Kamis, 22 September 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #8-1








Sebelumnya



* * *


Delapan


Siapa laki-laki itu?

Nirwan menyipitkan mata. Sebenarnya ia ingin keluar dari dalam mobil untuk memenuhi hasrat keingintahuannya. Tapi... Dihembuskannya napas keras-keras. Semua memar di bagian kiri wajahnya menghalangi ia untuk mencari tahu. Ia masih cukup punya rasa malu.

Sekilas tadi, laki-laki itu diketahuinya duduk beberapa saat lamanya di pos satpam. Tak akan menarik perhatiannya, seandainya Mai kemudian tidak muncul dengan kondisi tergesa, bicara sejenak dengan satpam, dan bergegas masuk ke dalam. Laki-laki itu sekilas diketahuinya pula sudah masuk sebelum Mai datang.

Beberapa menit kemudian, keduanya keluar dari gerbang sekolah. Tangan laki-laki itu menggandeng Mai. Dan perempuan itu tampak menurut dengan raut wajah tanpa ekspresi perlawanan. Lalu mereka berbelok ke kafe di sebelah sekolah. Meninggalkan Nirwan dengan tanda tanya meluap di dalam hatinya. Tanpa bisa berbuat apa-apa.

Siapa dia?

* * *

Sayup, telinga Mai mendengar bel sekolah berbunyi. Ia melihat sekilas ke arah jam besar di dinding kafe. Tepat pukul dua belas. Beberapa kue basah dan minuman yang mereka nikmati masih tersisa setengah bagian. Mai menatap Grandy.

“Wah, Qiqi sudah mau keluar,” ujar Mai.

“Kamu jemput dulu,” timpal Grandy. “Aku tunggu di sini.”

Mai mengangguk dan meninggalkan tempat itu. Ia langsung masuk, menuju ke depan lobi. Di sana sudah ada beberapa penjemput yang sudah dikenalnya. Biasanya, Bu Ridha membariskan anak muridnya di dalam lobi, untuk kemudian menyerahkannya satu per satu kepada para penjemput.

Pintu lobi yang terbuka lebar membuat empat orang wali kelas 1 dan 2 leluasa berdiri di depan barisan anak murid masing-masing. Tatapan Mai dan Qiqi saling bertemu. Membuat Mai melambaikan tangan dengan ringan, yang dibalas Qiqi dengan senyum lebar. Gadis kecil yang berbaris di bagian tengah itu tampak sabar menunggu hingga gilirannya tiba. Setelah berpamitan dan bersalaman dengan Bu Ridha, Qiqi berlari kecil menghampiri Mai. Mai mengangguk sambil mengulas senyum pada Bu Ridha, berpamitan.

“Gimana hari ini?” Mai menggandeng tangan Qiqi, seperti biasanya.

“Luar biasa!” seru Qiqi dengan nada ceria.

Mai mengacungkan jempol.

“Kayaknya akan lebih luar biasa lagi karena ada yang sudah nggak sabar ingin bertemu denganmu.”

“Siapa, Ma?”

“Hm... Nanti kamu akan tahu sendiri,” Mai tertawa ringan.

Ia kemudian mengajak Qiqi berbelok ke kafe. Berkali-kali Qiqi menanyakan siapa orang itu, tapi Mai menggeleng dengan teguh. Hingga mereka berdua memasuki kafe, dan Mai menunjuk ke sebuah sudut.

“Tuh, dia!”

Mata Qiqi seketika membulat besar melihat siapa yang tengah duduk sambil menyedot minuman itu.

“Om Grandy!”

Tanpa bisa ditahan oleh Mai, Qiqi sudah berlari menghampiri laki-laki itu.

“Om Grandy!” serunya lagi dengan riang.

Tapi laki-laki itu menatapnya dengan kening berkerut. Sama sekali tanpa senyum. Membuat Qiqi menghentikan langkah sekitar satu meter dari laki-laki itu.

“Eh, kamu siapa?” tanya Grandy dengan nada serius.

“Qiqi, Om...,” suara riang Qiqi tadi berubah menjadi ragu-ragu.

“Ah, masak, sih?” kerut di kening Grandy terlihat makin dalam. “Perasaan waktu Om tinggal beberapa bulan lalu, Qiqi masih segini,” Grandy mengangkat tangan, kemudian mempertemukan ujung jari telunjuk dan ujung jempolnya dalam posisi lurus. “Kok, sekarang Qiqi sudah segini?” kedua tangan Grandy melukiskan sebuah lingkaran besar. Ekspresinya pun berubah jadi penuh senyum.

Seketika Qiqi tergelak ketika menyadari bahwa Grandy tengah menggodanya. Ia segera meneruskan langkahnya, berlari ke arah Grandy yang sudah membuka lebar kedua lengannya. Gadis kecil itu langsung tenggelam dalam pelukan hangat Grandy.

“Apa kabar, sayang?” Grandy mengecup lembut kening Qiqi, sekaligus membawa Qiqi ke atas pangkuannya.

“Baik, Om,” jawab Qiqi dengan manis. “Tahu, nggak? Qiqi rinduuu banget sama Om. Om, sih, nggak pernah telepon Qiqi.”

