Senin, 18 September 2023

[Cerbung] nDalem Karyayudan #9






Sebelumnya



* * * 


Saat membantu menyiapkan makan siang, Hida bertutur panjang mengenai keadaan keluarganya. Semua mendengarkan dengan hati sedih.


Benar bahwa Sunu sudah tak pernah lagi pulang dua tahun belakangan ini. Sejak saat itu, putus jugalah nafkah buat Santi dan anak-anaknya. Hida dan Arif sudah bekerja walaupun masih di posisi agak dasar dengan gaji mepet UMR. Berdua mereka menanggung biaya rumah tangga dan sekolah Rumi.


"Kalau memang berat, sudahlah Rumi aku lanjutkan biaya sekolahnya," ujar Retno. "Kalian kenapa ndak bilang?"


"Ndak apa-apa, Budhe," senyum Hida. "Budhe sudah terlalu banyak membantu kami."


"Sudah, mulai bulan depan, aku lanjutkan lagi biaya sekolah Rumi, Da," putus Retno. "Jangan menolak. Masa depan Rumi masih panjang. Kamu dan Arif juga butuh menabung buat diri kalian sendiri."


"Tapi, kan, semuanya sudah tahu bahwa Ibu mau minta cerai dari Bapak. Kalau nanti putusannya sudah final, kami bukan lagi anggota Trah Karyayuda."


"Siapa bilang?" tukas Pramita, halus. "Kalian bertiga berdarah Karyayuda. Tidak bisa digugat lagi itu."


"Sudahlah, kamu menurut saja, Da," ucap Retno. "Rumi kembali jadi tanggunganku."


Dengan air mata haru meleleh di pipi, Hida berkali-kali mengucapkan terima kasih. Retno memeluk keponakannya itu dengan segenap rasa sayang. 


"Kita keluarga, Da," bisik Retno. "Selamanya akan tetap seperti itu."


* * *


Seusai waktu salat Jumat, semua yang hadir di nDalem Karyayudan dipersilakan menikmati makan siang. Kalaupun suasana kembali gayeng, itu karena tidak ada yang terlalu mempedulikan kehadiran Sunu dan Izah. Melihat dengan mata kepala sendiri ke-ngeyel-an Sunu dan betapa turut campurnya Izah, kejengkelan yang selama ini mereka simpan pelan-pelan merayap naik ke ubun-ubun.


Wicak agak sedikit pendiam kali ini, walaupun Pramudya yang duduk di sebelahnya cukup aktif mengajaknya mengobrol. Bisa dimaklumi. Agaknya Wicak benar-benar malu dengan keinginan abangnya.


Setelah makan, mereka kembali ke topik semula. Kali ini sudah jauh berkembang ke nilai nDalem Karyayudan dalam rupiah.


"Berapa tadi hakmu, Nu?" tanya Hananto sambil memegang secarik kertas.


"Hak bapakku 40%, Mas," jawab Sunu dengan nada di atas angin. "Nanti akan kubagi dua dengan Wicak."


"Ndak usah bawa-bawa namaku, Mas!" ucap Wicak, tajam. "Sejak semula aku sudah tahu bahwa mendiang Bapak sudah ndak ada hak atas nDalem Karyayudan! Mas Sunu saja yang serakah! Kalau Mas memaksa mau menyerobot hak keluarga Mas Sancoyo, lakukan saja sendiri! Jangan pernah bawa-bawa namaku, apalagi nama mendiang Bapak! Makan sendiri saja yang kamu bilang sebagai hakmu itu!"


Sunu mengatupkan rahangnya. Hananto yang sejak awal berusaha untuk bersabar, menatap Sunu setajam mungkin.


"Jadi hakmu 20%, ndak lebih!" ucap Hananto tegas.


Sunu menatap Hananto. Menimbang-nimbang. Dua puluh persen itu sudah berapa M, ya?


"Seandainya kamu sudah menerima hakmu yang 20% itu, apa lagi yang kamu inginkan?" tanya Partono.


"Ndak ada, Paklik," jawab Sunu dengan nada takzim.


"Betul ndak ada?" Partono menegaskan lagi.


Sunu mengangguk. Partono mengalihkan tatapannya kepada Sancoyo.


"Ya, sudah, San," ujarnya. "Tinggal hitung berapa nilai nDalem Karyayudan, bayar bagian Sunu, selesai."


"Lah, saya bayar pakai apa, Paklik?" protes Sancoyo.


"Sawah ro kebonmu rak akeh, to, Mas," ujar Ratmono. Ada nada menggoda yang kental dalam suaranya. (Sawah dan kebunmu, kan, banyak, Mas.)


"Belum rumah mewahmu, Mas," timpal Hananto, dengan nada selaras ucapan Ratmono.


"Anak-anakmu, yo, wis mentas kabeh, to, Mas." Retno mencebikkan bibir. Nada suaranya penuh sindiran. Bukan ditujukan kepada abang sulungnya, tentu saja. (Anak-anakmu, ya, sudah berhasil semua, kan, Mas.)


Sancoyo bergantian menatap ketiga adiknya. Tak percaya. Tak berdaya. Masa hal seperti ini dihadapi dengan sikap main-main? Wis edan kabeh! (Sudah gila semua!)


"Sawah sama kebunku saja ambil semua, Mas." Wicak menatap Sunu. "Daripada kamu bikin malu mendiang Bapak."


"Sudah, sudah," ujar Hananto. "Dihitung saja, biar cepat selesai. Ayo, Mas," Hananto menatap Ratmono, "Mas Rat lebih tahu nilai nDalem Karyayudan."


Ratmono berdehem sambil meraih kertas yang sedari tadi ada di tangan Hananto.


"Luas tanah sini berapa, Mas San?" Ditatapnya Sancoyo sekilas.


"Seribu delapan ratus."


"Dikali empat juta per meter, piro, Han?" Kali ini tatapan Ratmono mengarah ke Hananto.


"Tujuh koma dua M, Mas," jawab Hananto setelah menghitungnya di kalkulator ponsel.


"Bangunane piro, Mas?" Ratmono menatap Sancoyo. "Pirang meter?" (Bangunannya berapa, Mas? Berapa meter?)


"Aku ora apal." Sancoyo berdiri. "Sik, tak'njupuk sertifikat." (Aku tidak hafal. Sebentar, aku ambil dulu sertifikatnya.)


"Nematus sewidak," jawab Martina, membuat Sancoyo duduk kembali. (Enam ratus enam puluh).


"Pendopo?" Ratmono kembali mencoret-coret kertasnya.


"Telung puluh enem meter," jawab Martina lagi. (Tiga puluh enam meter [persegi].)


"nDalem sama pendopo lain hitungannya, loh, Mas," Hananto mengingatkan.


"Iyo, wis ngerti," angguk Ratmono. (Iya, sudah tahu.)


Secara kasar, Ratmono menghitung bangunan rumah senilai sepuluh juta rupiah per meter persegi, sementara bangunan pendopo yang berlantai marmer, bertiang jati pilihan yang berukir halus, dengan genting tanah liat bermutu prima, per meter perseginya ia hitung empat juta rupiah. Totalnya ia bulatkan ke atas jadi enam koma delapan M.


"Perabot dan pecah belah, berapa, Mbakyu?" Ratmono menatap Martina.


"Wah, ndak pernah menghitung." Martina terlihat was-was.


"Enam M ada, Mas," sahut Retno, cepat. "Perabot jati berukir, gebyok antik, koleksi keramik, alat makan perak, piring sama cangkir kuno. Kira-kira enam M-lah."


Sancoyo menelan ludah. Harus berapa hektar sawah, kebun, dan rumah dilepasnya untuk membayar kompensasi bagi Sunu?


