“Aku harus menyembunyikanmu,” ucap Laarsen tegas.
Franceo
terdiam.
“Mora
makin tak terkendali, dan aku harus menyembunyikanmu,” tegas Laarsen sekali
lagi. “Ini perintah Raja, Franceo. Hingga detik ini aku masih rajamu, hingga
nanti kau menggantikanku.”
Franceo
tak punya pilihan lain, kecuali mengangguk. Berusaha patuh terhadap perintah
Sang Raja. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, Laarsen segera menyeret Franceo
masuk ke dalam salah satu ruangan di istana itu.
* * *
Catana
tengah bergolak. Dalam kurun waktu ribuan tahun sejarah planet kecil itu, baru
kali ini Mitessaron ada tanda-tanda hendak dikacaukan oleh pemberontak dari
kaum Maleus.
Ada
beberapa kaum hidup berdampingan dengan damai di Catana. Kaum Manola yang
merupakan manusia asli Catana, kaum Maleus yang bersosok setengah raksasa, kaum
Pixer yang berperawakan kerdil, dan kaum Exoma yang merupakan hibrida dari kaum-kaum
yang ada di Catana. Semuanya membentuk satu kesatuan koloni Catanora, penduduk
Catana.
Mitessaron
adalah hal yang paling ditunggu seluruh koloni Catanora. Satu malam istimewa
yang berlangsung hanya sekali dalam 28 tahun. Malam terindah di mana ada empat
purnama penuh berpendar sekaligus di langit Catana. Chantrea, Kamaria, Mahsa,
dan Neoma akan menunjukkan keagungannya dengan memantulkan cahaya sepasang
mentari kembar Ciro dan Solana.
Pada
malam Mitessaron, akan diadakan penobatan raja baru yang akan memimpin Catana dalam
28 tahun ke depan. Raja baru yang sudah disiapkan lima tahun sebelumnya.
Dipilih oleh koloni Catanora berdasarkan banyak pertanda yang diturunkan oleh
Sang Maha Bijaksana. Dan seluruh koloni Catanora akan merayakannya dengan
berpesta pora semalam suntuk.
Dalam Mitessaron yang akan datang beberapa minggu lagi, Franceo-lah yang akan
dinobatkan menjadi raja baru. Seorang pemuda dari kaum Manola dengan cahaya
kebaikan, keagungan, dan kebijaksanaan memancar dari wajahnya yang teduh. Dan
kebetulan, Franceo adalah tunangan Migea, putri tunggal Raja Laarsen dan Ratu
Murin.
Sayangnya,
ada yang tidak terima dengan bintang terang yang menaungi Franceo. Mora,
pemimpim kaum Maleus, berambisi menjadi raja di Catana.
Usaha
Mora untuk mempengaruhi koloni Catanora tak ada hasilnya. Sihir Wiluta terlalu
kuat melindungi pikiran kaum Manola, Pixer, dan Exoma. Sayangnya, sihir Wiluta
tidak berlaku bagi kaum Maleus. Hanya saja, sebagian besar kaum Maleus pun tak
mendukung Mora. Selama ini, mereka sudah terbukti bisa hidup berdampingan
dengan damai di bawah kepemimpinan raja-raja yang selalu berasal dari kaum
Manola. Tak ada alasan untuk memberontak.
Tapi
tidak, bagi Mora dan beberapa pengikutnya.
* * *
Laarsen
membawa Franceo menelusuri lorong-lorong katakomba yang berawal dari ruang
perpustakaan istana. Hingga akhirnya lorong itu sampai di sebuah ujung buntu. Franceo
mengangkat alis ketika Laarsen mendorongnya terus hingga menabrak tembok batu
di depan mereka.
Dan
mereka menembusnya! Masuk ke dalam sebuah ruangan besar penuh berlapis batu
granit dengan segala perabot penunjang kehidupan. Ruangan itu terang benderang
oleh beberapa pecahan batu bintang Irconid yang bersinar abadi terpasang di
dinding. Franceo terbelalak melihatnya.
“Sampai
aku bisa membereskan semuanya, kau harus tinggal di sini. Masa depan Catana ada
di tanganmu. Kau harus tetap hidup.”
“Tapi...”
Laarsen
tak mau mendengarkan bantahan Franceo. Ia segera meninggalkan tempat itu.
Menembus begitu saja permukaan tembok.
* * *
Begitu
keluar dari ruang perpustakaan, sebuah laporan sudah menunggu Laarsen. Gudang
penyimpanan makanan untuk pesta Mitessaron ditemukan dalam kondisi setengah
kosong, padahal terkunci dari luar.
“Lumbricoid,” gumam Laarsen ketika
melihat seisi gudang.
Ada
beberapa lubang besar di lantai gudang. Jelas lumbricoid pelakunya. Cacing raksasa berkulit keras yang mampu
membobol dari dalam tanah, tidak dari luar gudang. Dan satu-satunya Catanora
yang bisa mengendalikan lumbricoid
hanyalah kaum Maleus.
“Kumpulkan
Pasukan Enam Belas,” gumam Laarsen pendek sambil meninggalkan gudang.
* * *
“Pare sudah bersiap membawa Pasukan Enam
Belas untuk menyerbu Maleus!”
Franceo
tergeragap ketika Migea menerobos masuk begitu saja ke dalam ruang
persembunyian itu.
“Apa
yang terjadi?” Franceo terbelalak.
“Sepertinya
Mora menyuruh lumbricoid untuk
mengambil persediaan makanan untuk pesta Mitessaron di gudang. Yang kudengar
dari Rauder, gudang kita sudah setengah kosong.”
“Sudah
pasti pencurinya lumbricoid?”
“Ya!”
angguk Migea. “Pare sudah
memeriksanya. Ada lubang-lubang besar di lantai gudang. Apa lagi kalau bukan lumbricoid?”
Franceo
tercenung sejenak sebelum kembali menatap Migea.
“Migea,
keadaan mulai tidak aman,” Franceo memegang kedua bahu kekasihnya itu.
“Seharusnya kau dan Ratu Murin-lah yang bersembunyi di sini, bukan aku.”
“Tidak,
Franceo,” Migea menggeleng tegas. “Takdirmu adalah menjadi pemimpin Catana
hingga Mitessaron berikutnya. Jadi...”
“Migea,”
potong Franceo, “kalau memang itu takdirku, maka tak akan terjadi apa-apa
padaku walaupun aku berada di luar sana.”
Migea
menatap Franceo dengan putus asa.
“Ajak
Ratu ke sini. Aku akan membantu Raja,” ucap Franceo tegas.
“Masalahnya...,”
Migea mengerjapkan mata. “Kau tak bisa keluar dari sini.”
“Tapi
Raja tadi bisa,” bantah Franceo. “Kau pun bisa keluar-masuk begitu saja.”
“Ya,”
angguk Migea, “karena kami bukan tahanan
seperti kau.”
“Aaah...,”
Franceo mendesah panjang.
“Franceo,”
Migea memegang kedua tangan Franceo, “aku berjanji, kalau keadaan memburuk, aku
akan membawa Mare ke sini.”
“Ya,
berjanjilah, Migea...”
Migea
mengangguk dan buru-buru beranjak pergi dari tempat itu. Franceo kembali
terduduk dengan wajah kusut.
Bagaimana bisa keluar dari
tempat ini?
Ia
menatap berkeliling. Keseluruhan dinding dan lantai ruangan itu dilapisi granit
hitam yang dijamin tak bisa ditembus oleh apa pun. Lumbricoid sekali pun. Ia menyipitkan mata ketika tatapannya jatuh
pada bidang dinding hitam kosong, tempat keluar-masuk tadi.
Pelan
ia mendekati dinding itu. Mencoba merabanya. Terasa masif di telapak tangan.
Ketika ia mencoba mendorongnya, tak terjadi apa pun. Juga ketika ia berusaha
mendorong bidang itu dengan bahunya. Tak ada perubahan.
Migea benar! Aku belum bisa
keluar karena statusku masih tahanan.
Franceo
menghela napas panjang. Ia kemudian berbalik dan berjalan kembali ke tempat
duduknya semula. Dengan resah, ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
Dan mendadak saja ia seolah membeku ketika tangan kanannya meraba sesuatu di
dalam saku. Pelan, ia menggenggam benda kecil itu, kemudian menariknya keluar.
Syrinx!
Franceo
hampir saja bersorak gembira. Syrinx
yang kini ada di dalam genggamannya adalah pemberian Wiluta, Sang Dukun Sakti
Catana. Sebuah benda mungil terbuat dari kulit kerang. Bisa ditiup untuk
memanggil Wiluta kapan saja, saat kondisi Franceo terdesak. Aslinya benda itu
cukup besar, tapi Wiluta mengubahnya jadi berukuran mini, agar Franceo dengan
mudah membawanya ke mana pun ia pergi.
Dengan
ragu-ragu, Franceo meniup syrinx itu
pada ujung yang paling kecil. Tak terdengar apa-apa. Ia kemudian mengulanginya
lagi, dengan embusan napas yang lebih keras.
“Franceo! Aku tidak tuli!”
Franceo
hampir saja terjengkang karena kaget mendengar gelegar suara itu. Ia menatap
berkeliling, tapi si pemilik suara tetap tak tampak.
“Wiluta?”
bisiknya ragu-ragu.
“Ya! Aku! Siapa lagi? Kau
mau keluar dari situ?”
Franceo
menghela napas lega. Wiluta benar-benar berhak mengukuhkan dirinya sebagai
dukun paling sakti sejagat Catana.
Dan,
Wiluta tiba-tiba saja melompat keluar dari kepulan asap tebal yang muncul tanpa
pemberitahuan tepat di depan Franceo. Membuat Franceo kembali hampir
terjengkang karena terkejut.
“Dengar,
anak muda,” sosok kerdil berjubah panjang menyentuh lantai itu menatap Franceo.
“Kau hanya perlu meniup syrinx sekali
saja dengan embusan napas secukupnya. Tidak perlu berisik seperti tadi. Kamu
memang tidak bisa mendengar suaranya, tapi aku bisa. Paham?”
“Ya,
Wiluta,” Franceo mengangguk takzim. “Maafkan aku.”
“Hm...
Kau mau berbuat apa di luar?”
“Aku
harus membantu Raja Laarsen untuk menghadapi segala kekacauan yang ada,” jawab Franceo
tegas. “Aku tidak bisa berdiam diri, berpangku tangan seperti ini, Wiluta. Kau
harus membantu aku.”
Wiluta
menyipitkan mata. Menatap Franceo tajam. Tapi sejenak kemudian ia menganggukkan
kepala.
“Baiklah,”
Wiluta memutuskan.
Ia
kemudian mengulurkan tangan kiri, menjangkau tangan Franceo. Tangan kanannya
mengibaskan jubah berwarna ungu yang dikenakannya. Seketika asap tebal berwarna
putih menyelimuti mereka. Franceo tak bisa melihat apa-apa. Tapi ia pasrah
dengan perbuatan Wiluta. Bukankah ia sendiri yang memintanya?
* * *
Tujuh
belas casuarius bergerak meninggalkan
istana beberapa saat kemudian. Mereka adalah pasukan pilihan dengan Laarsen
sebagai pemimpinnya, dan berangkat ke sektor Maleus dengan mengendarai casuarius. Burung-burung besar dengan
bulu berwarna hitam kehijauan berkilat-kilat itu memang tidak bisa terbang.
Tapi mereka sangat tangkas dan terlatih. Tampak berbahaya dengan cakar kuat dan
tajam yang mereka miliki.
Kali
ini, Mora sudah tidak lagi bisa dibiarkan.
Dan
Franceo menyaksikan semua citra itu dari permadani besar berwarna abu-abu muda
yang terbentang di salah satu dinding pondok Wiluta. Dukun sakti itu
menyuruhnya duduk dan menyaksikan dulu kejadian yang saat ini tengah
berlangsung jauh di luar pondok.
Tak
butuh waktu lama bagi Laarsen dan pasukan khususnya untuk sampai di sektor
Maleus. Mora sendiri tampaknya sudah menduga bahwa akan ada pasukan yang
datang. Ia sudah siap. Menghadang pasukan kecil Laarsen tepat di tengah pintu
gerbang sektornya.
“Selamat
datang, Raja Laarsen,” ucap Mora dengan keramahan yang dibuat-buat.
“Terima
kasih, Mora,” balas Laarsen dengan tenang. “Kelihatannya kau sudah tahu bahwa
aku akan datang.”
“Ada
masalah apa, Raja?” Mora terlihat mulai pongah.
“Mora,
kalau kau memang tak mau lagi menjadi Catanora, kau tinggal bilang padaku,”
jawab Laarsen dengan nada datar tapi tegas. “Kalian bebas keluar dari koloni
Catanora. Berhak untuk menjalani kehidupan kalian sendiri sebagai kaum Maleus
tanpa campur tangan kaum lain. Karena kalian, toh, bukan jajahan. Bukan budak.
Tapi tak perlu mengganggu kehidupan koloni!”
