Selasa, 13 September 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #5-2










* * *


“Kakek itu papanya Mama, ya, Ma?”

Tiba-tiba saja pertanyaan sederhana itu menyeruak ke dalam obrolan ringan mereka menjelang tidur. Mai tercenung sejenak sebelum membelai rambut Qiqi.

“Iya, kenapa?” sahut Mai, sabar.

“Mama punya papa. Kok, Qiqi enggak?”

Mai menghela napas panjang sebelum menjawab, “Papa Qiqi sedang pergi jauh.”

“Om Grandy, ya? Kok, Qiqi panggilnya om? Bukan papa?”

“Qiqi kangen, ya, sama Om Grandy?” Mai mendadak menemukan celah untuk berkelit dari pertanyaan Qiqi.

“He eh.”

Mai berlagak menguap. Menular pada Qiqi.

“Mama ngantuk, ah, Qi. Mama banyak kerjaan besok. Enak, dong, Qiqi masih libur,” Mai berlagak menguap sekali lagi.

Dan gadis kecil itu pun terlelap beberapa menit kemudian. Mai mengerjapkan matanya ketika melihat betapa suci dan polosnya wajah Qiqi. Ada butiran-butiran yang mendesak hendak runtuh. Membuat Mai pelan-pelan bangun dan meninggalkan kamar Qiqi setelah mengecup kening gadis kecil kesayangannya itu.

Hujan merintik di luar rumah. Seiring dengan derai air mata yang membasahi pipi Mai.

Bukan sekali – dua kali Qiqi menanyakan tentang sosok seorang ayah baginya. Pertanyaan yang selalu dijawab Mai dengan mengambang dan berujung pada pengalihan perhatian Qiqi.

Mau sampai kapan?

Mai menggelengkan kepala. Qiqi makin besar. Dan pasti wawasannya akan makin bertambah.

Tahu apa anak berumur menjelang delapan tahun tentang penolakan ayahnya sendiri?

Ia sendiri tak pernah berani melangkah keluar dari tempurung hangat yang didiaminya bersama Qiqi. Kalau ia yang terbentur kekecewaan, ia yakin ia tak akan apa-apa. Tapi kalau Qiqi?

Bagaimana bila harapan dan mimpinya akan seorang ayah berujung pada sebuah rasa sakit yang lain?

Malam menghening dan makin dingin. Menjebak Mai dalam galau yang entah berujung di mana.

* * *

Seminggu berlalu dengan sangat cepat bagi Ares. Entah karena pekerjaannya memang sangat ringan, ataukah karena ada hal lain yang memompa semangatnya.

Jumat menjelang pukul empat sore, telepon di mejanya berbunyi. Dari resepsionis. Mengabarkan bahwa Winda sudah menunggunya di lobi. Dengan ringkas ia meminta tolong pada resepsionis itu untuk menyuruh Winda menunggu di basement saja. Di kantor sekuriti.

Teng-bur. Teng langsung kabur. Tepat pukul empat Ares meninggalkan mejanya di lantai delapan untuk meluncur turun melalui lift. Biasanya ia memilih untuk naik-turun menggunakan tangga. Tapi tidak sore ini. Ia butuh keluar secepatnya. Karena ia dan Winda harus menjemput kedua orang tua mereka di Bandara Soekarno-Hatta. Pesawat yang ditumpangi mereka dari Juanda dijadwalkan akan mendarat sekitar pukul tujuh nanti.

Belum banyak antrean mobil yang keluar dari basement. Dari kejauhan, Winda melihat bahwa mobil abangnya makin mendekati pos jaga sekuriti. Ia kemudian berpamitan kepada para sekuriti yang sudah berbaik hati memberinya tumpangan duduk di dalam pos yang suasananya lebih nyaman. Ketika mobil Ares berhenti untuk menyerahkan kartu pass, Winda segera menyelinapkan dirinya ke dalam city car Ares.

“Ke sini diantar Obet?” tanya Ares setelah mengucapkan terima kasih pada petugas sekuriti.

Winda menggeleng. “Naik taksi. Mau ngojek nggak jadi. Sudah hujan rintik di Depok.”

“Obet ke mana lagi?”

“Jalan ke Purwakarta. Proyek baru. Dia yang pegang.”

“Oh...,” Ares manggut-manggut. “Eh, pesawatnya tepat waktu nggak, ya?”

“Nggak tahu, Mas. Aku hubungi Mama-Papa, ponselnya sudah nggak aktif. Eh, Mas, cari makanan apa dulu, kek, yang dibungkus. Aku lapar, nih!”

“Kamu siang tadi nggak makan, ya?” Ares menoleh sekilas.

Winda meringis. “Nggak sempat. Ada anak yang konsultasi lama banget.”

Ares membelokkan mobillnya ke sebuah minimarket. Ada sebuah gerobak penjual martabak di teras depan minimarket itu. Ia turun dan menyuruh Winda duduk menunggu di mobil. Tapi Winda menggeleng.

“Aku masuk dulu, Mas. Beli minuman. Sekalian ambil uang di ATM.”

Ares mengangguk sambil menekan tombol alarm mobil.

Empat puluh menit kemudian Ares kembali meluncurkan mobilnya. Kali ini langsung menuju ke bandara. Aroma sedap martabak telur memenuhi kabin mobil mungil itu. Winda sibuk meniup-niup potongan martabak yang masih mengepul di tangannya. Ares pun tergiur juga. Dalam sekejap, satu kotak martabak tiga telur sudah berpindah ke dalam perut mereka. Masih ada dua kotak martabak lagi. Tapi tampaknya isi kedua kotak itu akan mendapat gilirannya sendiri nanti.

“Nah, kalau begini, kan, aku siap tunggu sampai jam berapa pun Papa dan Mama mendarat,” ucap Winda puas, sambil menyeka bibirnya dengan sehelai tisu. “Nggak bakalan pingsan kelaparan.”

Ares tergelak mendengarnya.

* * *

Pesawat yang ditumpangi Gunadi dan Tyas mendarat beberapa menit lewat dari pukul tujuh. Dan setelahnya, mereka berempat berpelukan sejenak di depan gerbang kedatangan. Saling melepas rindu. Sebelum Ares menggiring mereka semua ke arah mobilnya.

“Win, kamu, kok, mungsret?” celetuk Tyas. “Tambah kecil.”

“Nggak diurusi sama Obet,” sahut Ares dengan jahilnya. “Obet kebanyakan proyek, ke luar kota melulu.”

“Dih!” bibir Winda mengerucut. “Enggak banget!”

Seisi mobil tertawa melihat Winda tidak bisa membalas kejahilan abangnya.

Ares kemudian membelokkan mobilnya ke sebuah kafe 24 jam di dekat apartemennya. Makanan di sana cukup enak. Beberapa saat kemudian mereka sudah duduk melingkari meja bundar untuk berempat. Setelah selesai urusan memesan makanan dan minuman, Tyas menatap Ares. Meluncurkan tanya yang sedari tadi sudah berada di ujung lidahnya.

“Di, bagaimana keadaan Rara?”

“Baik, Ma,” Ares mengangguk. “Dia sudah mandiri, punya usaha, dan rumahnya bersebelahan dengan rumah Om dan Tante. Hanya bersebelahan. Nggak jadi satu. Tempat usahanya juga ada di sisi satunya.”

Online shop, ya?” tanya Gunadi.

“Ya. Maju, kok. Pelayanannya bagus.”

“Ya, karena online shop itu kita jadi bisa bertemu dia lagi,” timpal Winda.

“Mungkin memang sudah seharusnya jalannya seperti itu,” gumam Gunadi.

“Minggu lalu aku sudah bilang ke Om Rama, Papa dan Mama ingin bertemu akhir minggu ini. Mereka kelihatannya antusias.”

“Jadi kapan kita ke sana lagi?” Winda menatap abang dan kedua orang tuanya bergantian.

Gunadi dan Tyas saling menatap.

“Kapan?” tanya Gunadi.

“Besok mungkin kita cari apa dulu, gitu, buat anak Rara,” jawab Tyas.

“Hm... Dia suka banget sama boneka,” sahut Winda. “Dia cerita padaku.”

“Ya, sudah, besok kita ke mall dulu,” putus Tyas. “Ke sananya hari Minggu saja.”

Semua menyetujui keputusan Tyas.

* * *

“Ini gigiku sudah goyang satu lagi, Ma,” lapor Qiqi sambil meraba-raba giginya.

“Ya, memang sudah waktunya, Qi,” jawab Mai sambil terus mengemudikan mobilnya. “Makanya kita periksa dulu ke Dokter Intan. Lagian sudah jadwalnya ini...”

Qiqi mengangguk.

Kunjungan ke dokter gigi tak pernah menyebalkan baginya. Apalagi Dokter Intan, langganan mereka, memiliki ruang khusus untuk anak-anak. Ruangan itu didesain meriah dengan cat berwarna permen yang menyenangkan mata. Begitu juga segala peralatan dan hiasan di dalamnya. Penanganannya pun sangat memuaskan. Ramah, teliti, cekatan. Pasien yang datang terjadwal pun sudah memiliki waktunya sendiri sehingga tidak bentrok dengan jadwal praktik untuk pasien umum.

Dengan mulus Mai membelokkan mobilnya masuk ke tempat parkir klinik perawatan gigi milik Dokter Intan. Hanya ada satu mobil yang terparkir di sana. Setelah mengunci mobilnya baik-baik, Mai pun menggandeng tangan Qiqi, melangkah bersama, masuk ke dalam klinik. Seorang resepsionis menyambutnya dengan ramah.

“Halo, Qiqi,” sapa Rihana, resepsionis itu. “Apa kabar?”

“Baik, Tante,” jawab Qiqi dengan manis.

Rihana kemudian menatap Mai. “Maaf, Bu Mai, Dokter Intan masih di Denpasar. Pesawatnya delay. Seharusnya sudah sampai sini jam tiga siang tadi. Tapi Dokter Intan sudah hubungi keponakannya untuk melayani praktik sore ini. Bu Mai mau dijadwal ulang tetap ditangani Dokter Intan, atau dengan dokter pengganti saja?”

“Hm...,” Mai menimbang-nimbang sejenak. “Dokternya bagus, nggak?”

“Bagus, Bu,” senyum Rihana. “Selama ini Dokter Angga pegang praktik untuk anak-anak juga di Tangerang. Makanya dipanggil sama Dokter Intan untuk menggantikan beliau di sini.”

“Oh... Ya, sudah,” Mai mengangguk. “Daripada saya bolak-balik.”

“Oke, ditunggu sebentar, ya, Bu?”

Mai kembali mengangguk. Ia kemudian menyusul Qiqi yang sudah mendahului duduk manis di sofa mungil ukuran anak-anak di sudut. Rihana kemudian sibuk dengan teleponnya. Sepertinya menghubungi dokter pengganti di rumah Dokter Intan yang ada di belakang klinik itu.

“Ma, Ma, Kakek kemarin bilang, mau mengajariku Twinkle Twinkle Little Star,” ujar Qiqi dengan suara lirih. Di ruangan itu tengah mengalun rangkaian lagu anak-anak lewat dentingan piano dari pengeras suara di sudut.

“Oh, ya?” Mai menyahut dengan suara dan tatapan antusias. “Kamu pasti bisa!”

Qiqi mengangguk dengan wajah senang.

Pintu penghubung yang terbuka di belakang Rihana membuat Mai dan Qiqi sama-sama menoleh. Laki-laki jangkung, tampan, dan berkaca mata itu menunduk ke arah Rihana. Berbicara sejenak sebelum mengangkat wajah. Tatapannya menyapu Qiqi, kemudian Mai.

Dan Mai membeku seketika saat tatapan mereka bertemu. Begitu juga laki-laki jangkung itu.

Nirwan Erlangga.

Begitu saja rangkaian nama itu menghantam benak Mai.

* * *


Ilustrasi : www.123rf.com
  

28 komentar:

  1. Huuuuaaaaa, Opo maneh iki to mbak()&@:/- Nirwan? Mending AMA Diaz ae, ganteng, mapan, sabar, baek..... Ato bang Grandy? Ojok mbak, mengko ngomong'e moshi moshi arigatou gozaimashu....
    -/;:) kaboorrr, isuk isuk ngrusuhi ae, selak dibalang ulekan....&@?!:/- 😍😘😉😆

    BalasHapus
  2. Ra sabar nunggu hari kamis... membuat penasaran saja...

    BalasHapus
  3. Balasan
    1. Makasih banyak atas singgahnya, Pak Subur... 😊

      Hapus
  4. Hiyuuuuuh muncul kabeh wiskah !
    Seru !
    Seruuuu !!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ojok gemes, terus nyokoti bojomu lho, Niiit!
      😝😝😝

      Hapus
  5. Weitz... Grandy go aku wae nak nu

    BalasHapus
  6. Huwaaa.... muncul juga si Nirwan. Muakin rame dah. Ada adu jotos gak ya antara Diaz en Nirwan? Hehehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada nggak yaaa? Hihihi... Makasih mampirnya, Mbak Alin... 😊

      Hapus
  7. Salah koment tadi di yg Kemaren

    Akirnya bikin aku gemuru juga jantung ku 😭😭 mangkin gregetan jadinya sama Nirwan pengecut ☺️

    BalasHapus
  8. emang selayaknya harus ada diakhir kisah diatas itu sedikit perkelahian antara Nirwan dan Diaz, supaya ceritanya semakin lebih hidup dan alami....eh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Makasih singgahnya, Bapak. Salam kenal 😊

      Hapus
  9. Malah jantung Mai mungkin ya, yang bakal tanggal?

    BalasHapus
  10. kok malah aku yang merasa tertohok banget ???

    BalasHapus
  11. Pinter tenan marai penasaran. Pokokmen lanjut bae lah!

    BalasHapus
  12. ini si nirwan bapake Qiqi muncul?
    yesssss.... ruwet yesss! hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang baca yas-yes, yang nulis jungkir balik, hahaha... Makasih mampirnya, Neng... 😘😘😘

      Hapus