"Total ... tujuh koma dua-tanah pekarangan, ditambah enam koma delapan-rumah dan pendopo, ditambah enam-perabot dan keramik ... pas dua puluh M," ucap Ratmono.


"Dua puluh persen dari dua puluh ...," Hananto langsung menghitung di luar kepala, "cuma empat M, Mas." Ditatapnya Sancoyo.


Yang ditatap langsung bernapas lega. Tabungannya selama ini di bank, dari hasil kebun dan sawah yang ditangani dengan sangat baik oleh Wicak, masih lebih dari cukup untuk membayar kompensasi itu. Tak perlu menjual apa-apa.


"Sebentar ...," Ratmono menatap Sunu, "... ini kalau sudah kamu terima uangnya, masih mau menuntut hak atas apa lagi?"


"Ndak ada, Mas," jawab Sunu dengan nada manis.


"Termasuk hak pengelolaan selanjutnya atas nDalem Karyayudan?" Ratmono menegaskan.


"Iya, Mas," angguk Sunu.


"Bikin surat perjanjian," perintah Ratmono. Ia tak ingin lagi melihat abangnya dikadali Sunu lebih lanjut.


"Ini kertas dan bolpennya." Hananto sudah siap mengangsurkan kedua benda itu pada Sunu.


"Tulisane piye?" Sunu menatap sepupu-sepupunya. (Tulisannya bagaimana?)


"Saya, yang bertanda tangan di bawah ini," dikte Retno, "nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, alamat, nomor KTP, berurutan ke bawah."


Dengan patuh Sunu menuliskannya. Ketika selesai bagian itu, ia mendongak, menatap Retno.


"Putra sulung dari mendiang Sudarsono dan Waliyani Karyayuda, koma ... cucu dari mendiang Marsalam dan Kartiyah Karyayuda, koma ... dengan ini menyatakan ... menerima pembagian hak waris ... atas nDalem Karyayudan ... yang terletak di ...," secara lengkap Retno menyebutkan lokasi hingga ke RT/RW, "... sebesar ... piro mau?" Retno menatap Hananto. (berapa tadi?)


"Empat milyar rupiah."


"Empat milyar rupiah, titik," lanjut Retno. "Ganti baris.


"Selanjutnya ... saya berjanji untuk tidak menuntut apa pun lagi ... dari keluarga besar Adolfus Sancoyo Karyayuda ... sebagai pemilik sah nDalem Karyayudan koma, dan dari seluruh anggota Trah Karyayuda lainnya, koma ...  termasuk pengelolaan nDalem Karyayudan oleh siapa pun ... dan dalam bentuk apa pun nantinya, titik. Ganti baris. 


"Surat perjanjian ini ... saya buat dengan kesadaran penuh ... dan tanpa tekanan dari pihak mana pun, koma ... sebagai tanda penerimaan saya ... atas keputusan bersama Trah Karyayuda, koma ... sebagai hasil dari tuntutan saya sendiri ... terhadap pembagian hak waris ... atas nDalem Karyayudan. Ganti baris.


"Yogyakarta, koma, tanggalnya hari ini, terus namamu. Jangan ditandatangani dulu. Perlu materai ini."


"Sudah kusiapkan." Pramudya mengulurkan plastik bening berisi lembar-lembar materai.


"Kok, akeh men?" Retno mengerutkan kening. (Kok, banyak sekali?)


"Lah, saksinya perlu tanda tangan di atas materai ndak?" Pramudya balik bertanya.


"Perlu!" sahut Ratmono. "Biar ndak ada acara ngeles-ngeles lagi."


"Tapi aku belum terima uangnya!" celetuk Sunu.


"Kowe ki dhuwit wae sing mbok'pikir!" sergah Partono. "Beda lagi surat perjanjian sama kuitansi!" (Kamu ini uang saja yang dipikirkan!)


