Selasa, 10 Maret 2020

[Cerbung] Let Me Love You This Way* #1-2











* * *

Hampir pukul dua siang, tugas Rika pun selesai. Paul sudah dipastikannya aman dan nyaman di bawah pengawasan Luf, salah seorang perawat pribadi. Laki-laki sepuh itu sudah makan, dan sekarang sedang beristirahat. Sempat memeluk Rika sejenak saat gadis itu berpamitan.

Di bawah siraman hujan gerimis, Rika melajukan mobil mungilnya meninggalkan kediaman Paul. Baru sekitar 30 meter meluncur, ponselnya berbunyi. Sekilas ia melirik benda yang tergeletak di konsol tengah itu. Nama ‘Mia’ berkedip di sana. Seketika ia menepikan mobil. Setelah menarik tuas rem tangan, ia pun meraih ponselnya.

“Ya, Mi?” sahutnya langsung.

“Kak, masih di rumah Opa Paul-kah?”

Rika tersenyum mendengar suara cempreng adiknya.

“Baruuu juga keluar. Kenapa? Mau dijemput?” tembak Rika, langsung. Senyumnya melebar mendengar kekehan Mia dari seberang sana. Ia tahu apa yang ada di kepala Mia. Hujan-hujan begini....

“Please....”

“Oke, oke. Kamu tunggu sebentar, ya.”

Pembicaraan diakhiri, dan Rika pun terpaksa memutar balik. Sekolah Mia tidak jauh dari lokasinya saat ini. Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit, ia pun sampai di tujuan. Masih ada antrean beberapa mobil penjemput. Tapi dari kejauhan, ia bisa melihat adiknya sedang menunggu di halte dekat gerbang sekolah.

Begitu menyelinap masuk ke dalam mobil, Mia menyodorkan sebuah kotak mika bening. Rika tertawa melihat isi kotak itu.

“Nih, Kak, kubelikan cilok,” ujar Mia.

“Hehehe... Makasiiih... Eh, kok, cuma sekotak?” Rika mengerutkan kening sambil meluncurkan kembali mobilnya.

“Jatahku sudah habis sambil nungguin Kakak tadi.” Mia menyambung ucapannya dengan tawa renyah.

Rika kembali tertawa.

“Kak, tadi mampir ke rumah Eyang, nggak?” Mia kembali buka suara ketika mereka terhadang lampu merah di pertigaan terdekat.

“Tadinya, sih, mau mampir,” jawab Rika. “Tapi keburu kamu telepon. Kenapa? Mau ke sana sekarang?”

“Nggak apa-apa?” Mia memastikan.

“Ya, nggak apa-apalah.... Dekat ini.”

Sampai di perempatan berikutnya, Rika pun membelokkan mobil ke kiri.

“Opa Paul gimana kondisinya?”

“Lumayan sehat, kok. Cuma memang pikunnya dah lumayan parah. Dari tadi ketemu juga aku dipanggil ‘Ican-Ican’ melulu.” Rika menyebutkan nama panggilan akrab ibu mereka.

Mia terkekeh. “Jangankan Kakak, aku aja dipanggil Ican kalau ketemu Opa.”

Rika ikut terkekeh mendengarnya.

Tak butuh waktu lama hingga mereka sampai di tujuan. Rumah ‘Eyang’, yang letaknya hanya bertetangga sekian jalan dari rumah Paul. Dengan cepat Mia mengambil payung yang ada di belakang jok Rika. Ia kemudian keluar dari mobil dan membuka pintu pagar di bawah siraman hujan gerimis yang pelan-pelan menderas. Begitu Rika mematikan mesin mobil, pintu depan rumah bercat putih tulang itu terbuka.

Dua orang sosok sepuh yang terlihat masih sangat bugar segera menyambut mereka dengan pelukan dan ciuman hangat di kening. Kemudian, Rika dan Mia pun digiring masuk.

Mereka segera riuh bertukar kabar. Ketika Mia sedang asyik mengobrol dengan eyang kakungnya, sang eyang putri berucap lirih sambil menatap Rika dengan sorot mata prihatin, “Kamu kurusan, Nduk.

Sejenak Rika tertegun sebelum memaksa bibirnya mengulas senyum. Ndari mengelus kepala salah satu cucunya itu dengan penuh kasih sayang.

“Sedang berusaha untuk memulihkan diri, Eyang,” jawabnya halus.

Dan, Ndari paham seutuhnya. Anak gadisnya dulu, Kencana, juga butuh waktu lama untuk memulihkan diri dari dua kehilangan yang pernah dialaminya. Bahwa kini cucunya pun ternyata memiliki nasib yang nyaris serupa, hal itu membuat dada Ndari terasa sakit.

Tapi, gadis muda yang kini duduk di sebelahnya ini agaknya adalah seorang gadis yang cukup kuat. Dari kedalaman mata Rika, ia bisa menangkap keikhlasan atas berpulangnya Andries.

“Aku nggak mau memberati langkah Andries, Eyang,” gumam Rika. “Siapa tahu saat ini dia sedang mengobrol dengan Papa di Surga.”

Ada segaris tipis nada canda dalam suara Rika. Tak pelak, nada itu menghadirkan rasa haru dalam hati Ndari. Direngkuhnya bahu cucunya itu.

“Kamu kuat,” gumamnya. “Pasti kuat. Eyang yakin itu.”

Rika pun kembali mengulas senyum.

Beberapa saat kemudian, ia melarutkan diri dalam percakapan hangat dengan adik dan kedua eyangnya. Ia sudah mulai bisa membalas canda. Sudah mulai bisa tertawa lepas.

Pada satu detik ia pun tahu. Ia akan baik-baik saja walaupun Andries sudah tidak ada lagi di dunia ini.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar