* * *
Setelah puas berkeliling melihat seisi komplek rumah bandar untuk lansia dengan segala fasilitasnya, Arinka kemudian membawa Dika ke kantor penanggung jawab. Selalu ada yang piket di dalam kantor, sesuai dengan aturan yang ditetapkan Arinka selaku pengembang kompleks itu. Apalagi mereka berhubungan dengan para lansia, yang cukup rawan kondisi darurat.
Ada ruang terbuka yang cukup nyaman di bagian belakang kantor. Menghadap ke sebuah taman yang tidak terlalu luas, tapi tertata dengan apik. Ada air terjun mini yang menambah indah dan kesan sejuk tempat itu. Dengan santai, Arinka dan Dika duduk di sofa.
“Kalau boleh tahu, kenapa nggak pakai lagi arsitek yang merancang rumah bandar ini?” Dika iseng bertanya sambil membuka tutup botol teh berperisa markisa.
“Oh...,” tangan Arinka dengan cekatan membuka sekaleng kecil keripik kentang. “Ya, harus diakui rancangannya bagus. Sesuai dengan konsep yang kukehendaki. Tapi molornyaaa... Aku nggak tahan,” Arinka menggelengkan kepala.
Dika manggut-manggut.
Yup, aku tahu kamu sangat profesional. Cantik, cerdas, profesional, teman bicara yang menyenangkan. So, what else?
“Oh, ya, kemarin aku sudah lihat foto-foto lokasinya. Sepertinya ada variasi kontur tanah, ya?”
“Iya,” angguk Arinka, menyodorkan kaleng keripik kentang yang sedari tadi dipegangnya. “Kayaknya perlu lihat lokasi secara langsung.”
“Yup!” senyum Dika. “Sepertinya Senin atau Selasa besok aku bisa ajak Mega untuk lihat lokasinya. Bagaimana?”
“Senin aku ada meeting,” gumam Arinka, terlihat berpikir-pikir. “Selasa bisa, tapi agak siang. Setelah jam sepuluhan. Kalau Rabu, kapan saja waktunya aku bisa.”
“Senin aku ada meeting,” gumam Arinka, terlihat berpikir-pikir. “Selasa bisa, tapi agak siang. Setelah jam sepuluhan. Kalau Rabu, kapan saja waktunya aku bisa.”
“Coba nanti aku bilang Mega dulu, ya? Besok Senin aku hubungi.”
Arinka mengangguk dengan wajah antusias. Yang mampu menggelitik hati Dika, hingga menimbulkan getar lembut seperti kepak sayap kupu-kupu.
* * *
Leander menyetir mobilnya dalam hening.
Baru saja Letta dengan terbata-bata mengungkapkan bahwa ia sudah menceritakan pada Handoyo tentang Kara. Sebatas yang ia tahu. Sebuah perasaan tak nyaman tiba-tiba saja menyelinap masuk ke dalam hati Leander. Yang membuat laki-laki itu tak bisa mencari kata-kata yang tepat untuk menanggapinya.
Sepeninggal kedua cucunya, Handoyo kembali menatap Letta. Wajahnya tampak ragu-ragu sejenak, sebelum memutuskan untuk membuka pembicaraan.
“Saya ndak tahu bagaimana mekanismenya, tapi rasanya ada sesuatu yang membuat perasaan saya lain kalau melihat Bu Letta. Bukan hanya saya, yangtinya anak-anak pun punya perasaan yang sama,” ujar Handoyo dengan suara lirih.
“Semacam... terhubung, begitu?” Letta mengerjapkan mata.
“Ya!” Handoyo mengangguk cepat. “Ya, seperti itu.”
“Hm... Ya, saya merasakan itu juga. Dan... perasaan itu makin kuat setelah saya tahu tentang Kara, putri bungsu Bapak dan Ibu.”
Wajah Handoyo berubah jadi murung. Membuat Letta seketika merasa bersalah karena sudah lancang menyebut nama sensitif itu.
“Maafkan saya, Pak,” ucapnya dengan nada menyesal.
“Oh, ndak apa-apa,” Handoyo menggeleng sambil tersenyum.
“Pak...,” tatapan Letta terlihat gelisah. “Saya tak tahu harus mulai dari mana, tapi...,” Letta menggigit bibir bawahnya.
“Ya?” sorot mata Handoyo terlihat begitu teduh. “Ibu bisa bercerita apa pun pada saya,”
Letta menghela napas panjang sebelum kembali berucap. “Sebetulnya saya tak mau masuk terlalu dalam di kehidupan keluarga Bapak. Tapi... Ada satu nama Kara yang saya tahu. Hanya saja... Saya tidak mengenalnya. Karena...,” tatapan Letta jatuh ke bawah. Kemudian berbisik, “... dia sudah... tidak ada.”
Handoyo tak bisa menyembunyikan keterkejutan dalam matanya. “Maksudnya?”
Seutuhnya Letta menangkap getar dalam suara Handoyo. Kembali rasa bersalah itu menyelimutinya.
“Maafkan saya, Pak,” ucapnya dengan mata mengaca. “Saya tidak bermaksud menggugurkan harapan Bapak sekeluarga. Lagipula... Belum tentu juga itu Kara yang Bapak maksud. Saya hendak mencari informasi tentang itu, tapi... Mas Leander mengingatkan saya, bahwa kemungkinan saya sudah ikut campur terlalu banyak. Saya harus bagaimana?”
Handoyo mengerjapkan matanya beberapa kali. Mencoba mengatur napasnya tanpa kentara. Agar ketenangannya bisa kembali. Bagaimanapun, ia memahami bahwa maksud Letta tentunya baik.
Pada saat itu, pembicaraan mereka terjeda sejenak. Mala datang membawa nampan berisi dua cangkir teh. Di belakangnya, Kana membawa sebuah piring berisi aneka kue basah. Dengan cekatan, Mala menghidangkan semua itu di atas meja. Letta dan Handoyo sama-sama mengucapkan terima kasih.
“Yangkung, Kana mau minta Mbak Mala temani Kana ke minimarket, boleh, nggak?” ucap Kana, ragu-ragu.
“Mau beli apa?” tanya Handoyo sabar.
“Tepung es krim.”
Handoyo kemudian mengangguk. Gadis remaja dan gadis kecil itu kemudian bergandengan tangan menuju ke pintu gerbang. Handoyo kembali menatap Letta.
“Monggo, Bu,” ia menyilakan Letta untuk menikmati hidangan.
“Terima kasih, Pak,” Letta mengangguk sambil meraih cangkir teh berserta tatakannya.
“Soal Kara yang Bu Letta ceritakan tadi itu, bagaimana? Kalau saya boleh tahu,” ujar Handoyo halus.
“Begini, Pak,” Letta meletakkan kembali cangkir setelah menyesap sedikit isinya. “Kekasih Mas Leander, sebelum saya, namanya Kara. Dia besar di panti asuhan. Menurut Mas Leander, usianya diperkirakan sama dengan saya. Dulunya, dia ditemukan di depan panti oleh salah seorang pengurus. Ada disertakan tulisan nama Kara. Waktu itu usianya sekitar empat tahun. Tapi karena sakit dan kemungkinan besar kurang gizi, penampakannya seperti anak umur tiga tahunan. Lalu dia dirawat di panti asuhan itu. Sampai besar. Sampai detik ini, informasi yang saya punya hanya itu.”
“Tahu nama panti asuhannya?” Handoyo menegakkan punggung.
“Ya,” Kara mengangguk. “Sinar Kasih. Di Cipayung.”
“Jadi dia masih ada di sana?” gumam Handoyo, terdengar bernafsu.
Letta menatapnya. Lama. Membuat Handoyo pelan-pelan seolah dipaksa untuk terseret masuk ke dalam sebuah firasat buruk.
“Maaf, Pak,” bisik Letta. “Dia sudah tidak ada.”
“Maksudnya tidak ada?” kejar Handoyo.
“Dia... sudah... meninggal...,” Letta tertunduk.
“Ya, Tuhan...,” Handoyo menutup mulut dengan sebelah tangannya.
“Pak, belum tentu itu Kara Bapak,” Letta mengangkat wajahnya.
Handoyo mengangguk lemah. Ditatapnya Letta dengan sayu. Tepat saat itu mobil Leander terlihat meluncur masuk dan berhenti di depan pendopo kecil.
“Saya akan mencari informasi lagi, Pak, yang lebih pasti,” ucap Letta sebelum Leander menghampiri mereka.
“Bisa bersama saya?” suara Handoyo terdengar sarat permohonan.
“Saya cari waktu kosong dulu, ya, Pak?”
Handoyo mengangguk. Kemudian bersiap menyambut Leander.
“Aku tahu, sudah mengabaikan keberatan Mas Lean,” gumam Letta. “Aku minta maaf untuk itu. Tapi aku nggak bisa mengabaikan kata hatiku.”
Leander menatap lurus ke depan dengan mulut terkatup rapat. Kecewa pada Letta?
Ya!
“Mas...”
“Setidaknya kalau kamu memang berkeras ingin masuk, katakan dulu padaku, Let,” ucap Leander kemudian. Dengan suara terdengar begitu dingin di telinga Letta. “Karena bagaimanapun, Kara ada hubungannya denganku. Walau cuma sebatas cerita di masa lalu.”
Letta mendegut ludah.
Dia marah...
Letta mengerjapkan mata.
Dan dia memang pantas untuk marah. Karena aku lancang.
“Lalu maumu bagaimana sekarang?”
“Pak Handoyo mau menelusur ke Sinar Kasih,” sahut Letta, hampir tak terdengar. “Bersamaku. Kami masih cari waktu.”
“Terserah padamulah...”
Letta terhenyak.
Dia benar-benar marah...
Leander menghentikan mobilnya tepat di depan pintu pagar rumah Letta. Letta menoleh sebelum membuka pintu mobil.
“Mampir dulu?” tawarnya ragu-ragu.
Leander menggeleng. “Aku mau langsung ke Serpong.”
“Jangan lupa makan, Mas.”
“Ya.”
Letta tak punya pilihan lain kecuali segera keluar dari mobil Leander, dan membiarkan laki-laki itu berlalu begitu saja.
* * *
“Nggak apa-apa kalau sementara waktu ini aku nggak mengantar jemputmu, Let?”
Letta sempat termangu mendengar suara berat itu menggema di telinganya. Ada nada datar di dalamnya. Cenderung beraura dingin.
Leander mulai menjauh, setelah mengantarkannya pulang siang tadi. Setelah tahu bahwa Letta meneruskan niatnya untuk membantu keluarga Handoyo menemukan titik terang keberadaan putri mereka yang hilang. Letta bisa merasakannya. Walaupun alasannya adalah urusan persiapan pembukaan bengkel baru di Serpong, tapi Letta merasa bahwa alasan sebenarnya bukanlah itu. Dan ia tak bisa berbuat lain. Karena ia menyadari, bahwa pangkal masalah komunikasi yang kini tengah mereka hadapi adalah kesalahannya.
Sudah telanjur tercebur. Basah sekalian.
“Ya, tidak apa-apa,” jawabnya.
“Oke. Istirahat, Let. Sudah malam. Have a nice dream, OK?”
“Ya. You too.”
Letta kembali termangu setelah meletakkan ponselnya di atas meja.
Apa pun yang terjadi selanjutnya...
Letta mengerjapkan mata.
... aku percaya bahwa semua demi kebaikan.
Ia bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah ranjang. Dibaringkannya tubuh di sana.
Seandainya benar Kara-nya Mas Lean adalah putri mereka, setidaknya akan ada doa yang dipanjatkan oleh orang-orang yang tak pernah henti mencintainya.
Sebutir airmata menggelinding. Diusapnya dengan halus.
Seandainya bukan, setidaknya masih ada harapan yang terus berbunga. Semoga kelak harapan itu berbuah manis.
Dihelanya napas panjang.
Dan seandainya harapan itu harus pupus, setidaknya ada kepastian yang tidak lagi membuat perasaan mereka terombang-ambing.
Pelan, ia mulai memejamkan mata.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Mbak, pertamax lho...... Ada hadiahnya gak? Keren pake bingits.. 😊😍😘
BalasHapusMasih bingung. Kalo Letta gak terikat emosi en keluarga ama Kara, kenapa malah Letta yang merasakan Deja Vecu?
BalasHapusSalam manstaf :)
BalasHapusOuch aq terhanyut terkenyut" ......
BalasHapusSemoga bukan kara yg meninggal ,harapan ku ☺️
BalasHapusNice post ,setia menunggu selanjutnya
good post mbak
BalasHapus