Kamis, 26 Maret 2020

[Cerbung] Let Me Love You This Way* #5-1











* * *


Lima


‘Nggak perlu’ adalah jawaban tegas Ernest ketika Bismaka menanyakan soal perubahan nama usaha yang pernah mereka bentuk bersama, Erbim Jaya. Kepanjangan dari Ernest dan Bimbim, nama panggilan Bismaka. Siapa tahu Ernest keberatan namanya masih disematkan pada usaha itu. Yang penting adalah saham Ernest kini dimiliki oleh Pringgo Ernawan, ayah Bismaka. Sudah sah, ada bukti hitam di atas putih.


Bismaka menghela napas lega ketika ayahnya benar-benar jadi pembelajar yang baik. Dengan cepat sang ayah menguasai seluk-beluk usaha mereka, dan melakukan tugasnya dengan sempurna. Barangkali masih ada kemiripan antara bankir dengan pelaku dunia usaha kuliner.

Sore itu, sepulang kerja, Bismaka memutuskan untuk tidak langsung pulang ke apartemen. Ia meluncur ke salah satu tempat food truck-nya ngetem. Beberapa ratus meter dari kantornya. Sepertinya enak sekali makan cwimie ‘tumpeh-tumpeh’ sore-sore begini.

Area pusat jajan itu masih belum terlalu ramai ketika Bismaka memarkir mobilnya. Langit masih terang. Masih belum genap pukul lima sore. Ia tersenyum ketika melihat mobil ayahnya parkir di ujung sana. Dan, laki-laki yang masih gagah itu menyambut kehadiran putranya dengan wajah cerah.

“Tuh, ditanyain anak-anak. ‘Mas Bimbim dah berapa minggu nggak mampir, ke mana saja?’,” ujar Pringgo.

Bismaka tertawa. Ia memang sudah satu setengah bulan sama sekali tidak mengontrol armada food truck-nya. Semua urusan ia serahkan pada sang ayah. Membuatnya bisa lebih berkonsentrasi menyelesaikan semua pekerjaan kantorannya.

Tawanya melebar ketika ibunya muncul pula dari dalam food truck. Sejak ada sang suami masuk ke Erbim Jaya, Tetty tak sungkan lagi untuk ikut mengontrol menu di food truck. Sudah banyak orang yang mengurusi usaha katering dan wedding organizer-nya. Saatnya menemani sang suami menekuni usaha baru.

“Ada Papa, Bimbim jadi keenakan lepas tanggung jawab,” cibir Tetty.

“Kan, biar Papa latihan, Ma,” kilahnya. “Eh, aku mau pesan cwimie di belakang situ. Mama sama Papa mau?”

“Lha, tadi siang sudah,” jawab Tetty.

“Tiap ikut ke food truck yang ada truk cwimienya, mamamu selalu minta dibelikan,” timpal Pringgo, tertawa lepas. “Enak banget, katanya.”

Bismaka tersenyum. Ketika melangkah ke truk cwimie, sekilas ia melihat bayangan Rika masuk ke truk. Ia pun mempercepat langkahnya.

“Hai!” sapanya ketika sampai di jendela pemesan, dengan Rika ada di sana.

“Hai juga!” senyum Rika merekah.

Sudah nggak semendung tempo hari, batin Bismaka.

Food truck-mu ganti pengelola?” tanya Rika sambil meraih catatan.

“Enggak.” Bismaka menggeleng. Tapi menyadari kesalahannya sejenak kemudian. “Eh, maksudku, aku ganti rekanan.”

“Oh.... Eh, mau pesen apa, nih?” senyum Rika kembali tersungging.

Tumpeh-tumpeh, sama pangsit goreng satu porsi.”

“Saus pangsitnya?”

“Asem manis aja.”

“Mau dianter ke meja berapa?”

“Di situ saja.” Bismaka menunjuk meja yang terdekat dengan truk Rika. “Jadi berapa?”

“Gratis,” jawab Rika sambil menyetempelkan tulisan ‘LUNAS’ pada nota.

“Lho! Nggak bisa gitu, dong!” tukas Bismaka.

“Bisa, dong....,” jawab Rika dengan nada jenaka. “Servis buat pelanggan yang lama banget nggak muncul-muncul.”

Seketika Bismaka tergelak. Disimpannya kembali dompet ke saku belakang celananya sembari mengucapkan terima kasih.

“Aku temani, mau?” tanya Rika, sebelum Bismaka berbalik.

“Boleeeh...,” jawab Bismaka dengan nada riang. “Dengan senang hati.”

Keduanya kemudian duduk berhadapan sambil menunggu pesanan Bismaka selesai diracik. Sinar matahari sore yang hangat menyinari wajah mereka dari sela-sela dedaunan.

“Itu beneran food truc­k-mu ganti rekanan? Kamu masih ada saham?” tanya Rika, terlihat sedikit penasaran.

“Iya.” Bismaka mengangguk. “Rekanku jual jatah kepemilikannya ke papaku. Kebetulan papaku memang ingin pensiun dini. Daripada jatuh ke orang lain yang belum tentu cocok sama aku, akhirnya ditebuslah sama papaku. Makanya, kan, sekarang jadi papaku yang sering nongol di sini. Mamaku ikut-ikutan.” Bismaka terkekeh di ujung penjelasannya.

“Eh, mamamu baik banget!” ujar Rika dengan mata berbinar. “Menjelang sore tadi, begitu aku datang, aku pesan makanan, nggak boleh bayar.”

“Oh... jadinya aku nggak boleh bayar gara-gara itu?” Bismaka nyengir.

Rika tergelak. Tak mau menjawab. Tepat saat itu, pesanan Bismaka datang. Keduanya tetap mengobrol sambil Bismaka menikmati makanannya. Pada satu detik, Rika sempat tercenung. Bismaka menangkap gelagat itu.

“Kenapa, Rik?” tanyanya, halus.

“Aku sebetulnya nggak tahu tujuan hidupku apa,” gumam Rika. “Dari awal aku sudah diplot untuk pegang perusahaan warisan Opa, dan usaha ini, warisan Papa. Aku lebih senang di sini, sebetulnya. Di tiap food truck. Bertemu dengan banyak orang. Melihat berbagai karakter.”

“Opamu masih aktif di perusahaannya?” Bismaka menatap Rika.

Rika menggeleng. “Sejak aku kecil, sudah dipegang almarhum Papa. Ketika Papa meninggal, Mama ambil alih pengelolaannya secara penuh, menunggu aku dewasa.”

“Sebentar....” Bismaka mengerutkan kening. “Bukannya papamu masih ada? Yang sering ke sini itu?”

Rika menggeleng. “Panjang ceritanya, Bim.” Ia mencoba untuk tersenyum.

“Kalau kamu mau cerita, aku mau banget, kok, dengerinnya.”

Seketika, Rika ternganga. Ia seolah dilanda deja vu.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar