Senin, 28 Agustus 2023

[Cerbung] nDalem Karyayudan #3





Sebelumnya


* * *


Begitu masuk ke mobil Nika, Maya langsung mencocokkan arloji di pergelangan tangan kirinya dengan jam digital di dasbor. Masih pukul 16.32. Tadi saat menunggu kopernya keluar, Maya sempat mengirim pesan kepada Gianluca, memanfaatkan wifi bandara. 'Caro (sayang [maskulin]), aku sudah sampai Jogja. Nanti sampai di rumah, aku v-call, ya.'


Nika mulai melajukan mobilnya keluar dari area parkir bandara. Maya senang sekali ketika tahu bahwa adiknya itulah yang datang menjemput. Mereka memang sangat dekat. Terpaut usia hanya 16 bulan saja. 


"Makin santer saja isunya, ya?" tanya Maya tiba-tiba.


"Yup!" Nika mengangguk. 


Maya menghela napas panjang dan mengembuskannya keras-keras.


Ada yang menginginkan nDalem Karyayudan dialihkan fungsinya jadi penginapan. Isu itu sudah sampai ke telinga Maya. Bukan Nika yang mengabari, tapi salah seorang sepupu terdekat.


Soal goyang menggoyang posisi nDalem Karyayudan dalam trah Karyayuda, bibitnya memang sudah ada beberapa waktu belakangan ini. Sempat digulirkan pada pertemuan terakhir mereka dua tahun yang lalu (yang sayangnya, Maya saat itu tidak dapat hadir), tapi tidak dinaikkan ke dalam isu terkini oleh para sepuh. Karena memang sebenarnya tidak perlu. Entah kenapa saat ini isu itu mengemuka lagi.


Saat ini mungkin masih aman, karena Yanglik (Eyang Cilik) Partono, adik  bungsu Yangti (Eyang Putri) Sadikah, masih hidup. Tapi nanti? Maya mengerjapkan mata.


Seberapa tingginya nilai nDalem Karyayudan di pasar properti, Maya sudah tahu. Belum lagi isinya yang kebanyakan berupa benda antik dan perabot yang terbuat dari kayu jati pilihan. Namun, nilai historis nDalem Karyayudan bagi trah Karyayuda jauh di atas itu. Bahkan boleh jadi tak terjangkau saking tingginya. Seorang trah Karyayuda sejati pasti paham hal itu. 


Hanya saja .... Maya menggigit bibir.


Tidak ada hitam di atas putih yang membuktikan secara hukum harus siapa pengelola secara resmi nDalem Karyayudan. Hanya ketentuan tak tertulis saja yang digariskan oleh Mbah Buyut Marsalam Karyayuda. Ketentuan yang dengan mudah bisa diangkat jadi isu panas oleh keturunannya.


Walaupun bukan keturunan asli berdarah Karyayuda. Maya mencebikkan bibir sekilas. Masuk trah hanya karena perkawinan. Maya kembali mencebikkan bibir.


Sejujurnya, jauh di lubuk hati terdalam, Maya menerima tanpa syarat kehadiran orang-orang 'luar' yang masuk ke dalam trah Karyayuda karena perkawinan. Mereka sudah jadi bagian dari keluarga besar. Namun ... yang kemudian ngelunjak? Untuk kesekian kalinya Maya mencebikkan bibir.


Posisi keluarga Sancoyo sendiri sebenarnya cukup terjepit. Atan, putra sulungnya, memilih untuk melepaskan hak atas nDalem Karyayudan begitu mengucapkan kaul pertamanya sebagai seorang bruder (biarawan) beberapa tahun lalu. Makin jauh tak terjangkau saat kaul kekalnya kemudian terucap. Maya, putri keduanya, memilih untuk menikah dengan bule dan tinggal di luar negeri. Hanya tertinggal si bungsu Nika, yang entah kuat atau tidak nanti kedudukannya dalam pengelolaan nDalem Karyayudan.


"Sudah sampai, Mbak."


Suara halus Nika menyentakkan kesadaran Maya. Langit di luar jendela mobil sudah menggelap entah sejak kapan. Rupanya Nika sengaja membiarkan Maya terjebak dalam lamunan dan pikirannya sendiri selama beberapa puluh menit sejak keluar dari area parkir Bandara YIA hingga sampai ke nDalem Karyayudan di Kebondalem.


Maya menatap bangunan megah itu dengan mata mengaca. Sejak Nika tak lagi tinggal di nDalem Karyayudan setelah menikah dengan Karel, pintu tengah sengaja hanya dibuka saat menerima banyak tamu. Selebihnya hanya ada sebuah kursi panjang diletakkan melintang di depan pintu besar itu, seolah menunggu penghuninya pulang.


Saat itu Sancoyo dan Martina keluar dari pintu kiri. Langsung melangkah cepat menyambut Maya, memeluknya erat-erat, dan menghujaninya dengan ciuman. Di tengah penyambutan itu, ada suara-suara yang menyeruak meriah dari kejauhan, "Budheee!" (kakak dari ayah atau ibu)


Maya dengan gerakan halus membebaskan diri dari pelukan ayah-ibunya, kemudian mengalihkan perhatian pada pemilik suara itu. Abang-adik Ansel dan Adel berlari dengan wajah bercahaya ke arahnya. Maya berlutut dan mengembangkan kedua lengannya lebar-lebar. Ansel dan Adel pun segera tenggelam dalam pelukan dan ciuman Maya.


"Zio (paman) Gian enggak ikut, Budhe?" tanya Ansel, si pemuda kecil berusia sepuluh tahun.


"Enggak," geleng Maya. "Zio Gian harus jaga restoran."


"Biar nggak kemalingan, ya?" Ansel tersenyum polos.


Maya tergelak sambil mengangguk. Ia kemudian berdiri dan menggendong Adel yang masih berusia empat tahun. Karel menyalaminya kemudian, sambil tersenyum lebar. Martina kemudian menggiring mereka semua masuk.


Lalu, nDalem Karyayudan seolah menyambut Maya dengan segala keagungannya. Sejenak langkah Maya terhenti di depan pintu.


Ia tak cuma satu atau dua kali saja pulang ke nDalem Karyayudan. Bahkan seluruh hidupnya sebelum menjemput impian di Paris pun ia lalui seutuhnya di sini. Namun, entah kenapa kali ini atmosfernya terasa lain.


"Ayo, kita langsung makan saja."


Suara Martina menyentakkan kesadaran Maya.


"Biar tas dan kopermu diurusi Sriyah," lanjut Martina.


Maya pun mengangguk. Sambil melangkah ke arah ruang makan di bagian tengah nDalem Karyayudan, sekilas ia mengamati seisi nDalem Karyayudan yang bisa tertangkap matanya.


Di balik pintu tengah nDalem Karyayudan, ada ruang tamu berisi seperangkat meja kursi kayu antik penuh ukiran yang memang dipertahankan keberadaannya oleh keluarga mereka. Lalu, di balik pintu lebih kecil di sayap kiri dan kanan, ada masing-masing seperangkat meja dan sofa dari era lebih terkini. Biasanya Sancoyo dan Martina lebih memilih untuk menerima tamu atau mahasiswa mereka di sana.


Kemudian ada gebyok kayu besar yang membatasi ruang depan dengan ruang tengah. Seutuhnya berbahan kayu jati berukir halus dengan sepasang daun pintu yang membuka ke arah dalam. Di sebelah kanan dan kiri gebyok itu,  menutupi seutuhnya panjang tembok yang memisahkan sayap dengan kamar tidur, ada dua buah rak hias tinggi yang berisi koleksi aneka keramik dan hiasan kristal warisan dari masa ke masa. Kedua rak itu juga berukir halus dan terbuat dari kayu jati.


Melewati ambang pintu gebyok, sampailah mereka ke ruang makan yang luas. Ada dua perangkat meja-kursi makan di dalam ruangan itu. Satu perangkat meja berbentuk persegi panjang besar dengan 14 kursi mengelilinginya. Semuanya tampak megah berukir indah, terbuat dari kayu jati, dan umurnya kira-kira sama dengan nDalem Karyayudan. Peliturnya terlihat masih sangat mengilap. Satunya lagi adalah meja bundar dikelilingi 8 kursi yang lebih sederhana bentuknya. Juga terbuat dari kayu jati, tapi minimalis, tanpa ukiran. Di atas meja bundar itulah makan malam mereka tertata dialasi taplak batik dan plastik mika bening.


Menu mereka sederhana saja. Nasi putih hangat, sayur lodeh, ikan asin layur goreng, tahu-tempe ungkep yang juga digoreng, paha ayam dibalut tepung renyah kesukaan anak-anak, sambal terasi, dan tak lupa satu stoples besar kerupuk karak.


Suasana di sekeliling mereka itu sedemikian hangatnya. Banyak cerita menarik yang mereka bagikan bergantian. Banyak kerinduan yang terungkapkan. Banyak celoteh Ansel dan Adel yang mereka sambut dengan riang.


Pada satu titik, Maya tercenung. Apa yang akan terjadi pada nDalem Karyayudan setelah masa ini berlalu?


* * *


Selanjutnya

10 komentar:

  1. Intip² status WA kaet mangisuk. Langsung budal kemping gek kene aq.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahik ahiiik .... Suwun yo, Nit. πŸ˜˜πŸ’•

      Hapus
  2. Bu liz luar biasa. Semangat ngeh bu,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur nuwun, Bu Bagyo. πŸ™πŸΌπŸ’•

      Hapus
  3. Yeay sekarang Senin-Kamis bisa sarapan cerbung lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamu gimana kabarnya, Nis? Sekarang kuliah di mana?

      Hapus
    2. Alhamdulillah baik. Bagaimana dengan kabar Bu Lis? Sekarang saya kuliah di UNJ

      Hapus
    3. πŸ‘πŸΌπŸ‘πŸΌπŸ‘πŸΌ

      Hapus
  4. Next...aku lungguh paling ngarepπŸ˜‚πŸ‘

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siyap, Mbak'eee. πŸ™πŸΌπŸ˜˜πŸ’•

      Hapus