Bibir Sunu seketika terkatup. Kemudian kertas perjanjian yang berjumlah dua lembar itu bergilir mereka tempel materai dan tanda tangani. Dimulai dari Partono, Sancoyo, Ratmono, Hananto, Retno, Wicak, Pramita, Pramudya, Maya, dan berakhir di Nika. Selebihnya yang hadir di situ tanpa kecuali, bertanda tangan sebagai saksi pendamping, tanpa materai.


"Ini aku bawa dulu," ucap Pramudya. "Biar Mas San dan aku mintakan tanda tangan ke RT-RW sini. Selanjutnya aku kopi, biar aku bawa ke kelurahan, buat legalisir kopiannya. Setelah itu, baru aku kasih ke Mas Sunu kopian berlegalisirnya. Aslinya biar disimpan Mas San."


"Sekarang difoto dulu saja, Pram," ujar Pramita. "Langsung diunggah ke grup WA. Biar yang tidak bisa hadir sekarang juga tahu keputusannya."


Pramudya menuruti permintaan kakak sulungnya itu.


"Nomor rekeningmu berapa?" tanya Ratmono tiba-tiba, menatap Sunu.


"Wah, ndak hafal aku, Mas."


Lalu, tiba-tiba saja Izah menyebutkan sederet nomor, yang catatannya ia ambil dengan sigap dari dalam dompet. Rupanya, ia sudah menyiapkan diri untuk menerima kemungkinan terbaik. Ratmono meminta catatan itu. Ia kemudian sibuk dengan ponselnya, masuk ke internet banking. Beberapa menit kemudian ia mengangkat wajah, menatap Sunu.


"Sudah kutransfer lima ratus juta, Nu," ujar Ratmono. "Sisanya nanti kalau surat perjanjian sudah beres urusannya."


Sementara Sunu balik menatap Ratmono dengan wajah secerah mentari lewat tengah hari di atas sama sembari berkali-kali mengucapkan terima kasih, Sancoyo menatap adiknya dengan bingung.


"Piye, to, iki?" Sancoyo mengerutkan kening. "Kok, jadi kamu yang keluar duit, Rat?" (Bagaimana, sih, ini?)


"Sudah, Mas," senyum Ratmono. "Jangan pikir lagi soal ini. Aku yang bereskan. Wis, to." (Sudahlah.)


Sancoyo menatap Ratmono. Lama. Tanpa ia tahu, semalam ketiga adiknya sudah membuat grup WA baru, tanpa menyertakan ia di dalamnya. Ketiganya berdiskusi tentang nDalem Karyayudan dan kompensasi yang hendak diminta Sunu. Ratmono menyatakan diri sanggup menanggung semuanya, berapa pun yang nantinya akan diminta Sunu. Apalagi ketiganya sudah menghitung lebih dulu kemungkinan berapa nilai nDalem Karyayudan dan segala isi di dalamnya. Dilihat dari sisi mana pun, Sancoyo tidak pantas menerima perlakuan seperti itu dari Sunu. Apalagi bagi Ratmono, jatuh bangunnya ia dulu, selalu ada Sancoyo yang menjadi tempatnya bersandar. Begitu pula yang selama ini dirasakan oleh Hananto dan Retno.


"Nah, ini masalah hak waris sudah selesai," cetus Partono. "Sekarang aku ingin kejelasan soal Sunu dan Santi."


Suasana menghening sejenak.


* * *


Selanjutnya


5 komentar:

  1. Dan ketika narasi sudah bertabur angka2..disitu diriku auto perih mikir rekening dewe😂😂 lanjoot mbak liz..JBU

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maksudte..rek ongkone kok ra nambah2😭😭

      Hapus
    2. Aku dhewe ngelu og, Mak. 😆😆😆

      Hapus
  2. Aq melok gregeten kambek Sunu seh mb Lis. Pengen tak ulek ae raine. Lanangan clutak. Hiiiiiiiiiiih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cokoten ae sing ndek sebelahmu iku, Nit. 😆😆😆

      Hapus