Kamis, 31 Agustus 2023

[Cerbung] nDalem Karyayudan #4






Sebelumnya


* * *


Dua


Ada pihak yang merasa turut berhak atas nDalem Karyayudan. Itu pangkal masalahnya saat ini. Siapa? Oh, ya, sebenarnya Maya sudah tahu jawabannya.


Maya menatap Yanglik-nya. Laki-laki sepuh itu, Partono, balas menatapnya dengan wajah muram.


"Seandainya yanglik-mu Sudar masih ada," Partono menyebutkan nama abangnya, "Pasti dia sudah marah besar. Bisa-bisa Sunu dikeluarkannya dari daftar ahli waris."


Maya mengembuskan napas panjang. Sunu, atau Om Sunu-demikian Maya memanggilnya, adalah salah satu pamannya, adik sepupu ayahnya. Sunu adalah putra sulung Sudarsono, adik Sadikah sekaligus abang Partono.


"Aku paham dari dulu Sunu memang nyleneh, tapi ndak terpikir akan begini akhirnya," keluh Partono.


"Ya, sudah, Yanglik," ujar Maya dengan suara rendah. "Kalau memang kemauan Om Sunu seperti itu ...." Maya mengangkat bahu.


"Ndak bisa!" Partono mengeraskan suaranya, menggeleng tegas. "Bapakku, mbah buyutmu, menghendaki nDalem Karyayudan harus selalu berada di tangan keturunan sulung. Ndak peduli laki-laki atau perempuan. Ketentuan ndak bisa diubah, May."


"Tapi, kan, Yanglik tahu sendiri bagaimana keadaan keluarga kami," tukas Maya, sangat halus. "Keturunan sulung Bapak tidak bisa diberi kewenangan itu."


Partono menghela napas panjang. "Zaman memang sudah berubah," gumamnya kemudian, setengah patah. "Tapi, kan, masih ada kamu, Ndhuk."


"Saya tinggal di luar negeri, Yanglik."


"Nika?" 


"Nika belum sanggup menerima tanggung jawab atas pengelolaan nDalem Karyayudan."


Celah inilah yang digoyang Sunu. Sesungguhnya, ketika nDalem Karyayudan diwariskan kepada setiap keturunan sulung dalam trah Karyayuda, nilainya saat itu sudah diperhitungkan dalam pembagian warisan secara cermat. Tak ada ketidakadilan.


Sadikah menerima pembagian warisan berupa tanah kebun, tanah pekarangan, dan sawah yang nilainya lebih sedikit daripada Sudarsono dan Partono. Bukan karena ia perempuan, tapi karena ialah ahli waris nDalem Karyayudan. Bila nilai nDalem Karyayudan dimasukkan ke dalam hitungan warisan, maka bagiannya akan setara dengan bagian adik-adiknya. Demikian pula ketika harta yang dimiliki Sadikah dipecah atas nama anak-anaknya. Si sulung Sancoyo menerima paling sedikit, karena ialah ahli waris nDalem Karyayudan selanjutnya.


Maya tahu betul bagaimana keuletan neneknya dan Partono dalam berusaha. Sawah dan kebun yang mereka miliki meluas. Itu karena si tengah Sudarsono kurang pandai dalam mengelola tanah. Setengah warisan berupa sawah dan kebun milik Sudarsono kemudian dibeli Sadikah, setengahnya lagi dibeli Partono. Uang hasil penjualan itu dijadikannya modal berdagang, yang sayangnya malah berakhir kembang kempis.


Namun, Sudarsono masihlah seorang berdarah Karyayuda yang ulet dan pantang menyerah. Ia berhasil bangkit lagi. Beberapa tahun menjelang akhir akhir hayat, ia masih bisa menurunkan cukup warisan kepada kedua anaknya, Sunu dan Wicak. Memang tak sebanyak yang diterima para sepupu mereka dari orang tua masing-masing, tapi lebih dari cukuplah untuk hidup di atas garis layak. Melihat kondisi itu, Sadikah dan Partono yang masih hidup kemudian meminjamkan masing-masing sebidang tanah pekarangan yang mereka miliki kepada Sunu dan Wicak. Di atas tanah pekarangan itulah Sudarsono masih sempat membangun rumah untuk anak-anaknya.


