Kamis, 21 September 2023

[Cerbung] nDalem Karyayudan #10






Sebelumnya



* * *


"Nyuwun pangapunten sebelumnya, Paklik, Mas, Mbak, Adik-adik semua yang ada di sini," ucap Santi dengan suara terdengar tegar. "Senin kemarin ini, saya sudah mendaftarkan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Saya mohon maaf juga atas semua kesalahan saya selama menjadi bagian dari keluarga ini. Saya dan anak-anak sudah banyak merepotkan keluarga ini. Terima kasih atas semuanya."


"Apa sudah ndak bisa diperbaiki lagi?" tanya Partono, sabar.


Santi menggeleng, kemudian berucap tanpa menatap Sunu, "Apa lagi yang harus diharapkan dan dipertahankan dari laki-laki yang sudah dua tahun ini tidak pernah pulang dan menafkahi anak-anak dan istri sahnya, Paklik?"


Hening sejenak.


"Saya tidak akan mengajukan gugatan harta gono-gini," lanjut Santi, tegas. "Saya tidak akan minta harta sepeser pun walaupun ada hak anak-anak saya di dalamnya. Hanya minta hak asuh atas Rumi yang masih SMA, dan supaya perceraian ini bisa diputus secepatnya tanpa ada pihak yang mengulur waktu."


"Selanjutnya mau kamu ajak anak-anak menggelandang?" cetus Sunu, sinis. "Tapi memang seharusnya kamu sudah kutendang keluar dari rumah jauh-jauh hari, sejak kamu mulai meributkan hubunganku dengan Izah."


"Rumah yang mana?" Partono menatap Sunu, menyipitkan mata. "Rumah yang kalian tempati sejak kamu menikah dengan Santi?"


"Lah, iya, to, Paklik."


"Memang itu rumahmu?" tanya Partono, telak. "Memangnya rumah itu kamu yang membangun?"


Seketika Sunu terdiam. Rumah itu ayahnyalah yang membangun untuknya, di atas sebidang tanah pekarangan milik Partono.


"Ada sertifikatnya, rumahmu itu?" tanya Partono lagi.


Sunu menggeleng. Pasrah.


"Sudahlah, rumah itu aku beli saja sekarang juga," tawar Partono. "Tiga ratus juta. Bangunan thok seharga segitu itu sudah ndak masuk akal. Ndak ada sertifikatnya pula."


Sunu dan Izah tampak saling menatap. Lalu, Izah membisikkan sesuatu. Sunu mengangguk. Kemudian, ditatapnya Partono.


"Saya beli saja tanahnya, Paklik," ucapnya sedikit ragu.


"Ndak kujual," tandas Partono. "Kalau mau, lepas rumahmu, tiga ratus juta. Kamu jual juga ndak akan laku karena tanahnya bukan milikmu. Tanpa sertifikat pula. Kamu malah ndak akan dapat apa-apa kalau tanah pekarangan itu kuambil kembali."


Sunu kembali bertatapan dengan Izah. Samar, Izah mengangguk. Dapat tambahan duit tiban sebanyak tiga ratus juta rupiah? Kapan lagi ada kesempatan?


"Baik, Paklik," angguk Sunu, takzim.


"Pram," tatapan Partono jatuh kepada Pramudya, "bayar sekarang juga. Pakai rekening bankmu dulu, nanti Bapak ganti."


"Baik, Pak. Tapi harus bikin surat perjanjian jual-beli dulu. Baru nanti aku transfer uangnya."


Kembali pembuatan surat perjanjian diulang lagi. Retno meraih bundel kuitansi kosong yang ada di dekatnya, dan diangsurkannya kepada Pramudya.


"Tolong, sekalian buat kuitansi transfer awal lima ratus juta dari Mas Rat tadi, Pram," ujarnya.


Pramudya mengangguk.


Sekitar lima belas menit kemudian, perjanjian jual-beli sudah ditandatangani. Sunu juga menorehkan tanda tangannya dengan ringan di atas kuitansi bermaterai, setelah mengecek rekeningnya. Sudah bertambah delapan ratus juta rupiah.


Setelah mengamati Pramudya selesai menyimpan baik-baik surat perjanjian jual-beli dan kuitansi pada sebuah map plastik berwarna kuning, Partono menatap berkeliling. Ia kemudian meminta Pramita merekamnya. Putri sulungnya itu pun menurut.


"Sekarang, di hadapan kalian semua, anak-anak, keponakan, dan cucu-cucuku," ucap Partono dengan suara jernih, "aku, Partono Hadi Karyayuda, menyatakan menarik kembali tanah pekarangan yang dulu kupinjamkan kepada Warsunu Karyayuda, beserta rumah tanpa sertifikat di atasnya, yang sudah kubeli lunas secara tunai seharga tiga ratus juta rupiah dari Warsunu Karyayuda. Selanjutnya, aku menghibahkan tanah pekarangan beserta rumah di atasnya tersebut, kepada Susanti binti Daliyono dan anak-anak hasil pernikahannya dengan Warsunu Karyayuda, bernama Hidayati, Arif, dan El Rumi.


"Penerbitan sertifikat atasnya akan diurus kemudian dan sepenuhnya menjadi tanggunganku, Partono Hadi Karyayuda. Demikian pernyataanku ini kubuat dalam kondisi sadar dan tanpa paksaan dari pihak mana pun. Dan, tidak ada satu pun pihak yang boleh menggugat keputusanku ini."


Hening sejenak.


"Sudah, Pak?" Pramita bertanya dengan suara lirih.


Partono mengangguk. Pramita pun mematikan kamera ponselnya. Setelah menyimpan video itu, ia pun membagikannya di grup WA Trah Karyayuda.


"Tolong, nanti kamu urus pernyataan tertulisnya, Pram," ujar Partono kepada putra bungsunya. "Yang penting seperti inilah kemauanku."


"Baik, Pak," angguk Pramudya.


"Maaf, Paklik," sela Sunu. Ada nada tak puas yang kental dalam suaranya. "Tadi saya beli tanahnya tidak boleh, kenapa malah dihibahkan ke Santi? Rumah Wicak juga tidak diutik-utik?"


Partono menatap Sunu tajam-tajam. "Lah, sakarepku, to! Wong itu tanah bagianku sendiri. Yang ditempati Wicak itu bagian mendiang budhe-mu. Setahuku malah sudah dibeli Wicak secara resmi sebelum budhe-mu seda. Sudah ada sertifikatnya belum, Cak?" Partono mengalihkan tatapannya ke arah Wicak. 


"Sudah, Paklik," angguk Wicak. "Sudah lama."


"Wo, lah, ya, ndak adil!" seru Sunu seketika. "Saya ndak dapat apa-apa! Saya mau beli tanahnya ndak boleh!"


"Empat milyar lebih apa masih kurang?!" suara Partono akhirnya menggelegar juga. "Kamu sia-siakan istri sebaik Santi. Kamu sia-siakan anak-anak penurut seperti Hida, Arif, dan Rumi. Sudah kamu tukar semuanya seharga empat milyar lebih. Kurang apa lagi?!"


"Jangan bilang empat milyar, Paklik," gumam Sunu. "Belum lunas."


"Senin akan kubereskan semuanya!" Ratmono menambah volume suaranya hingga hampir maksimal. Lama-lama emosinya terpancing juga. "Aku ndak akan ingkar janji! Serakahmu itu, loh, Nu, ora umum!"


Sunu terdiam. Sesungguhnya, ia juga sudah mulai lelah. Lagipula, ia sudah merasa mendapatkan yang ia mau. Tanpa berpanjang waktu lagi, ia kemudian berpamitan. Sudah menjelang asar. Azan pun berkumandang beberapa menit setelah kepergian Sunu dan Izah.


"Wis, yang mau solat, solat dulu," ujar Partono.


* * *


Seusai menunaikan ibadah salat Asar, Santi menghadap Partono. Ia merasa tak pantas menerima hibah tanah dan rumah dari Partono. Dengan tatapan teduhnya, Partono menatap Santi.


"Ndhuk," ucapnya lembut, "cuma ini yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahan Sunu terhadapmu dan anak-anak. Tolong, terimalah. Kamu dan anak-anak masih butuh tempat bernaung.


"Sebetulnya, jauh hari dulu aku sudah ingin menghibahkan semuanya kepada kalian. Sudah mau kubuatkan sertifikat segala. Sayangnya, keduluan Sunu menikahi Izah secara siri. Aku pun menundanya. Saat inilah aku melihat kesempatam terbaik untuk melaksanakan niatku itu. Sudahlah, Ti, itu hakmu dan anak-anak. Kalau hatimu belum bisa menerimanya, tolong, terima itu demi anak-anakmu."


Tangis Santi pun pecah dalam pelukan Hida. Pramita dan Martina mendekati keduanya. Mereka mendengar pembicaraan itu, dan tentu saja mendukung keputusan Partono.


"Apa pun yang terjadi pada pernikahan Mbak Santi dan Mas Sunu, Mbak Santi tetap keluarga Trah Karyayuda, Mbak," bisik Pramita. "Tidak boleh ada yang mempermasalahkan itu."


Santi mengangguk-angguk, masih dalam derai air matanya.


* * *


Langit sudah gelap sempurna ketika mobil Pramudya bergerak meninggalkan halaman depan nDalem Karyayudan. Ia memang yang terakhir meninggalkan rumah itu. Baru saja, ia dan Sancoyo sudah memperoleh tanda tangan ketua RT dan RW setempat, atas surat-surat perjanjian yang tadi sudah ditulis oleh Sunu.


Martina sempat menahannya agar menikmati makan malam bersama lebih dulu. Namun, Pramudya menolak. Ia sudah ada janji makan malam bersama beberapa rekan bisnisnya.


Saat Karel hendak menggembok pintu pagar, sebuah mobil berwarna gelap menepi dan berhenti. Karel urung melanjutkan gerakannya. Apalagi ketika seorang penumpangnya turun, diikuti pengemudi mobil yang menurunkan koper dari bagasi.


"Loh!" Karel terbengong sejenak sebelum buru-buru membuka kembali pintu pagar.


"Ada tamu, Rel?" seru Maya, berbalik.


Melihat siapa yang bersalaman erat dengan Karel di bawah siraman cahaya lampu dekat pagar, seketika mata Maya terbelalak. Benarkah?


"Cara!" seru laki-laki itu, penuh kerinduan. (Sayang [feminin].)


Tanpa menunggu detik berlalu, Maya segera menghambur ke dalam pelukan laki-laki itu, yang segera menciumi wajahnya tanpa ampun.


"Caro ...." Maya kehilangan kata. (Sayang [maskulin].)


"Mi manchi, cara," Gianluca menatap Maya dengan segenap jiwanya. "Mi manchi tanto." (Aku merindukanmu, sayang. Aku sangat merindukanmu.)


Seketika rasa kosong yang selama dua minggu ini menyelimuti hati Maya terpenuhi. Inilah rumah ... dengan Gianluca ada di sampingnya.


* * *


Selanjutnya


4 komentar: