Jumat, 27 Maret 2020

[Cerbung] Let Me Love You This Way* #5-2











* * *


Bismaka menyesap secangkir besar cokelat hangatnya sambil duduk bersandar di sofa two seaters pendek yang ada di teras belakang rumah orang tuanya. Meluruskan tungkainya dengan sikap santai. Menatap kilauan tetes air hujan yang memantulkan cahaya lampu taman. Di akhir senja tadi, seusai mampir di salah satu food truck­-nya, ia memutuskan untuk tidak pulang ke apartemen. Besok hari Sabtu. Ia tak perlu berangkat ke kantor.

“Aku sebetulnya nggak tahu tujuan hidupku apa....”

Mendadak, suara lirih Rika terngiang di telinganya. Seutuhnya ia bisa menangkap ada beban yang sarat tersirat dalam mata bening Rika. Mata bening yang masih menyimpan kabut. Seutuhnya pula ia memahami seperti apa rasanya menjadi seorang Rika.

Mereka menghabiskan sore tadi dengan mengobrol panjang lebar tentang kehidupan mereka. Berbagi kisah, berbagi pikiran. Dari obrolan itu ia tahu bahwa Rika memang satu-satunya ahli waris tunggal dari keluarga pihak ayah kandungnya. Gadis itu memang punya saudara. Dua orang malahan. Yang satu adalah saudara kembarnya, Neri, laki-laki. Seorang lagi adalah adiknya, Mia, perempuan. Neri memang belum melepaskan diri dari hak waris. Tapi setelah memilih masuk ke seminari untuk menjalani pendidikan sebagai seorang calon pastor, apa lagi yang bisa diharapkan? Sedangkan Mia, sejak awal ibunya sudah menekankan bahwa Mia sama sekali tidak berhak atas warisan itu, karena bukanlah saudara sedarah Rika dari sisi mana pun.

“Aku, sih, sebetulnya nggak keberatan berbagi dengan Mia,” ujar Rika tadi. “Cuma, Mama ngotot banget bahwa Mia nggak berhak. Iya, sih, aku tahu betul maksud Mama. Jaga amanah dari keluarga almarhum Papa. Padahal setelah apa yang Mama dan Papa lakukan padaku dan Neri setelah almarhum papaku nggak ada, itu sama sekali nggak ternilai.”

Mata Bismaka mengerjap ketika angin dingin berembus, membawa tempian gerimis menyapa wajahnya sekilas. Dihelanya napas panjang.

“Kamu ini, malam-malam masih di luar, dingin-dingin begini, melamun lagi, kalau kesambet gimana?”

Bismaka menoleh mendengar kalimat panjang itu. Ia hanya bisa nyengir ketika mendapati ibunya sudah berdiri di ambang pintu ruang tengah.

“Kamu tadi ngobrol lama banget sama yang punya truk cwimie,” ujar Tetty sambil melangkah menghampiri, kemudian duduk di sebelah kanan Bismaka. “Ngobrolin apa memangnya?”

Bismaka tersenyum lebar ketika telinganya secara utuh menangkap nada kepo dalam suara ibunya. Tapi dijawabnya juga pertanyaan itu. Tak seluruhnya, hanya garis besarnya saja.

“Kayaknya cocok sama kamu, Bim,” celetuk Tetty begitu Bismaka mengakhiri kisahnya.

Seketika Bismaka menepuk keningnya. Setengah jengkel, setengah geli. Ibunya hampir selalu kepo soal cewek yang dekat dengan dirinya. Tak selalu ibunya berpendapat soal kecocokan itu. Tapi setidaknya sudah dua kali sebelum ini. Dan, hasilnya? Dua kali keinginan hatinya itu sama-sama kandas di tengah jalan. Padahal ia sama sekali bukan tipe pemuda yang tidak serius menjalin hubungan cinta dengan kekasih.

“Mama ini, ah!” elak Bismaka. “Dia aja baru beberapa minggu ini kehilangan cowoknya. Masih berkabung.”

“Bubaran?” alis mata Tetty terangkat tinggi.

“Meninggal, Ma. Sakit.”

“Ah, kasihan...,” desah Tetty.

“Makanya jadi curhat pas tadi ketemu. Aku tahu kisah cowoknya, dia juga tahu Lusi.”

“Oh....” Tetty manggut-manggut. “Ya, setidaknya, kalau kamu nggak bisa kasih solusi, bantu dia dengan mendengarkan curhatnya. Buat cewek, kadang-kadang curhat itu cukup hanya dengan didengarkan saja. Sekadar melegakan hati.”

Bismaka mengangguk.

* * *

Sambil berbaring dan menatap langit-langit kamar, Rika memutar ingatannya akan obrolannya dengan Bismaka sepanjang sore tadi. Ia sangat terkesan dengan kisah Bismaka saat berani mengutarakan keinginannya kepada kedua orang tuanya. Pada akhirnya memang Bismaka memilih untuk menambah pengalaman dengan menjadi orang kantoran. Sempat kewalahan ketika harus memadukan alokasi waktu untuk usaha mandiri dan pekerjaan kantorannya.