“Memangnya
apa yang sudah kulakukan?” Mora mendengus dengan nada mengejek.
Raut
wajah Laarsen berubah menjadi gelap.
“Banyak!”
tandasnya. “Aku tahu, semua kekacauan yang terjadi belakangan ini adalah karena
ulahmu. Termasuk ulahmu baru saja. Mengerahkan lumbricoid untuk membobol gudang kita. Berhentilah, Mora. Koloni
Catanora sudah menentukan pilihannya. Sudah menetapkan penggantiku. Tinggal
menunggu Mitessaron untuk menobatkannya. Aku juga tahu, sebagian besar kaummu
setuju dengan pilihan itu.”
“Lalu
kau mau apa?”
“Aku
tidak mau berbuat lebih,” Laarsen menggeleng. Berusaha tetap bersabar walaupun
raut wajahnya terlihat semakin gelap. “Aku hanya ingin memperingatkan kau.
Bahwa aku bisa saja habis kesabaran.”
Mora
mengangkat bahu. Kemudian berbalik. Berlagak masuk kembali ke sektornya. Merasa
bahwa peringatannya sudah cukup dimengerti Mora, Laarsen kemudian memerintahkan
pasukan kecilnya untuk berbalik dan pergi.
“Tidaaak!”
tiba-tiba saja Franceo berteriak ketika melihat adegan tak terduga di layar
Wiluta.
Mora
ternyata menyerang tiba-tiba dengan melemparkan godam apinya begitu Laarsen dan
pasukannya berbalik. Godam api besar itu langsung menghantam dua casuarius beserta muatannya yang berada
paling belakang. Dua anggota pasukan khusus seketika terjatuh ketika casuarius yang mereka naiki tersungkur.
Dan
serbuan puluhan godam berapi dengan ukuran lebih kecil menghujani pasukan Laarsen.
Dengan kekuatannya, Laarsen berusaha melindungi pasukannya dengan kubah perisai
yang tak terlihat.
“Selamatkan
Yura dan Kinox!” serunya sambil terus menahan gempuran dari Mora dan
pengikutnya.
Di
bawah kubah perisai itu, beberapa anggota pasukan elit Laarsen segera bergerak
menyelamatkan anggota pasukan dan casuarius
yang terluka.
* * *
Franceo
setengah gelagapan ketika tiba-tiba saja Wiluta menyiramnya dengan sekuali
besar cairan encer tak berbau.
“Ini
perisaimu,” ujar Wiluta tanpa ditanya.
Masih
belum hilang rasa kaget Franceo, Wiluta sudah menaburinya dengan seember bubuk
berkilau.
“Dan
ini tambahan kekuatanmu,” ujar Wiluta lagi. “Sekarang kau berangkat ke sana. Alcander
sudah menunggumu di luar.”
Tanpa
menunggu Wiluta mengulang perintahnya, Franceo segera berlari keluar dari
pondok. Dragquila bernama Alcander –
makhluk berkepala naga, berbadan elang raksasa berbulu keemasan, dengan ekor
panjang berujung trisula – peliharaan Wiluta itu, benar-benar sudah siap di
luar pondok. Sebelum Alcander mengembangkan sayapnya, Wiluta melemparkan
segulungan permadani yang segera ditangkap dengan tangkas oleh Franceo.
“Itu
untuk mengangkut casuarius dan
anggota pasukan yang terluka!” seru Wiluta ketika Alcander mulai mengepakkan
sayap.
“Yaaa!”
Franceo balas berseru.
Dalam
hitungan detik, Alcander sudah melesat membelah langit. Franceo memeluk leher Alcander
kuat-kuat.
“Pelajaran
pertama, jangan cekik aku!”
Franceo
hampir saja terjatuh karena kaget mendengar suara itu. Ternyata Alcander bisa
bicara! Franceo pun buru-buru merenggangkan pelukannya.
“Pelajaran
kedua, jangan bunuh Mora dan pengikutnya. Kalau bisa.”
“Ya,”
Franceo menjawab dengan nada patuh.
“Pelajaran
ketiga, bentangkan permadani yang ada di belakangmu itu, dan taruh semua yang
tidak bisa naik casuarius kalau
semuanya nanti berakhir.”
“Siap!”
* * *
Laarsen
mulai kehabisan tenaga. Ia terengah-engah mempertahankan kubah perisainya.
Serangan dari Mora dan pengikutnya seperti tak ada habisnya. Sementara
persediaan cakra anggota pasukannya mulai menipis.
“Zambe!”
teriak Laarsen. “Kembali ke istana, minta bala bantuan!”
Tapi
sebelum Zambe sempat naik ke atas casuarius-nya,
terdengar serangkaian pekikan keras yang seolah membelah langit. Laarsen
mendongak dan melihat seekor dragquila
terbang berputar-putar di atas mereka, sebelum akhirnya menukik ke arah Mora
dan pengikutnya.
“Alcander!”
seru Laarsen penuh kelegaan. “Untunglah Wiluta membantu kita.”
Tapi,
ia terbengong ketika melihat siapa yang meloncat dari atas punggung Alcander.
“Franceo?”
gumamnya.
Konsentrasinya
seketika terpecah. Kuda-kudanya goyah. Yang berujung pada berantakannya kubah
perisai yang melindungi ia bersama pasukannya. Pada detik yang sama, sebuah
godam berapi menghantam dada Laarsen. Telak. Membuatnya terpental ke belakang
tanpa bisa bersuara, menabrak sebatang pohon besar, dan terkulai hilang
kesadaran.
Franceo
yang terlambat melindungi Laarsen seketika dipenuhi kemarahan yang luar biasa.
Dengan hanya mengandalkan tubuh dan tenaga, ia merangsek maju ke arah Mora dan
pengikutnya. Di tengah kemarahan itu, ia menangkis semua godam berapi yang
menghujaninya. Dengan dibantu Alcander, Franceo mengobrak-abrik pertahanan
Mora.
Satu
per satu, pengikut Mora mulai rontok. Dan terakhir, Mora masih tegak berdiri.
Menatap Franceo dengan pandangan ganas. Seolah ingin menelannya hidup-hidup.
“Ini
yang kumau!” geram Mora sambil memantapkan kuda-kuda dan menyiapkan godam
berapi terbesarnya.
Franceo
menatap Mora dengan dingin. Sedikit pun tak gentar dengan desau godam berapi
terikat rantai yang berputar-putar di atas kepala Mora. Ia kemudian memejamkan
mata, dan membuka mata hatinya.
“Jadikan dirimu cermin.”
Franceo
sempat mengerutkan kening dengan mata masih terpejam. Suara Alcander
jelas-jelas menembus telinganya. Dan ia sudah siap ketika didengarnya teriakan
penuh nafsu Mora, “MATILAH KAU, FRANCEO!!!”
Cermin! Cermin! Cermin!
BLAARRR!!!
“AAARGH!!!”
Bruk!
Suara
ledakan terdengar mencabik udara di sekitar mereka. Diikuti dengan teriakan
yang membahana, dan suara benda berat jatuh. Franceo masih memejamkan mata dan
diam tak bergerak.
Franceo
baru membuka matanya pelan-pelan ketika keheningan melingkupinya. Ada asap yang
mengepul di depannya. Mora terkapar tak bergerak. Godamnya pecah berantakan. Serpihan
godam itu menghitam bagai arang. Tak lagi berapi. Franceo berhasil menjadikan
dirinya seperti cermin. Memantulkan serangan Mora hingga berbalik mengenai diri
Mora sendiri.
Keheningan
itu pecah oleh sorakan pasukan Laarsen. Mereka segera menyerbu Franceo dan
mengangkatnya dengan wajah gembira. Saat itu tatapan Franceo jatuh pada Laarsen
yang duduk bersandar pada pohon yang tadi ditabraknya. Sudah siuman, tapi
terlihat sangat lemah.
“Ayo,
kita bereskan kekacauan ini!” ujar Franceo, menyadarkan para anggota pasukan
khusus itu.
Franceo
kemudian membentangkan permadani yang dibawanya. Bahu membahu, mereka menaikkan
casuarius, anggota pasukan, dan
pengikut Mora yang terluka. Mora sendiri masih terkapar tak sadarkan diri.
Pasukan Laarsen melemparkannya ke atas permadani. Satu per satu, kaum Maleus
keluar dari pondok mereka. Dorpa, tetua kaum Maleus mendekati Franceo.
“Kami
minta maaf, Franceo,” ucap Dorpa dengan wajah menyesal. “Kami tidak bisa membantumu.
Kami harus melindungi anak-anak.”
“Ya,
kami mengerti.” Franceo mengangguk sambil tersenyum. “Toh, semuanya sudah
berlalu. Kami akan membawa Mora dan pengikutnya ke istana. Tolong, kalian
bereskan saja kekacauan ini.”
Dorpa
mengangguk.
Setelah
permadani dengan segala muatannya terbang ke arah istana, Laarsen sudah aman di
atas punggung Alcander, dan anggota pasukan Laarsen yang tidak terluka naik ke
atas casuarius-nya masing-masing,
barulah Franceo berpamitan kepada Dorpa. Dengan tangkas ia kemudian naik ke
atas punggung Alcander. Menempatkan diri di belakang Laarsen.
“Franceo,”
ujar Dorpa sebelum Alcander mengepakkan sayapnya, “kami tetap Catanora. Siap
untuk menyambut Mitessaron dan penobatanmu menjadi raja.”
Franceo
mengangguk, tersenyum, dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu, Alcander pun
mengudara dengan gagahnya.
* * *
Ciro
dan Solana pelan-pelan menggelincir ke langit Utara. Cahayanya yang kian redup
membuat ribuan bintang di langit ungu Catana mulai terlihat gemerlapnya. Ketika
Ciro dan Solana sudah sempurna tenggelam dalam peraduannya, semua kepala
Catanora beralih menengok ke arah Selatan dalam hening.
Pelan,
Chantrea yang berwarna putih mulai muncul dari balik cakrawala. Ketika Chantrea
sudah mengudara dengan sempurna, Kamaria yang berwarna kemerahan menyusul.
Kemudian Mahsa yang berwarna biru muda, dan terakhir adalah Neoma yang berwarna
jingga. Ketika keempatnya sudah tampil sempurna, tepuk tangan pun riuh rendah
memecah keheningan.
Mitessaron
telah mencapai puncaknya. Salah seorang prajurit Catana meniup sebuah syrinx besar. Segera saja gaungnya
memenuhi udara. Tanda bahwa penobatan raja baru segera dimulai. Ketika gaung
itu sudah menghilang dari udara, Raja Laarsen didampingi oleh Ratu Murin dan
Putri Migea muncul di atas balkon utama istana. Gemuruh tepuk tangan menyambut
kemunculan raja yang sudah pulih dari luka-lukanya berkat airmata Alcander.
“Empat
purnama sudah sempurna bersinar di langit Catana!” ucap Laarsen dengan lantang.
“Saatnya aku undur diri seperti Ciro dan Solana. Digantikan oleh raja baru
dengan sinar indah seperti Chantrea, Kamaria, Mahsa, dan Neoma. Franceo, kaulah
raja baru Catana. Dengan ini, kutitipkan Catana padamu. Rawat dan lindungilah
dengan semua cintamu.”
Pelan,
Laarsen melepaskan mahkota dari atas kepalanya, kemudian memindahkannya ke atas
kepala Franceo. Ketika semuanya sudah sempurna, tepuk tangan dan sorak-sorai
Catanora kembali bergemuruh.
Dengan
diterangi oleh cahaya terang empat purnama di atas Catana, koloni Catanora
berpesta sepanjang malam. Bergembira menikmati malam indah yang hanya datang sekali
dalam 28 tahun itu. Malam indah yang terpaksa dihabiskan Mora dan pengikutnya
dengan patuh untuk melayani semua kebutuhan pesta koloni Catanora.
* * * * *
Catatan :
- Fiksi fantasi ini diikutsertakan dalam Event #BelajarBarengFC #Fantasy.
- Lanjutan cerbung Déjà Vécu akan ditayangkan pukul 10.00.
Ilustrasi : www.pixabay.com
Pertamax
BalasHapusWow, mbak'e pancen oye iki. Leander AMA Letta sing tak enteni, mak bedhunduk lha kok Areo sing mecungul. Apik tenan mbak..... Nuwus nggih 😄😍😘
BalasHapusgood post mbak
BalasHapusMasiyo ka lanjutane cerbung belum terbit tapie ada cerpen ini.
BalasHapusLope" soro to the max mb Liiiissss .....
Aku kok jadi pingin maem biskuit coklat yang biasa di celupin susu itu, namanya apa ya...hmmm... :p
BalasHapusSalam manstaf :)
BalasHapusMenurutku, ini JEMPOL!
BalasHapusVery good job 👍
Setting dan perangnya keren *jempol
BalasHapusBenar-benar melambungkan fantasi
Fantastik banget...😍
BalasHapusKereeeen banget banget, pake bangeet!
BalasHapus