Senin, 04 September 2023

[Cerbung] nDalem Karyayudan #5





Sebelumnya


* * *


Pulang dari rumah Partono, Maya mampir untuk membeli bunga tabur makam di pasar kaget yang ada di tepi pertigaan jalan dari rumah Partono menuju ke nDalem Karyayudan. Rencananya, ia akan langsung nyekar di makam Trah Karyayuda. Letaknya tak jauh dari nDalem Karyayudan. Hanya tepat di sebelahnya saja.


Tengah asyik berjalan sambil menenteng kantung plastik berisi bunga tabur, bunyi ringan klakson sebuah mobil mengagetkannya. Maya menoleh, mendapati sebuah SUV berhenti di sebelah kanannya. Kaca kiri depan mobil itu turun perlahan.


"May! Apa kabar? Dari mana?"


Seketika Maya tersenyum lebar. Ia kenal betul penyapanya itu. Pramudya, putra bungsu Partono.


"Dari rumah Yanglik, Mas," jawab Maya. Ia memang selalu memanggil laki-laki seumuran abang sulungnya itu dengan 'Mas', walaupun secara silsilah Pramudya adalah pamannya.


"Wooo ... tadi aku langsung ke sini, ndak mampir ke rumah Bapak. Ayo, masuk!" Pramudya membuka pintu kiri depan dari dalam.


"Nggak usah," tolak Maya sambil tertawa. "Cuma sak'nyuk ini. Mas Pram sendiri mau ke mana?"


"Ke rumahmu."


"Ya, wis, Mas Pram parkir dulu saja di rumah. Aku mau nyekar."


Pramudya pun menutup kembali pintu mobilnya. Jarak mereka ke pintu masuk kompleks makam memang cuma tinggal sejengkal saja. Maya pun meneruskan langkah begitu mobil Pramudya kembali melaju.


Alih-alih menunggu di nDalem Karyayudan, Pramudya malah menyusul Maya ke makam. Diam-diam ia berdiri di sebelah kanan Maya yang tengah memanjatkan doa di depan makam Marsalam dan Kartiyah Karyayuda yang bersisian. Ia pun turut berdoa. Pun ketika Maya berpindah ke makam-makam lainnya setelah menabur bunga. Makam pasangan Sadikah dan Bakti, makam pasangan Sudarsono dan Waliyani, makam Naomi Puti-ibu Pramudya, dan terakhir makam anak bungsu Sudarsono dan Waliyani yang meninggal saat masih bayi.


Sambil melangkah bersisian kembali ke nDalem Karyayudan, keduanya bercakap tentang banyak hal. Tentang restoran kecil Maya dan Gianluca di Genoa, tentang Pramudya yang sudah pindah dari apartemen ke rumah di sebelah rumah Nika, tentang kabar saudara-saudara lainnya, hingga mengerucut ke soal nDalem Karyayudan.


"Sebetulnya Mas Sunu itu ndak terlalu segitunya juga, sih, May," celetuk Pramudya sambil duduk di sofa, menatap Maya.


Maya balas menatap pamannya sekilas, sedikit skeptis. Pramudya mengangkat bahu.


"Dia jadi tambah antik itu, kan karena pengaruh istri keduanya," lanjut laki-laki lajang berusia akhir tiga puluhan itu sambil meraih gelas es teh yang baru saja disajikan Sriyah.


Maya menghela napas panjang dan mengembuskannya keras-keras.


"Aku nggak terlalu gila harta sebenarnya, Mas Pram," ucap Maya kemudian.


Pramudya mengangguk. Seutuhnya memahami.


"Cuma, kan, kita sudah punya bagian sendiri-sendiri," lanjut Maya. "Kalau mau dihitung secara adil dan terbuka juga, justru bagian bapakku itu yang paling sedikit, karena nDalem Karyayudan termasuk di dalamnya. Padahal nDalem Karyayudan tidak untuk dijual. Artinya, walaupun bernilai tinggi, tapi nggak ada duitnya."


"Iya, May, kami semua mengerti," Pramudya menanggapi dengan sabar. "Bahkan Mas Wicak sendiri sudah nggerundel sejak awal ketika soal itu digulirkan Mas Sunu. Mas Wicak malu."


"Aku belum ketemu Om Wicak, sih," gumam Maya.


"Yang jelas, nDalem Karyayudan seutuhnya hak keluarga Mas Sancoyo."


"Sayangnya ada celah besar, Mas. Karena sampai sekarang kita belum menemukan wasiat tertulis Mbah Buyut soal hak waris terhadap nDalem Karyayudan," Maya menggeleng resah. "Saksi hidupnya tinggal Yanglik Partono, sementara Yanglik Sudar dan yangtiku sudah meninggal."


"Coba nanti aku tanya Bapak lagi, May. Barangkali Bapak masih ingat apakah benar memang ndak ada wasiat tertulis ataukah justru ada. Kalaupun ada, kemungkinan besar malah tersimpan di nDalem Karyayudan."


Maya tersentak. Selama ini ia memang sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap status sertifikat nDalem Karyayudan. Ayahnya pun sama sekali tak pernah menyinggung itu. Bahkan keluarga besar Trah Karyayuda tak pernah mencolek hal itu sebelumnya, hingga ada 'gugatan' dari Sunu itu.


"Jadi ini fixed, ya, Mas, bahwa yang meributkan status nDalem Karyayudan cuma pihak keluarga Om Sunu?" Maya menatap Pramudya.


"Ya," Pramudya mengangguk tegas. "Bapak sudah menghubungi semua anak-anaknya. Kami berlima sama sekali ndak ada yang merasa memiliki hak atas nDalem Karyayudan. Begitu juga Mas Wicak. nDalem Karyayudan memang rumah bagi kita semua, keturunan Mbah Buyut Marsalam Karyayuda, tapi hak atas kepemilikan atau pengelolaannya berada di tangan keluargamu."


"Sayangnya Mas Atan ...."


"May," sergah Pramudya halus, "walaupun Atan melepaskan haknya atas nDalem Karyayudan, tapi masih ada kamu dan Nika sebagai keturunan Mas Sancoyo. Kalau Mas Sancoyo ndak ada keturunan, nDalem Karyayudan tetap ada di tangan keturunan Budhe Sadikah. Masih ada tiga lagi di bawah Mas Sancoyo. Kalau semua keturunan Budhe Sadikah, empat-empatnya, sama sekali ndak punya keturunan, barulah nDalem Karyayudan bisa jatuh ke tangan Pakdhe Sudar, kemudian ke tangan Mas Sunu. Ndak bisalah posisi kalian dilangkahi seenaknya seperti kemauan Mas Sunu. Berapa keluarga yang bakal dilangkahi, coba?"


Maya menggigit bibir sebelum menyesap es tehnya. Sejenak kemudian ia kembali menatap Pramudya. "Menurut Mas Pram sendiri, pertemuan rutin Trah Karyayuda itu masih perlu enggak, sih?"


Pramudya menatap Maya. Lama.


* * *


Maya duduk diam di atas kursi panjang di depan pintu tengah nDalem Karyayudan. Lampu gantung di atasnya bergoyang sedikit ditiup angin. Senja makin temaram di sekitarnya. Cukup sunyi. Hanya ada suara beberapa jenis serangga, gesekan dedaunan pohon-pohon besar di sekeliling, dan sesekali ditimpali sayup-sayup suara kendaraan bermotor yang melintas di jalan depan rumah. Tidak terlalu terdengar, karena ada jarak 30 meter memisahkan selasar dengan jalan. Belum lagi ada pendopo terbuka di tengah-tengahnya.


Ayah dan ibunya belum pulang dari kampus. Akhir pekan begini keduanya justru sibuk mengajar di program S-2 kelas karyawan. Walaupun ketiga putra-putri mereka sudah keluar dari nDalem Karyayudan untuk menjemput kehidupannya sendiri, Sancoyo dan Martina belum mau berhenti berkarya.


Martina sempat beristirahat tiga tahun lamanya saat berjuang melawan kanker payudara. Namun, status terkininya sudah jadi seorang penyintas, walaupun kesehatannya masih harus terus dikontrol.


Saat Martina sakit itulah Maya meninggalkan Nice, pulang ke nDalem Karyayudan. Selain untuk menemani ibunya berjuang, juga untuk ikut membantu persiapan pernikahan Nika dengan Karel pada satu setengah tahun berikutnya. Pernikahan yang cukup membuat Trah Karyayudan sedikit geger karena Nika harus melangkahi Maya.


Banyak yang menyarankan Nika untuk saja menunda pernikahannya agar tidak melangkahi Maya. Bisa berefek berat jodoh bagi Maya, menurut para tetua. Namun, Maya meminta Nika untuk jalan terus. Saat itu sudah ada Gianluca di hatinya, terpisah jarak Jogja-Nice. Mereka belum memutuskan akan menikah kapan walaupun hubungan mereka sudah serius, sementara hubungan Nika dan Karel sudah jauh lebih mantap untuk dibawa ke jenjang pernikahan. Menurut Maya, tak baik bila ia harus menggantung status Nika dan Karel. Seutuhnya ia rela bila sang adik menikah lebih dulu.


Beberapa hari sebelum dilangsungkannya pernikahan Nika, Gianluca muncul di Jogja. Maya memang mengundangnya. Pada saat itulah kepada Sancoyo dan Martina, Gianluca mohon izin untuk melanjutkan hubungan cintanya dengan Maya. Belum melamar secara resmi, karena masih banyak hal yang harus dibicarakannya dengan Maya.


Kehadiran Gianluca tentu saja disambut gembira oleh Trah Karyayuda, terutama Sancoyo dan Martina, apalagi Nika dan Karel. Itu artinya, untuk sementara waktu Maya akan terbebas dari 'kutukan' berat jodoh karena dilangkahi adiknya. Beban Nika sendiri pun seolah terlepas dari pundak karena Maya sudah punya gandengan.


Maya dan Gianluca memang menikah kemudian. Terentang jarak enam tahun setelah pernikahan Nika dan Karel. Rentang waktu yang sempat membuat sebagian besar anggota Trah Karyayuda ketar-ketir. Khawatir Maya benar-benar berat jodoh.


Sancoyo dan Martina dengan besar hati melepas kepergian Maya setelah menikah. Saat itu masuk tahun ketiga Gianluca kembali ke Genoa dari Nice. Laki-laki itu sudah mulai merintis La Cucina di Colletti. Dan, Maya setuju untuk ikut Gianluca mempertahankan keberadaan restoran kecil itu.


Gianluca memang sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di Genoa, tapi ia memiliki properti yang sayang untuk ditinggalkan begitu saja di sana. Properti bernilai strategis sangat tinggi yang ditinggalkan oleh sang nenek. Properti yang saat ini sudah menjadi La Cucina di Colletti.


Saat Gianluca berusia delapan tahun, kedua orang tuanya meninggal dalam suatu kecelakaan mobil. Ia kemudian diasuh oleh neneknya, ibu dari ibunya. Nonna (nenek) Eleonora, begitu Gianluca memanggilnya, memiliki sebuah toko roti. Dari situlah minat Gianluca terhadap dunia kuliner timbul. Walaupun jalur minat keduanya sedikit berbeda, tapi Eleonora mendorong Gianluca untuk mengepakkan sayap setinggi mungkin. Sayangnya, Eleonora berpulang pada tahun kedua Gianluca merintis kariernya di Perancis.


Sesuai dengan pesan sang nonna, Gianluca selanjutnya tetap bertahan di Perancis untuk mengumpulkan euro. Ia tetap ingin pulang ke Genoa pada saat yang tepat. Ketika hubungan cintanya dengan Maya sudah mendapat restu dari orang tua Maya, saat itulah ia mulai berpikir untuk kembali ke Genoa. Menyiapkan rumah baginya dan Maya kelak. Mengubah bekas toko roti neneknya menjadi La Cucina di Colletti, sebuah restoran kecil bersuasana hangat. Dan, suasana La Cucina di Colletti menjadi semakin semarak dengan bergabungnya Maya di sana.


Sayangnya, kepergian Maya untuk menetap di Genoa itu justru dijadikan celah bagi seseorang untuk mulai menggoyang keberadaan nDalem Karyayudan. Seseorang yang sesungguhnya tidak berdarah Karyayuda. Seseorang yang masuk ke dalam Trah Karyayuda sebagai istri sah kedua dari seorang berdarah Karyayuda.


"Soal pertemuan Trah Karyayudan itu masih relevan atau tidak dengan kondisi kita saat ini, itu bisa dipikir nanti. Yang jauh lebih penting saat ini adalah mengamankan dulu posisi dokumentasi nDalem Karyayudan di tangan kalian."


Maya menghela napas panjang ketika terngiang kembali di telinganya ucapan Pramudya siang tadi.


* * *


Selanjutnya


2 komentar: