* * *
Dua
“Mas Dika!”
Dika menghentikan langkahnya dari arah toilet. Ia menoleh ke arah Illa yang tengah meletakkan kembali gagang telepon.
“Ya?”
“Bisa nggak, Mas Dika yang terima klien Haris? Aku mau jalan ke Serpong. Janjian sama klien mau lihat lokasi.”
“Jam berapa?” Dika mengerutkan kening sambil meneruskan langkah ke arah mejanya.
“Sejam lagi orangnya ke sini. Datanya sudah kukirim ke email Mas Dika.”
Dika mengangkat bahu.
Apa boleh buat?
Ia kemudian mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. Illa terlihat lega. Gadis mungil berusia 27 tahun itu kemudian meraih tas besarnya.
“Ya, sudah, aku cabut dulu, ya, Mas.”
“Hati-hati di jalan, La. Jangan ngebut.”
Illa meringis lucu mendengar pesan Dika.
Sepeninggal Illa, Dika segera membuka email dan menemukan data klien Haris yang sementara ini dilimpahkan padanya. Haris sedang absen. Sedang terkapar di RS dihajar penyakit tifus. Untungnya, kalau masih boleh dibilang untung, Haris sedang tidak memiliki tanggungan pekerjaan. Kecuali pekerjaan baru yang akan datang ini. Jadi, tidak terlalu merepotkan Dika, sesama arsitek di kantor konsultan itu.
Sambil menunggu klien Haris datang, Dika pun menyibukkan diri dengan laptopnya. Ia masih punya satu pekerjaan yang sedikit lagi selesai. Tengah asyik, ponselnya berbunyi. Ia tersenyum ketika melihat nama yang tertera di layar. Haris.
“Halo, Ris!” sapanya meriah. “Masih hidup lu?”
“Hadeeeh... Mas Dika...”
Tawa Dika pecah.
“Eh, klienku tolong terima dulu, ya, Mas? Dia sudah tahu kalau aku lagi tepar.”
“Yoi... Illa sudah ngomong baru saja.”
“Makasih, ya. Sudah, aku mau mlungker lagi.”
“Sip! GWS, Ris!”
Dika menyandarkan punggung setelah meletakkan kembali ponselnya. Kantor sedang sepi. Hanya ada dia yang sedang ‘jaga gawang’. Boss Rico sedang meeting dengan klien bersama Puti dan Joppie. Mega sedang meninjau salah satu proyek mereka yang sedang berada di tahap pengerjaan konstruksi.
Sekilas ia melirik ke arah jam dinding super besar yang tergantung di tembok sebelah kirinya. Menjelang pukul sebelas siang.
Jam ngantuk-ngantuknya...
Dika menguap lebar-lebar. Ia menegakkan punggung kembali. Baru saja hendak membuka laman Facebook, klien Haris datang. Dika sempat takjub dengan penampilan sang klien. Seolah-olah ia sedang berhadapan dengan seorang aktris terkenal.
Dandanan perempuan berusia sekitar akhir 40-an itu terlihat cukup menor. Pakaian berwarna shocking pink membungkus ketat tubuh yang tidak bisa dikatakan ramping itu. Mungkin busana itu satu atau dua nomor lebih kecil dari yang seharusnya. Ada highlight berwarna keunguan di rambut ikal panjangnya. Keseluruhannya terlihat...
... sama sekali tidak pas.
Dika mendegut ludah. Tapi dilayaninya juga perempuan itu. Dengan sangat ramah. Karena walaupun penampilannya ‘enggak banget’, tapi kelihatannya merupakan klien potensial yang tak segan menghamburkan berapa pun uang asal keinginannya terpenuhi.
“Pokoknya, ya, Mas Dika, saya nggak segan, lho, keluar duit berapa pun,” perempuan bernama Rinneke itu kemudian terkikik sendiri. “Yang penting semua catatan dari saya tadi bisa diwujudkan.”
“Iya, iya, Bu,” Dika mengangguk dengan wajah serius. “Haris orang yang tepat untuk menangani desain menakjubkan seperti yang Ibu kehendaki.”
Dan Dika menghela napas lega begitu Rinneke meninggalkan kantor. Ia membaca lagi catatan yang ada di depannya sebelum men-scan-nya, dan mengirimkan dokumen itu pada Haris melalui email.
* * *
Sorenya, Rico, sang boss, mengajak seisi kantor untuk mengadakan syukuran kecil-kecilan di sebuah kafe di dekat kantor. Mereka berenam duduk mengelilingi sebuah meja bundar dengan wajah cerah. Rico, Puti, Dika, Mega, Illa, dan Joppie.
Kantor yang didirikan Rico tujuh tahun lalu itu bergerak di bidang konsultan dan jasa konstruksi. Ia memutuskan untuk lepas dari sebuah perusahaan developer besar dan membangun karirnya sendiri. Ia menggandeng Puti – adiknya – yang juga seorang arsitek sama seperti dirinya, untuk bersama-sama mengembangkan usaha itu.
Puti menarik Dika, sahabatnya sejak SMP hingga sama-sama kuliah dan menamatkan magister arsitektur, untuk ikut bergabung. Juga Joppie, teman mereka dari teknik sipil. Dalam perkembangannya, tim mereka bertambah gemuk dengan bergabungnya Haris, Illa, dan Mega, para fresh graduate yang angkatannya berada di bawah Puti, Dika, dan Joppie.
Dengan hadirnya Haris dan Illa dalam jajaran arsitek yang mereka miliki, Puti kemudian bergeser perannya menjadi sekretaris Rico sekaligus menangani pekerjaan desain interior. Sedangkan Mega, yang lulusan teknik sipil, berada di bagian perencanaan konstruksi bersama Joppie. Dan tim solid mereka berhasil memberikan pula pekerjaan bagi beberapa freelancer untuk pengerjaan draft dan segala urusan yang memperlancar pekerjaan mereka.
Siang tadi, kantor mereka baru saja mendapatkan kontrak untuk menggarap sebuah kompleks rumah bandar (townhouse) milik salah seorang teman Rico. Beserta dengan rumah contoh yang lengkap eksterior dan interiornya. Rumah bandar itu nantinya ditujukan untuk kaum menengah ke atas. Bahkan teman Rico itu sudah menjanjikan akan merekomendasikan tim Rico bila customer-nya menginginkan jasa profesional untuk menggarap eksterior dan interior rumah yang mereka beli. Dan ini adalah kali kedua tim itu mendapatkan kontrak yang sama dari orang yang sama pula.
“Billy maunya desain rumah bandar baru ini lain dengan yang pernah kita garap untuk dia,” ucap Rico. “Bisa, kan, Dik, La?” Rico menatap Dika dan Illa bergantian.
“Semoga bisa, Mas,” senyum Illa.
“Tapi kita tetap butuh ide liar Haris,” timpal Dika.
“Oh, pasti itu...,” jawab Rico sambil menyedot minumannya. “Billy juga nggak mau kita buru-buru tapi hasilnya kurang oke. Kita bisa tunggu sampai Haris pulih.”
Mereka kemudian tenggelam dalam obrolan yang cukup mengasyikkan. Beberapa kali derai tawa mereka terdengar begitu lepas.
“Eh, kalau mau tambah lagi silakan, lho,” celetuk Rico.
“Dibungkus boleh, Mas?” Mega nyengir.
“Boleh, kalau nggak segan, hahaha...,” tawa Rico berderai lagi. “Ayolah... Bebas ini, Meg. Kamu ini, kayak sama orang lain saja. Sana, panggil pramusaji lagi.”
Sebelum Mega sempat bergerak, Dika sudah mengangkat tangannya. Memberi kode pada seorang pramusaji yang sedang berada di dekat kasir. Pramusaji itu mendekat dengan langkah bergegas. Tepat saat itu, tatapan Dika terpaku pada sebuah sudut.
Seorang gadis tengah duduk berhadapan dengan seorang lelaki. Mata gadis itu tampak dipenuhi pendar cahaya yang Dika tak mampu melukiskan keindahannya. Ia nyaris tak bisa berkedip ketika matanya menangkap senyum dan tawa yang terlukis sempurna pada wajah manis gadis yang ditaksirnya berusia 25-an itu.
Segera saja dadanya dipenuhi debar liar yang hampir tak bisa dikendalikan lagi. Dan Dika tersentak ketika merasa ada yang menyenggol lengannya.
“Lu mau pesen apa lagi, Dik?” tanya Puti yang duduk di sebelahnya.
Dika buru-buru mengalihkan tatapannya. Ia agak gugup sejenak sebelum menjawab pertanyaan Puti dengan menyebutkan pesanan tambahannya.
“Lu masih normal ternyata, Dik,” gumam Joppie.
“Apaan, sih?” Dika mencoba mengelak.
“Bening juga, tuh, cewek,” Joppie menggumam lagi.
“Yang mana, sih, Jop?” Rico nimbrung.
“Tuh, Mas, yang duduk di meja pojok. Dekat kasir,” jawab Joppie dengan suara rendah.
Dengan berusaha membuat gerakan ‘melihat tanpa sengaja’, Rico pun mengarahkan tatapannya ke sudut yang disebutkan Joppie. Sementara itu, Dika menyumpah-nyumpah dalam hati.
“Mas Rico kalau kebablasan, aku laporin Mbak Retty, lho,” gurau Puti. Jahil.
“Wooo... Jangan cari mati, lu, Dik,” celetuk Rico kemudian, setelah menanggapi gurauan Puti dengan tawa ringan. “Statusnya sudah tunangan orang itu! Yang cowok itu, kan, tunangannya. Yang punya bengkel Auto Treat, tuh. Gue biasa beli spare part motor dan mobil di sana. Judoka ban item, dia...”
“Hadeeeh... Bisa-bisaan Joppie, nih!” gerutu Dika dengan wajah kesal.
Derai tawa mereka kembali pecah. Tapi sungguh, Dika tak bisa mengingkari hatinya. Ada ketertarikan yang sangat. Yang ia tak pernah merasakannya sebelum ini. Yang ia tak bisa melawannya. Dan ia memutuskan untuk mengalihkan tatapannya.
Tepat pada saat yang sama, sepasang mata bening dari sudut tiba-tiba saja juga mengalihkan tatapan. Jatuh tepat pada manik mata Dika. Hanya kurang dari dua detik. Tapi sungguh mampu menimbulkan badai yang mengamuk dahsyat dalam hati Dika.
Pikiran Dika seolah mengejang. Rasa-rasanya ia sudah pernah melalui perasaan itu. Sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Ketertarikan yang sangat. Rasa yang begitu menggugah.
Seketika Dika terhenyak.
Apa ini?
“Tapi sudah lewat dari masa panteslah, Dik.”
Gumaman Rico menyapu telinga Dika. Ia kemudian mengerjapkan mata sambil berlagak menyedot minumannya.
“Pantes apa, Mas?” Dika pura-pura tolol.
“Ya, pantes nikah lah...,” sahut Rico. “Sudah tiga dua, karir mapan, apa lagi, coba?”
Dika tersenyum masam.
“Anak gue aja udah mau dua, Dik,” celetuk Joppie.
“Calonnya belum ada,” Dika nyengir.
“Nggak niat cari, sih!” sambar Puti. “Alesannya sibuk melulu.”
Dika tertawa. Hambar. Tatapannya jatuh lagi ke sudut. Sekilas. Tapi bisa dilihatnya bahwa kedua sosok di sudut itu kini sudah mengakhiri makan malam mereka dengan sama-sama berdiri. Ketika mereka mulai melangkah, dengan jelas Dika melihat bahwa tangan kiri laki-laki itu menggenggam erat tangan kanan gadisnya. Seolah-olah menyatakan ‘jangan diganggu!’ pada seisi dunia. Membuat Dika mendengus dalam hati.
“Sebelum janur melengkung, Dik...,” ucap Joppie dengan suara rendah. Bernada memanasi.
“Oh... Jadi dulu sebelum ada janur melengkung, Mbak Vita boleh disamber laki-laki lain, begitu?” sindir Mega dengan bibir mencibir.
Joppie hanya bisa meringis. Menyadari bahwa ia sudah salah ucap. Dika menggelengkan kepala.
“Kalian ini ribut apa, sih?” timpalnya dengan nada kalem. “Aku saja cuek boi, kok, malah kalian yang ribut?”
“Matamu tak bisa berbohong, Bro!” Rico tertawa lebar. “Cuek boi dari Hongkong?”
Mereka di sekeliling meja tergelak mendengar ucapan Rico. Mau tak mau Dika ikut tertawa. Sumbang.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Hanya mbak Liz yang bisa begini.... Apik tur sae mbak. Isuk2 sarapane cerbung'e mbak'e, jen marek tenan iki..... 😍😊😻😘
BalasHapusgood post mbak
BalasHapusSalam manstaf :)
BalasHapusSalam manstaf :)
BalasHapusWaaaawwww isok ae loncate crita mb Liiiisss .....
BalasHapusGemes gemessss !
Selalu ada kejutan! Nda heran klu pembaca pd betah camping di sini.
BalasHapus👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍
Ada apa antara Dika en Leta?
BalasHapusEng ing eng... tunggu lanjutannya besok. Hehehe...
Makin nggak sabar nunggu besok.
BalasHapus