Senin, 11 September 2023

[Cerbung] nDalem Karyayudan #7





Sebelumnya


* * *


Empat


Sesuai kesepakatan melalui WAG, pertemuan sebagian anggota Trah Karyayuda diadakan pada hari Jumat, hampir dua minggu kemudian, pada suatu akhir pekan panjang yang dimulai pada hari Kamis.


Bagi Maya, sebenarnya waktu yang dihabiskannya di Jogja sudah terlalu banyak. Sudah dua minggu lamanya. Walaupun Gianluca tidak pernah reseh dengan menyuruhnya segera pulang ke Genoa, tapi Maya sendiri sudah merasa setengah bosan setengah kerasan. Entah kenapa ia merasa bahwa Jogja dan nDalem Karyayudan sudah bukan lagi rumahnya.


Selain menghabiskan waktu bersama keluarga dan berkunjung ke beberapa kerabat yang masih ada di Jogja, ia juga sudah menyempatkan diri untul bertemu dengan beberapa teman sekolahnya dulu. Sekadar reuni tipis-tipis dan bernostalgia. Pertanyaan yang paling sering ia terima saat pertama bertemu lagi adalah 'Anakmu sudah berapa? Segede apa?', yang ia jawab dengan cengiran jahil.


Menjelaskan bahwa ia dan Gianluca sudah sepakat untuk childfree? Baginya hal itu terlalu pribadi. Apalagi di sini, di Indonesia, hal itu masihlah penuh dengan pro-kontra. Maka, jawaban paling 'aman' adalah 'belum dikasih sama Yang Di Atas'.


Itu baru di 'luaran', apalagi bila hal itu nanti, baik secara sengaja maupun tidak, digulirkan dalam pertemuan Trah Karyayudan. Cukup keluarga intinya yang tahu keputusannya dan Gianluca itu. Keputusan yang diterima oleh Sancoyo dan Martina dengan lapang dada.


Ada satu lagi orang yang tahu soal itu. Pramudya. Bagi Maya, Pramudya sudah seperti Atan, abangnya sendiri. Pramudya sudah berada pada posisi 'itu' beberapa waktu belakangan ini. Posisi digosipkan sebagai penyuka sesama jenis oleh beberapa kerabat sendiri, karena hingga usianya mendekati angka 40, Pramudya tak pernah terlihat menggandeng kekasihnya ke mana pun. Padahal, Pramudya memang belum menemukan sosok belahan jiwanya, dan ia tak pernah mau memaksa diri.


* * *


Adik-adik Sancoyo sudah muncul di nDalem Karyayudan sejak Kamis pagi. Dimulai dengan Hananto, si nomor tiga, terbang dengan pesawat paling pagi dari Jakarta. Ia hanya berdua saja dengan istrinya. Putri kembar Hananto sedang menyelesaikan studi S-2 mereka secara terpisah di Jerman dan Amerika Serikat.


Menjelang pukul sembilan, muncullah si bungsu Retno dalam formasi lengkap. Ia datang bersama suami dan putri bungsunya, bermobil dari Semarang. Selisih sekitar lima menit, muncul mobil milik putra sulung Retno yang datang bersama istrinya, langsung dari Solo.


Setengah jam sebelum menu makan siang lengkap terhidang, datanglah Ratmono si nomor dua, bersama istri, putra tunggal dan menantunya, serta cucu yang masih bayi. Seperti Hananto adiknya, keluarga Ratmono tinggal di Jakarta. Namun, alih-alih naik pesawat, mereka memilih untuk naik mobil saja. Demi bertemu dengan keluarga besar, mereka rela berangkat pukul tiga pagi dari Jakarta.


Suasana di nDalem Karyayudan yang biasanya sunyi jadi begitu meriah. Kamar-kamar besar di samping kanan dan kiri ruang makan kini terisi, begitu pula kamar-kamar berukuran lebih kecil yang berderet masing-masing tiga ruang di sebelah kanan dan kiri selasar yang memisahkan ruang inti nDalem Karyayudan dengan taman dan dapur luas di bagian belakang.


Maya yang semula menempati kamar besar miliknya sejak masih kecil, dengan senang hati pindah sementara ke salah satu kamar belakang. Bersebelahan dengan kamar yang ditempati Olin, putri bungsu Retno. Kamarnya akan ditempati Hananto dan istrinya.


Dan, siang itu tidak ada acara makan bersama secara resmi di sekeliling meja besar. Seluruh makanan memang diletakkan di sana, tapi mereka menikmatinya sambil lesehan di atas karpet yang digelar di selasar depan taman. Ada beberapa menu yang dimasak sendiri oleh Maya. Selebihnya berasal dari dapur restoran Nika dan Karel.


Belum ada satu pun yang menyinggung soal keinginan Sunu. Suasana siang itu terlalu menyenangkan, sehingga sayang rasanya bila harus dirusak oleh masalah yang masih akan mereka bahas besok.


Semua anak dan menantu Sadikah adalah orang-orang yang 'berhasil'. Si sulung Sancoyo dan Martina, istrinya, sama-sama profesor di perguruan tinggi berbeda. Demikian pula putra-putri mereka, cukup berhasil dalam kehidupan masing-masing. Tak ada satu pun yang menjadi beban keluarga.


Si nomor dua, Ratmono, adalah seorang pengusaha properti skala besar yang menetap di Jakarta. Stella-istrinya-adalah seorang dokter yang kemudian memilih untuk jadi pegiat sosial yang fokus menangani pendidikan, kesehatan, dan rumah singgah bagi anak-anak dan keluarga di kantong-kantong kemiskinan. Area kerjanya meliputi Jakarta, Depok, dan Bekasi. Adrian, putra tunggal pasangan ini, sudah disiapkan ayahnya untuk nanti mengambil alih kepemimpinan semua bisnis properti yang mereka miliki. Bea, istri Adrian, yang juga seorang seorang dokter belakangan ini lebih aktif mengikuti kegiatan sosial ibu mertuanya. Putri Adrian dan Bea saat ini masih berusia tiga belas bulan. Sedang lucu-lucunya karena sudah mulai lancar bicara dan senang hilir mudik ke sana-sini.


Hananto, anak ketiga, adalah seorang pejabat tinggi di salah satu kementerian. Dikta, istrinya, adalah seorang pengacara yang menjadi ujung tombak dalam sebuah firma hukum terkenal milik ayahnya. Sebuah firma hukum yang termasuk dalam jajaran 20 terbaik di seluruh Indonesia. Gaby dan Ella, putri kembar mereka saat ini sedang menyelesaikan pendidikan magister mereka di luar negeri. Gaby di Jerman mengambil jurusan teknik kimia, sedangkan Ella berhasil menembus Harvard Law School.


Si bungsu Retno adalah seorang doktor di bidang psikologi pendidikan, dan mengajar di salah satu PTN di Semarang. Ia juga sering menjadi dosen tamu di berbagai perguruan tinggi, baik dalam maupun luar negeri. Dion, suaminya, seorang arsitek sekaligus kontraktor yang cukup punya nama hingga ke wilayah Indonesia Timur. Felix, putra sulung mereka, memilih untuk ikut sang istri mempertahankan dan membesarkan sebuah usaha batik Solo milik keluarga. Istri Felix, Nia, adalah ahli waris tunggalnya. Felix yang memang berbakat melukis bahkan sudah punya lini sendiri berupa batik lukis yang diproduksinya secara eksklusif dengan bahan dan kualitas premium beberapa tahun belakangan ini. Si bungsu Olin, yang terpisah usia cukup jauh dari abangnya, saat ini sedang menunggu dimulainya program magister arsitektur di sebuah PTN di Bandung.


Kalau boleh dibandingkan dengan Sunu, tentulah kondisi keluarga keturunan Sadikah dan Bakti seutuhnya sangat jomplang. Inilah salah satu hal yang mereka bicarakan sore harinya.


* * *


Selanjutnya



2 komentar: