu. Sejak pertama kali mengenalku, ia selalu bersikap baik padaku. Seolah mengerti bahwa aku tak akan pernah menjahatinya. Ketika ia masih kecil, Yu Tika selalu mengajak Mbak Dida berkunjung ke rumahku untuk sedikit mengobrol, ataupun hanya sekadar menyapa. Yu Tika selalu membiarkan Mbak Dida bergulingan sambil tertawa-tawa di rerumputan di depan rumahku dan percaya bahwa aku akan ikut menjaga gadis kecil yang lincah itu.

Hingga Mbak Dida besar, menikah, dan punya anak, anak-anaknya pun diajaknya untuk mengenalku ketika berkunjung ke sini. Sikap mereka sama manisnya dengan Mbak Dida dan Yu Tika. Ah, anak-anak yang sungguh menyenangkan. Sayangnya mereka sudah lama sekali tidak berkunjung. Tepatnya setelah acara seribu hari wafatnya Ibu. Itu terjadi enam tahun yang lalu.

Dan kabar angin yang kudengar, besok Mbak Dida akan datang untuk pembagian warisan atas rumah ini. Yu Yasmin dan Yu Tika sudah sama-sama tidak ada. Hingga anak-anak merekalah yang berhak atas pembagian hasil penjualan rumah besar itu. Pembagian yang aku tahu sangat tidak adil untuk Mbak Dida. Tapi aku tahu Gusti itu adil. Kehidupan Mbak Dida sangatlah bahagia dan berkelimpahan. Jauh di atas kehidupan anak-anak Yu Tika.

Sedangkan hakku?

Aku sudah bertahun-tahun lalu melepaskan hakku atas rumah besar itu. Keputusan yang kuambil secara gelap mata di tengah kesedihanku atas sikap Yu Yasmin terhadapku. Keputusan untuk menghentikan napas dengan menjeratkan sehelai jarik milik Ibu di sekitar leherku, di atas tempat yang sekarang jadi rumahku ini. Sebatang pojon kenitu di sudut pekarangan rumah besar Bapak dan Ibu.

“Kamu masih saja menangis, Ndhuk?”

Aku masih juga merintih lirih di bawah tatapan Mbah Banon, tetua di lingkungan sini.

“Besok Dida akan datang ke sini,” ucap Mbah Banon lagi. “Dia akan menawarimu untuk tinggal bersamanya. Ikutlah bersamanya, Ndhuk.”

Aku tercenung. Sambil masih terisak.

Benarkah Mbak Dida akan membawaku pergi? Aku menatap berkeliling. Pada rumah-rumah di sekitarku. Pada jiwa-jiwa yang masih tertinggal sepertiku. Bila benar ia mengajakku, maka aku akan meninggalkan semua tetangga di sini? Ah...

Dan aku menangis lagi. Sepanjang malam. Entah untuk apa. Mungkin untuk menakuti manusia-manusia culas yang sedang bersiap tidur di dalam rumah besar sana. Atau mungkin juga sekadar untuk menuntaskan semua perasaanku terhadap tempat ini. Perasaan yang selama ini mengikatku hingga aku masih juga bertahan dan belum ingin sepenuhnya pulang.

Mbak Dida, aku tunggu kedatanganmu besok...

* * *


Catatan :
Tulisan ini diikutsertakan dalam Event Fiksi Horor dan Misteri Grup Fiksiana Community.


Sisi lain cerita ini : [Cermis] Dari Bawah Rimbun Pohon Kenitu
                      

Fiksi lain yang juga diikutsertakan dalam event ini : [Fiksi Horor dan Misteri] Regresi


Lagu latar : Lacrimosa - Karl Jenkins




16 komentar:

  1. Kerennn, mak...
    cucok dah malam2 bacanya, hahhaaa.
    huaaa... aku blas nggak ada ide sampe sekarang.
    :(

    BalasHapus
  2. sluuurpppppp..... (komen pertama di blog mak lizz)

    BalasHapus
  3. Wis toh rehat sik. Pembaca ndak akan kemana kok.. OK?

    BalasHapus
  4. Oh, Sulastri itu hantu gentayangan toh?

    BalasHapus
  5. Mbak, apiik tenan iki. Lha kok ndilalah aku mbatin, terusane koyok opo???? Dadi pengen nulis maneh iki...

    BalasHapus
  6. Waaaakkk masih pengin mengahantui rupanya :D

    Pantes kek pernah baca, ternyata emang mirip sama cermis si Pohon Kenitu ya Tan, hehe, mantaaaap :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang Kenitu dari sisi Dida, yang ini dari sisi Sulastri 😁

      Hapus
  7. Uhuk! Denger lagunya jadi ngebayangin hantu-hantu Eropa abad pertengahan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal aslinya pingin angkat tragedi Vesuvius - Pompeii, Mas. Tapi gatot 😢

      Hapus
  8. Tetep apik & bisa dinikmati kok dik.... 👍
    Ditunjang lagunya mantep 👍

    BalasHapus