“Iya, Om sibuk, Nak. Eh, Qiqi mau makan apa? Mau minum apa?” tangan Grandy meraih buku menu yang tergeletak di atas meja.

Telunjuk mungil Qiqi segera menunjuk pizza kesukaannya dan strawberry milkshake. Grandy pun segera memesan apa yang ditunjuk Qiqi. Sejenak kemudian, kedua orang itu sudah asyik mengobrol. Melupakan Mai yang duduk sambil menyedot minumannya. Yang diam-diam mengamati pemandangan itu dengan hati berdesir.

* * *

Mendekam di dalam mobil selama setengah hari penuh membuat Nirwan merasa letih. Apalagi tadi dilihatnya Mai kembali lagi ke kafe bersama Qiqi. Hingga sejam berlalu, keduanya dan laki-laki itu belum juga keluar.

Perutnya mulai terasa perih. Dan setelah berpikir sejenak, ia kemudian memutuskan untuk mengakhiri pengintaiannya hari ini sampai di sini saja.

Besok masih ada waktu.

Ia pun menyalakan mesin mobil, kemudian meluncurkannya ke hotel tempat ia menginap sejak semalam. Bertahan di rumah Intan untuk sementara waktu?

Oh, no! Tante Intan kelihatannya masih bernafsu untuk membunuhku!

* * *

Mai menatap Qiqi sejenak. Lalu berpindah menatap Grandy. Tawanya hampir berderai ketika melihat betapa ekspresi keduanya sama persis. Memohon dengan sangat.

Please...,” sekali lagi Grandy mengucapkan kata itu.

Mai berpikir sekali lagi sebelum memutuskan untuk mengangguk. Segera saja kedua wajah di hadapannya berubah menjadi sangat cerah. Masih juga dengan kemiripan ekspresi.

“Tapi Qiqi jadi anak manis di rumah Oma, ya?” Mai menatap lurus ke mata Qiqi.

“Iya, Ma,” Qiqi mengangguk patuh.

“Nanti Mama suruh Tante Noni untuk kirim baju gantimu. Salam Mama buat Oma dan Opa, ya?”

Qiqi kembali mengangguk. Mai mengalihkan tatapannya ke arah Grandy.

“Benar nggak merepotkan?” tanyanya dengan nada tak yakin.

“Selama kamu jadi mamanya, apa dia pernah merepotkan?” Grandy balik bertanya.

Mai menggeleng dengan tegas.

“Nah!” Grandy tersenyum penuh kemenangan. “Nanti sore aku antar Qiqi pulang. Sekalian oleh-oleh buat kalian.”

“Ah, senangnya, kok, merepotkan diri,” Mai mencibir ringan.

Grandy tergelak. Diraihnya tangan Qiqi.

“Ayo, Qi! Kita antar Mama ke mobil, lalu kita lanjutkan petualangan kita!”

“Yuk!” Qiqi menyahut dengan nada antusias.

* * *

Grandy menutup buku dongeng yang baru saja selesai dibacakannya. Qiqi sudah terlelap. Memeluk guling besar di atas tempat tidur Grandy. Wajah gadis kecil itu tampak begitu polos laksana malaikat kecil. Grandy menjulurkan tangannya. Menyingkirkan beberapa helai poni yang menutupi kening Qiqi. Ia kemudian bangkit. Menuju ke seperangkat meja dan kursi di depan jendela, kemudian duduk di sana.

Diraihnya ponsel. Melihat bahwa beberapa belas menit lalu ada pesan masuk melalui aplikasi Whatsapp. Dibacanya pesan itu.

‘Qiqi gimana, Bang? Kalau dia nakal, jangan segan untuk menegurnya, ya? Oh, ya, dia harus tetap tidur siang.’

Ia tersenyum tipis.

Selalu begitu...

Mai selalu saja mengkhawatirkan Qiqi. Khawatir gadis kecilnya itu merepotkan orang lain dengan ulahnya. Kekhawatiran yang tak seharusnya ada.

Ia pun membalas pesan itu.

‘Cobalah, Mai. Sekaliii saja kamu percaya bahwa Qiqi baik-baik saja bersama orang lain. Kamu sudah mendidiknya dengan sangat baik. Tahu tidak, kamu tidak sedang membesarkan seorang anak. Kamu membesarkan sesosok malaikat kecil yang sangat manis. Great job! Dan malaikat kecil itu sekarang sedang tidur lelap setelah kubacakan dongeng untuknya.’

Bersamaan dengan itu, pintu kamar Grandy terbuka, nyaris tanpa suara. Grandy menoleh dan mendapati Amey melongokkan kepala dari sela kusen dan daun pintu.

“Kata Supi, kamu bawa Qiqi ke sini?” bisik Amey.

Grandy mengangguk dan menunjuk ke arah tempat tidurnya. Amey menyelinap masuk sambil mengikuti arah jempol Grandy.

“Oh... Manisnya anak ini...,” bisik Amey begitu melihat wajah lelap Qiqi.

Grandy tersenyum. Ia tahu, seutuhnya Qiqi adalah sosok cucu yang sudah sangat diidamkan orang tuanya, terutama mamanya itu. Kedua orang tuanya memang tak pernah mendesak dengan cara apa pun. Tapi ia masih punya mata hati untuk menangkap keinginan itu.

Didekatinya Amey. Diremasnya lembut bahu Amey.

“Maaf, ya, Ma,” bisik Grandy. “Aku masih belum bisa memenuhi keinginan Mama dan Papa.”

Tangan Amey menepuk punggung tangan Grandy yang masih berada di bahunya.

“Kapan pun, Gran,” ujar Amey dengan suara halus. “Papamu dan Mama tahu, suatu saat akan sampai juga pada saat itu.”

Grandy memeluk Amey dari belakang. Dengan berbagai kecamuk rasa berputar dalam hatinya.

* * *

Lega sekali hati Mai setelah membaca pesan balasan dari Grandy. Sejujurnya ia tahu bahwa Qiqi-nya tak akan pernah berbuat ulah yang ‘tidak-tidak’. Ia hanya sekadar ingin tahu saja. Dan jawaban Grandy sungguh menyejukkan hati.

Dan ketiga laki-laki itu...

Mai duduk terhenyak di depan meja kerjanya. Mendadak berpikir bahwa kali ini Tuhan sepertinya ingin mengajak ia bercanda lagi.

Ada apa di balik semua ini? Ke mana ujungnya akan berhenti?

Mai menangkupkan kepala di atas kedua tangannya yang bertumpu di meja. Memejamkan mata. Membiarkan pikirannya meliar dan berlari ke mana-mana, tanpa ia ingin mengendalikannya.

Diaz...

Betapa sering pikirannya selama delapan tahun ini berlabuh pada nama itu. Mempertanyakan bagaimana kabar sahabatnya dari kecil itu, bagaimana studinya, bagaimana kehidupannya, bagaimana orang tua dan adiknya, bagaimana karirnya. Tapi semuanya hanya terucap dalam hati. Berhenti tanpa ada jawaban pasti.

Tapi kini semuanya sudah jelas baginya. Diaz baik-baik saja. Sudah mandiri dengan karir yang mulai mapan. Kehidupan masa depan Diaz sudah terbentuk hampir sempurna. Tanpa ia punya andil di dalamnya.

Grandy...

Ia yang tak henti-hentinya memberikan suntikan semangat pada Mai. Dimulai ketika Mai tahu bahwa Qiqi lahir dalam kondisi tidak sempurna. Kemudian ketika Qiqi-nya yang begitu mungil dan ringkih harus menjalani serangkaian perawatan dan operasi untuk menutup kebocoran pada bilik jantungnya. Kemudian ketika Mai harus membiasakan diri menjadi seorang ibu yang berjuang keras untuk memperlakukan Qiqi senormal mungkin.

Entah apa yang akan terjadi pada diri Mai tanpa Grandy. Tapi sejalan dengan itu kehidupan Grandy tetap berjalan terus. Berusaha mewujudkan cita-cita untuk menjadi seorang dokter ahli bedah syaraf. Menebusnya dengan berpisah selama hampir enam tahun lamanya.

Grandy memang selalu pulang bila ada kesempatan. Untuk melepaskan kerinduan pada kedua orang tuanya. Pada Qiqi. Seolah tak ingin gadis kecil itu melupakan kehadirannya pada masa-masa pertumbuhan yang berlalu dengan begitu cepat.

Mai menghela napas panjang.

Dan ia tak pernah berani memikirkan apakah Grandy pun merindukannya. Entah kenapa. Masih terasa ada sekat di hati. Sekat gelap yang telah ditinggalkan Nirwan begitu saja.

Nirwan...

Mai mencibir. Laki-laki itu sungguh tak berguna baginya. Hal paling besar yang sudah dilakukannya dalam hidup Mai hanya menanamkan benih, lalu sudah.

Dan sekarang ngotot hendak mengakui Qiqi sebagai anaknya?

Mai mendengus.

Jangan harap!

* * *


Ilustrasi : www.crafthubs.com


Catatan iseng :
Para pembaca yang budiwati dan budiman, kerasa nggak sih, kalau hingga episode ini, Anda sudah baca 100 halaman A4? Hehehe... Kabor ah!



14 komentar:

  1. Pilih Grandy aja Mai kan dah cocok sama Qiqi. Mbak Lis, 1000 lembar pun aku betah menyimak buat sarapan pagi... hehehe

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Makasih banyak atas support-nya, Pak... 😊😊😊

      Hapus
  3. Aku vote Diaz. Lebih mengenal Mai dari zaman kecil en memendam rasa thd Mai. Hehehe...

    BalasHapus
  4. Bingung mau pilih siapa antara Diaz and grandy ☺️

    Semua ganteng dan baik hati hehhe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hayuuuk... Dipilih dipilih dipiliiih... 😋😋😋

      Hapus
  5. Grandy 'n Qiqi .......
    They're so sweet .......

    BalasHapus
    Balasan
    1. Just like your giant boy and your little angel 😍😍😍

      Hapus