Bila Wicak mewarisi uletnya darah petani dari kakek dan neneknya, tidak demikian Sunu. Wicak adalah seorang petani yang cukup berhasil. Bahkan beberapa sepupu, termasuk Sancoyo, memercayakan lahan mereka untuk digarap Wicak dengan sistem bagi hasil. Hingga detik ini Wicak tak pernah menyeleweng sedikit pun. Rezekinya pun mengalir deras karena keuletan dan kejujuran itu.


Sedangkan Sunu .... Bisa jadi ia mewarisi darah ayahnya yang lebih memilih untuk berusaha di luar dunia pertanian. Sama seperti ayahnya, Sunu melepaskan tanah sawah dan kebunnya untuk dibeli Wicak. Uangnya dipakai untuk modal membangun beberapa rumah kos dan kontrakan di beberapa tempat. Cukup berhasil, hingga ia menjerumuskan diri dalam kancah pemilihan kepala desa. Tiga kali ia mencalonkan diri, tiga kali pula ia gagal. Hartanya tergerus hingga hanya menyisakan dua rumah kos saja. Beberapa rumah kos dan kontrakannya ada yang berpindah ke tangan para sepupunya, ada pula yang ke tangan orang lain.


Belum lagi ia harus menyalakan tungku dapur dua keluarga, karena ia beristri dua. Punya enam orang anak yang harus dicukupi pula kebutuhannya. Sebetulnya, para sepupu juga tidak menutup mata atas kondisi Sunu. Pendidikan anak Sunu ditanggung renteng oleh adik dan para sepupunya. Dua orang sudah jadi sarjana, tiga orang masih duduk di bangku SMP dan SMA, satu lagi masih SD.


Entah dari mana Sunu kemudian berpikir bahwa ia masih belum cukup mulyo. Bahwa ia masih ada hak terhadap nDalem Karyayudan. Sepertinya karena ia merasa bahwa budhe-nya (Sadikah) adalah seorang perempuan, sehingga seharusnya menerima pembagian warisan yang lebih sedikit daripada ayahnya dan Partono (pamannya). nDalem Karyayudan pun seharusnya diserahkan kepada keturunan laki-laki tertua. Seharusnya nDalem Karyayudan jatuh ke tangan ayahnya, sebagai keturunan laki-laki tertua setelah Sadikah, dan kemudian kepadanya. Haknya.


"Adikmu belum sanggup, bukan berarti tidak sanggup," ucap Partono, membuat lamunan Maya seketika terhempas. "Lagipula ayahmu masih hidup, masih segar bugar. Belum waktunya membagi warisan. Aku membagikan warisan yang kupunya kepada anak-anakku, ketika cucu-cucuku sudah besar-besar. Yang jelas, nDalem Karyayudan adalah hak Sancoyo dan keturunannya, bukan yang lain."


Maya menggigit bibir. Ketegasan yanglik-nya memang tak terbantah ... tapi apakah cukup senjata itu untuk menghentikan keinginan Om Sunu?


* * *


Selanjutnya


4 komentar:

  1. Merunut narasi lalu menghasilkan keinginan,agar tangan mencoret2 kertas membentuk silsilah pada kisah ini 😁👍 berasa sebuah kisah nyata🤩Suwun mbak Lies...next🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku aja bolak-balik buka draft episode sebelumnya biar nggak salah silsilah, Mak. 🤭🤭🤭

      Hapus
  2. Di sini ada yanglik.... aq dipanggil yangte sama anak2 dr keponakanku.😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku maunya dipanggil budhe, Mbak. 😆
      Masih kinyis-kinyis gini mosok dipanggil mbah/eyang? 🤪

      Hapus