* * *
Tiga
Pada hari ketiga keberadaan Maya di Jogja, barulah mereka benar-benar punya waktu untuk bertukar pikiran. Hanya mereka berempat. Maya, Nika, Sancoyo, dan Martina. Karel bermain dengan anak-anak di pendopo supaya tidak mengganggu pembicaraan.
"Jadi, kita ini maunya bagaimana?" cetus Sancoyo, setelah mereka mengobrol ngalor-ngidul.
"Bapak sendiri, maunya bagaimana?" Maya balik bertanya, halus.
Sancoyo mengembuskan napas panjang sebelum menjawab, "Ya, kalau bisa rumah ini tetap berada di tangan keluarga kita. Bukan karena aku materialistis atau bagaimana, tapi lebih ke menghormati keinginan dan keputusan mbah buyut kalian. Semuanya sudah ditetapkan sah secara hukum dengan terbitnya sertifikat rumah ini atas namaku."
Sebetulnya sudah jelas keinginan Om Sunu harus kandas. Maya mengerjapkan mata.
"Tapi yang digugat Sunu itu adalah pembagian warisan dari mbah buyut kalian dulu. Seharusnya Yangti Sadikah, ibuku, mendapat bagian hanya setengah dari yang diterima adik-adiknya yang laki-laki semua. Itu sesuai kepercayaan yang dia anut. Otomatis keberadaan rumah ini di tangan kita juga dia pertanyakan."
"Lah, aneh!" gerutu Nika. "Mbah Buyut, kan, penganut Kejawen. Terserah Mbah Buyut, dong, bagaimana mau bagi-bagi warisannya."
"Dari garis Yanglik-mu Partono, sama sekali ndak ada masalah. Demikian juga dari semua om dan tantemu. Bahkan adik Sunu pun sudah angkat tangan, ndak mau cawe-cawe."
"Iya, aku sudah dengar kepastian soal itu dari Yanglik Partono dan Mas Pram."
"Kapan kamu ketemu Pram?" Sancoyo menatap Maya.
"Kemarin siang, habis aku pulang dari rumah Yanglik, ketemu pas aku mau sekalian nyekar."
Sancoyo membundarkan bibirnya.
"Berarti secara hukum sudah ditetapkan bahwa rumah ini milik Bapak?" Nika memastikan lagi.
Sancoyo mengangguk.
"Masalahnya," celetuk Maya, "ada yang merasa pembagian warisan dalam garis Trah Karyayuda itu nggak sesuai sama yang dia yakini. Ada gosokan juga dari istri keduanya."
"Tapi cuma dia saja, kan, yang reseh?" Nika mengedikkan bahu. "Ya, sudah, ngapain dipikir?"
"Nggak bisa begitu, Nik," tegur Maya halus. "Ini, kan, belum jelas betul dia maunya seperti apa. Yang aku dengar, katanya dia ingin buat semacam penginapan."
"Dia pikir gampang bikin penginapan?" Nika mencebik. "Yang ada nanti malah bisa berulang nasib kayak rumah-rumah kosnya. Merasa ada duit, gatal ingin berkuasa. Adanya malah gagal, harta melayanglah. Belum lagi barang-barang antik yang ada di sini. Lagipula, Bapak sama Ibu mau disuruh keluar dari sini, begitu? Edan!"
Semua terdiam. Beberapa detik kemudian, Sancoyo menatap kedua putrinya bergantian
"Kelak, kalau Bapak sudah ndak ada, siapa yang akan mengurus rumah ini?" tanyanya, halus.
Maya dan Nika saling menatap. Mereka berdua sudah membicarakan hal itu semalam. Diskusi panjang melalui WA yang akhirnya menemukan kata sepakat. Maya kembali menatap ayahnya.
"Mm ... kalau memang harus aku sebagai urutan kedua setelah sulung yang akan menerima hak waris atas nDalem Karyayudan, ya, aku terima. Tapi ... karena aku tinggal di luar negeri, maka Nika yang akan mengurus dan menjaganya. Nika memang belum bilang apa-apa pada Karel, tapi itu, kan, masih lama. Bisa dibicarakan nanti sambil jalan."
"Berarti, kita sekeluarga sepakat menolak keinginan Sunu?" Sancoyo menegaskan.
Maya dan Nika sama-sama mengangguk.
"Tadi pagi Mas Pram WA aku," sambung Maya. "Dia bilang, kita memang harus duduk satu meja dengan Om Sunu. Tapi, kita nggak sendirian. Nanti kita akan ditemani keluarga besar Yanglik Partono yang bisa hadir di Jogja. Kita juga bisa mengundang Trah Karyayuda lain yang bersedia hadir. Sebaiknya segera tentukan tanggalnya, Pak. Bisa cepat kita bagikan di WAG."
Sancoyo mengangguk.
* * *
"Aku betul-betul minta maaf kepada Mas Sancoyo sekeluarga, atas semua ketidaknyamanan yang sudah Mas Sunu sebabkan," ucap Wicak dengan nada takzim. Penyesalan tergambar nyata di wajahnya.
Menjelang jam makan siang, Nika mengajak ayah-ibu dan kakaknya pergi ke Resto Tengah Sawah yang ia dan Karel miliki. Restoran itu berdiri di tengah salah satu petak sawah berluas empat hektar milik Sancoyo. Awalnya restoran itu kecil saja, karena Nika dan Karel memang merintisnya dengan gabungan tabungan sendiri, pinjaman dari Sancoyo dan Martina, dan pinjaman dari bank. Lama-lama menjadi besar, karena promosi dari mulut ke mulut memang ampuh. Makanan yang terhidang di sana memuaskan selera, dengan bonus suasana yang sungguh menyegarkan mata.
Belum lagi SUV yang dikemudilan Karel meluncur keluar dari halaman nDalem Karyayudan, muncullah Wicak dan istrinya. Nika langsung mengajak keduanya ikut serta. Maka, mobil Wicak pun mengikuti SUV Karel.
"Bukan salahmulah, Cak," Sancoyo menanggapi dengan senyum. "Lagipula kami tahu posisimu ada di mana."
"Pramudya menghubungiku semalam," ujar Wicak. "Dia minta kejelasan soal kemauan Mas Sunu. Seperti yang sudah bergulir, memang begitu maksud Mas Sunu. Ingin mendapat sebagian hak atas nDalem Karyayudan. Bahkan ingin mengelola nDalem Karyayudan supaya bisa menghasilkan."
"Apa masih kurang pendapatan Sunu?" Sancoyo mengerutkan kening. Mengingat bahwa Hida dan Arif, dua anak tertua Sunu dari Santi-istri pertama, yang ia turut biayai sekolahnya, sudah jadi sarjana, bahkan sudah bekerja.
Wicak tertunduk malu. Beberapa detik kemudian ia mengangkat wajahnya.
"Seharusnya tidak," jawabnya, lirih. "Hida dan Arif berdua menanggung renteng pendidikan Rumi. Rumi sekarang tidak lagi jadi tanggungan Mbak Retno." Wicak menyebut nama adik bungsu Sancoyo. "Sedangkan tiga lainnya, saat ini masih jadi tanggunganku."
"Berarti Om Sunu sama sekali tidak menanggung pendidikan anak-anaknya?" Maya menyeplos, setengah terbengong.
"Ndak, May," jawab Wicak, sedikit malu.
Maya berusaha sekuat tenaga untuk menahan embusan napas kerasnya. Bagaimanapun, Wicak tidak pantas sama sekali jadi sasaran rasa jengkel.
"Bahkan, beberapa waktu belakangan ini, Mbak Santi rasan-rasan dengan Tia," sekilas Wicak menatap istrinya. "Mau minta cerai, katanya."
"Hah?!" Sancoyo sekeluarga terlonjak seketika.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar