Selasa, 06 September 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #3-2










* * *


Sudah hampir pukul sembilan malam ketika Winda mengetuk pintu apartemen abangnya. Hingga ketukan seri ketiga, tetap tak ada jawaban. Ia kemudian memutuskan untuk mengambil serenceng kunci dari dalam tasnya dan membuka sendiri pintu itu.

Pantesan...

Seluruh ruangan gelap. Tanda bahwa penghuninya belum pulang. Winda melangkah masuk sambil menghela napas panjang. Entah ke mana abangnya pergi. Belum pulang dari kantor, ataukah pergi lagi. Tapi kemungkinan besar hal pertamalah yang terjadi. Winda tahu betul bahwa abangnya adalah pekerja keras dan kurang menyukai dunia gemerlap seusai jam kerja. Pada malam menjelang akhir pekan seperti saat ini sekali pun.

Setelah menyalakan lampu. Winda pun duduk diam. Menenggelamkan diri di sofa di depan televisi. Iseng, diraihnya remote dan dinyalakannya televisi ukuran 42 inci itu. Tapi pikirannya tak sedikit pun menyangkut pada gambar-gambar bergerak yang terpampang di layar.

Kak Rara...

Winda mendesahkan nama itu dengan berbagai rasa berkecamuk dalam hati. Ada rasa terkejut yang sangat, gembira, terenyuh, sedih, dan entah apa lagi. Semuanya itu masih menimbulkan perasaan sesak yang menghimpit dadanya hingga saat ini.

Dan apa yang baru saja ia alami seolah kembali berputar di depan mata bagai layar film. Tanpa ia punya kuasa untuk mencegahnya.

* * *

“Winda...?”

Perlu waktu sekian detik bagi Winda untuk mengumpulkan segala ingatan yang tercerai berai. Tapi semuanya begitu cepat mengumpul ke arah satu titik. Sebuah nama. Yang diucapkannya dengan keyakinan, sekaligus keraguan yang kental.

“Kak... Rara...?”

Tak ada kata jawaban yang terucap. Dan entah siapa yang memulai, keduanya kemudian berpelukan dengan sangat erat. Begitu saja menggantikan jawaban itu.

“Astaga...,” bisik Winda. “Kakak ke mana saja?”

“Aku...,” Mai membebaskan Winda dari pelukannya.

Terlalu banyak yang ia ingin ceritakan, sekaligus ia ingin menyimpannya sendiri. Terlalu banyak yang ia ingin tanyakan, sekaligus ia ingin menyembunyikannya dalam hati. Berbagai kontradiksi itu membuat dadanya terasa sesak tiba-tiba.

“Aku...,” Mai mendegut ludah. “Diaz... Bagaimana... kabarnya?” Mata Mai mengerjap ketika ada butiran bening meluncur di pipinya. “Kamu? Om? Tante?”

“Kami semua baik-baik saja,” senyum Winda sambil menyusut air matanya. “Kakak bagaimana? Om? Tante?”

“Ya,” Mai mengangguk. “Baik-baik juga.”

“Om dan Tante di mana sekarang?”

Mai dengan halus menarik tubuh Winda hingga kembali terduduk di atas sofa.

“Ada di sini, Win,” jawab Mai halus. “Di sebelah itu rumahku,” Mai menunjuk ke arah sebelah kanan. “Di sebelahnya lagi rumah Ayah dan Ibu.”

“Oh...”

Begitu banyak yang ia ingin tanyakan lebih lanjut pada Mai, atau yang dikenalnya sebagai ‘Kak Rara’. Tapi lidahnya justru kelu. Apalagi ketika ia mengingat sebab menghilangnya sahabat abangnya itu, diikuti oleh kedua orang tua gadis itu beberapa minggu kemudian. Keduanya berpamitan, tapi tak mengatakan hal lain.

“Win, ayo, ke rumah,” ajak Mai kemudian. “Ayah sama Ibu pasti senang sekali bertemu denganmu.”

Winda menurut ketika Mai menarik tangannya. Ia berdiri diam. Menunggu dengan sabar hingga Mai selesai mengunci pintu dan menggembok pagar kantornya. Pegawai Mai, entah dia mana ia berada. Pun motor matic hitam yang tadi terparkir di carport. Sepertinya sudah meninggalkan kantor itu diam-diam. Tanpa berpamitan. Mungkin tak mau mengganggu momen Winda dan Mai.

Setelahnya, Mai menggandeng tangan Winda melintasi selasar di tepi taman yang menghubungkan kantor NitNit dan MM dengan rumah tinggal. Mai melewati saja rumahnya. Langsung membawa Winda ke rumah di sebelahnya.

“Mbak... Mm...,” Winda tak kuasa untuk meneruskan kalimat tanya yang sudah ada di ujung lidahnya.

Tapi Mai seolah tahu apa yang ada di dalam benak Winda. Ia menoleh sambil tetap melangkah.

“Qiqi,” senyum Mai. “Namanya Qiqi. Sekarang sudah kelas 2 SD.”

Jadi Kak Rara mempertahankan bayi itu...

Winda menghela napas lega tanpa kentara.

* * *

Suara pintu yang terbuka menyentakkan kesadaran Winda. Ia menoleh dan mendapati ekspresi terkejut menghiasi wajah abangnya. Ia meringis.

“Oh, kamu di sini,” gumam Ares, meneruskan langkahnya menuju ke kamar.

“Ya,” jawab Winda, tepat sebelum abangnya itu menghilang di balik pintu.

Dia masih marah padaku.

Winda mengedikkan bahu.

Apakah masih akan marah kalau...

“Sudah makan?”

Winda tersentak lagi. Sang abang ternyata tidak mengurung diri dalam kamar seperti perkiraannya semula.

Hm... Tampaknya sudah tidak terlalu marah lagi padaku.

“Sudah,” jawabnya kemudian. “Mas?”

Ares menggeleng. “Kedai di bawah sudah tutup.”

Seketika Winda menatap abangnya itu dengan sorot mata prihatin. Yang ditatap langsung melangkah ke arah pantry. Winda paham apa yang akan terjadi. Ia pun mengikuti Ares.

“Mas mau bikin mie? Sini, aku masakkan.”

“Tinggal nyeduh saja, kok,” jawab Ares sambil membuka lemari dan mengambil sebuah mie instan dalam kemasan cup.

Winda menghela napas panjang.

Seharusnya ia memang tinggal pula di apartemen itu. Untuk mengurusi Ares. Tapi letak apartemen itu terlalu jauh dari kampus. Sehingga dengan berat hati ia memutuskan untuk kost saja. Padahal...

Winda menggelengkan kepala. Samar.

“Jam segini baru pulang, lembur?” Winda duduk di atas sebuah kursi bar.

Ares mengangguk sambil menuangkan sebotol air dingin yang diambilnya dari dalam kulkas ke dalam sebuah gelas.

“Kamu sudah lama?”

Winda menggeleng. “Belum ada seperempat jam.”

“Diantar Obet?”

Winda kembali menggeleng. “Obet lagi ke Bandung.”

“Terus?” Ares mengerutkan kening.

“Ya, sendiri. Tadi dari kost jalan ke belakang situ,” Winda mengerakkan jari telunjuknya ke arah belakang gedung apartemen Ares. “Kembaliin kalung dan liontin yang salah kirim itu.”

“Oh...,” Ares duduk dan mulai menyuapkan mie ke dalam mulutnya. “Kantornya di situ?”

Winda mengangguk.

“Kenapa nggak pakai kurir saja?”

“Sekalian ingin jalan.”

“Kamu naik apa tadi?”

“Ojeklah...”

“Oh...”

Hening sejenak.

“Eh,” Ares menatap Winda, “gimana ceritanya bisa balik itu kalung sama liontin?”

“Mm...,” Winda menghela napas. “Aku terpaksa hubungin Dira via WA. Dia bilang kalung dan liontin itu masih di sini, nggak dia bawa ke Papua. Jadi, ya... Aku ambil tadi siang ke rumahnya. Ketemu mamanya. Lalu sore ini tadi aku kembalikan ke NitNit.”

“Oh...,” Ares manggut-manggut.

Laki-laki itu berdiri dan kembali membuka lemari di belakangnya. Diambilnya lagi satu cup mie instan.

“Astaga, Mas...,” Winda menepuk keningnya. “Laper banget, ya? Sampai bisa makan dua cup begitu!”

Ares meringis singkat. Segera diseduhnya mie instan itu.

“Darurat, Win.”

Winda kembali menatap dengan penuh keprihatinan sambil menggelengkan kepala berulang kali.

“Mas... Mas... Harus ada yang mengurusi Mas biar nggak kurang gizi seperti ini.”

“Ngomong asal,” gerutu Ares. “Lagian adikku satu-satunya juga ogah disuruh tinggal bareng di sini.”

“Ya, kan, terlalu jauh dari kampus,” elak Winda.

Ares menunggu sejenak hingga mie yang diseduhnya siap disantap. Ditatapnya Winda.

“Dira marah?”

Winda menggeleng. “Enggak. Lagipula aku sudah minta maaf. Dan dia mengerti maksudku.”

Ares tetap menatap Winda. Kali ini lebih tajam.

“Win, coba kalau kamu yang ada di posisi Dira, mengalami apa yang dia alami. Kira-kira kamu sakit, nggak, rasanya? Sebaik apa pun maksud sahabatmu itu padamu.”

Winda tercenung. Menggigit bibir bawahnya. Pikirannya kemarin benar-benar tak pernah sampai ke situ.

“Itu sebabnya Mas nggak mau kasih harapan,” lanjut Ares dengan suara lembut. “Karena Mas nggak yakin sama perasaan Mas sendiri. Mas nggak mau menyakiti Dira.”

Winda tertunduk. Beberapa detik kemudian diangkatnya kembali wajahnya.

“Mas, boleh aku tanya?”

“Apa?”

“Mm... Seberapa besar sebenarnya Mas mencintai Kak Rara?”

Seketika itu juga Winda merasa menyesal telah menggumamkan tanya dan nama itu. Ada rasa sakit yang tiba-tiba saja terlihat menggenang dalam mata Ares. Luas. Kelam. Dalam. Tapi sudah telanjur.

“Entahlah...,” Ares menggeleng. Pasrah. Disantapnya mie porsi kedua itu dengan ogah-ogahan. Nafsunya mendadak hilang entah ke mana. “Tapi aku masih berharap bisa bertemu lagi dengannya. Apa pun kondisinya.”

“Juga seandainya dia sudah punya anak?” tanya Winda dengan nada sangat hati-hati.

“Yang pasti anak itu tidak bersalah, Win,” geleng Ares. “Yang bersalah Rara. Dan yang lebih bersalah lagi adalah Nirwan yang nggak mau bertanggung jawab.”

Winda mendegut ludah melihat betapa wajah abangnya perlahan berubah mengeras. Ia tahu, kesalahan Nirwan sama sekali tak terampunkan di mata abangnya. Apalagi kondisi terakhir Rara yang mereka ketahui sebelum menghilang begitu menyedihkan. (Silakan klik tautan - Lizz)

“Tapi Rara sudah menebusnya dengan penderitaan itu,” lanjut Ares. Berdiri untuk membuang cup yang telah kosong dan mengisi gelas minumnya lagi. “Dan rasa bersalah itu akan dibawanya seumur hidup. Tanpa dia bersedia berbagi denganku,” nada suara Ares terdengar sangat pahit di telinga Winda.

“Anaknya perempuan, Mas Diaz,” bisik Winda dengan mata menerawang. “Cantik sekali.”

“Dari mana kamu tahu?” sambar Ares seketika.

Winda tersentak. Ia mengalihkan tatapan pada abangnya. Dilihatnya mata Ares menusuk manik matanya. Tajam.

“Win!” tatapan Ares berubah menjadi penuh tuntutan.

“Aku...,” Winda terbata. “Pemilik olshop itu... Namanya... Ranitya Maitreya. Dan aku... bertemu dengannya... sore ini... tadi...”

Gelas yang dipegang Ares meluncur jatuh dari genggaman. Pecah berkeping-keping. Dengan air dingin mulai membasahi kakinya.

* * *




Ilustrasi : www.pier1.com


14 komentar:

  1. Nama panggilannya macam2 padahal satu org. Konflik di cerbung ini lebih kompleks en menggigit. Love it.

    BalasHapus
  2. Manis, pahit kehidupan termyata. Mbak Lizz pancen okee pake bingits.... Hebaatt ooi, cerita sekelumit bisa jadi banyak. Salut...
    PS. Eternal Forseti kabare piye?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang hebat Mas Suhe tuh, yang punya idenya. EF masih tahap review. Sabar yaaa... 😘

      Hapus
  3. Uwaaaaa lanjute Diaz ta ini ?
    Mempengi perjuangane Rara mba.
    Aduuuu apik soro lagi ini !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yooo... Mangkane kemping ae ndek kene, hihihi... 😁😁😁

      Hapus
  4. Wooh.. Tembus 400rb klik! Melaju trs.. Br selesai bc cerbung yg sblm ini. Kt simbok yg ini lbh bgs ceritanya. Ditggu tamatnya biar bs rapelan lg ndak penasaran.

    BalasHapus