“Kalau kamu belum yakin dengan apa sebenarnya tujuan hidupmu, aku juga nggak yakin apa sebenarnya mimpiku.”

Begitu ucapan Bismaka tadi, disertai derai tawanya yang begitu mewarnai udara senja. Kemudian pemuda itu berkisah tentang keinginannya yang lain, yang baru muncul belakangan ini. Melanjutkan pendidikannya ke jenjang magister.

“Menurutmu, penting nggak, aku lanjut ke S-2?” Pada satu detik, Bismaka berubah menjadi sangat serius.

“Pentinglah....” Begitu jawabnya. “Tapi juga harus dilihat dulu tujuanmu apa. Buat menambah ilmu, atau cuma sekadar menambah gelar supaya bisa naik gaji.”

“Aku bahkan nggak kepikiran alasan yang kedua itu,” sergah Bismaka. Lalu keduanya tergelak bersama.



Rika menghela napas panjang. Ia bukanlah seorang yang terlalu terbuka mengungkapkan kegundahan hati, sebenarnya. Bahkan ada banyak hal yang belum pernah ia ungkapkan kepada keluarganya, apalagi Andries. Sejak awal, melihat betapa Andries berjuang mempertahankan kondisi tubuhnya agar tetap stabil, ia sudah memutuskan untuk mengisi kehidupan Andries hanya dengan hal-hal yang menggembirakan saja. Itu pun ditebusnya dengan menghadap ibunya pada suatu ketika, di awal ia memutuskan untuk menyediakan diri menjadi kekasih Andries.




“Ma, boleh aku minta waktu untuk sementara non-aktif dari beberapa urusan pekerjaan?”
                                                       
Kencana menatapnya. Lama.

“Pacarku sakit, Ma,” ucapnya kemudian, dengan mata mengaca. “Mungkin waktunya juga nggak lama. Aku cuma... ingin lebih banyak... menemaninya.”

“Apakah kamu memang harus menyakiti dirimu sendiri seperti itu?” tanya Kencana kemudian, dengan suara sangat lembut.

“Mungkin aku nanti sakit sejenak kalau dia benar-benar pergi. Tapi setidaknya, aku sudah berandil memberinya sedikit kebahagiaan. Dan, itu membahagiakan aku juga, Ma.”

Rika tahu Kencana pasti paham. Bukankah ibunya itu pernah berada pada posisi yang sama? Bahkan kemudian menanggung konsekuensi yang jauh lebih besar dan berat.

Dan, ia menghela napas lega ketika ibunya mengangguk. Ia segera memeluk Kencana dengan penuh rasa terima kasih.

“Kalau kamu butuh bahu untuk bersandar dan menangis, selalu ada Papa dan Mama, Nak.” Begitu bisik Kencana ketika membalas pelukannya.



Diam-diam, Rika mengusap butiran air mata yang mendadak saja menggulir ke pelipisnya. Ia selalu tahu kedua orang tua sambungnya adalah orang-orang baik. Begitu baiknya sehingga terkadang membuatnya segan untuk mengutarakan keinginan yang sebenarnya. Pada Neri sekali pun. Ia takut membuat mereka kecewa. Dan, ia dibesarkan bukan untuk tidak tahu terima kasih. Kebaikan yang membuatnya betul-betul terjepit di tengah.



“Kapan pun kamu merasa bebanmu sudah mulai terasa berat lagi,” ucap Bismaka halus, “curhatlah sama aku. Kapan pun kamu butuh. Di luar jam kerja, tentu saja.”

Dibalasnya senyum Bismaka.

“Mungkin ada yang bisa aku bantu,” lanjut Bismaka. “Seandainya aku belum bisa bantu, setidaknya kamu tahu, kamu punya teman dengan telinga selebar telinga gajah di sini.”

Ia pun tergelak.



Rika tersenyum mengingat itu. Sejauh ini, ia selalu merasa nyaman berada di dekat Bismaka. Mengobrol dengan Bismaka selalu membawanya pada suasana yang lebih ceria. Awan kelabu seolah tersingkap sedikit dari kehidupannya. Begitu pula beban hati yang terasa mengimpit.

Tapi.... Ya Tuhan.... Bahkan Andries belum seratus hari pergi!

Rika menggigit bibir. Rasanya belum pantas ia ‘mendekat’ pada sosok pemuda lain. Tapi di sisi lain, ia ingat betul apa pesan Andries.

“Suatu saat, kalau memang aku harus benar-benar meninggalkanmu, aku ingin kamu nggak menutup diri, Ka. Kehidupanmu masih panjang. Pasti kamu nanti juga akan bertemu orang lain, yang bisa jadi adalah belahan jiwa sejatimu.”

Rika menggigit bibir. Air matanya bergulir lagi.

Jadi, aku harus gimana, Dries?

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar