* * *
Empat
Tatapan Leander jatuh jauh menembus partisi one way ruang kantornya. Ketika ia menjemput Letta pagi tadi, gadis itu masih setia dengan heningnya. Nyaris sama seperti kemarin saat mereka mengantar anak-anak pulang. Sia-sia ia bertanya ‘kenapa?’, karena Letta dengan tegas menjawab ‘tidak ada apa-apa’.
Apalagi sepertinya perubahan itu begitu cepat terjadi. Bahkan mungkin terlalu cepat. Mereka masih tertawa-tawa di rumah Leander. Juga ketika mereka jalan untuk mencari makan siang. Setelah itu? Letta mengempis seperti balon kehabisan udara.
Tapi apa? Kenapa?
Pelan-pelan Leander menyandarkan punggungnya. Sejujurnya ia takut kejadian buruk itu akan terulang lagi. Letta menyembunyikan sesuatu dan pada akhirnya akan terlalu terlambat untuk diketahui.
Seperti Kara dulu...
Diam-diam Leander mendesah. Ia sungguh-sungguh ingin bertanya, tapi tak tahu mulai dari mana dan dengan cara apa. Maka ia hanya bisa terdiam. Lama. Baru tersadar ketika alarm ponselnya berbunyi.
Ia sempat sedikit tersentak. Waktu makan siang terlewat begitu saja. Dan sekarang sudah tiba saatnya untuk menjemput Letta. Ia segera berdiri dan menyambar kunci mobil di atas meja.
Beberapa menit kemudian ia bersama mobilnya sudah meluncur membelah jalanan. Menerobos siang yang begitu panas selewat tengah hari.
Dan Letta yang ditemuinya kemudian adalah Letta yang seperti biasanya. Penuh senyum. Penuh semangat, walaupun ada kelelahan membersit di wajahnya. Memaksa Leander menelan kembali tanya itu. Menyimpannya hanya dalam hati
* * *
“Siang besok nggak usah jemput, ya, Mas,” ucap Letta begitu kaki Leander menginjak pedal gas.
“Kenapa?” Leander menoleh sekilas.
“Aku janjian sama Arinka. Sudah tiga bulan lebih nggak ketemuan.”
Leander tersenyum. Mengangguk.
Kalau itu bisa membuatmu senang, kenapa tidak?
“Pulangnya? Perlu kujemput?”
“Oh, enggak. Nggak usah. Arinka sudah janji mau antar aku pulang.”
“Okelah. Oh, ya, kamu capek banget, nggak, sekarang?”
“Hah?” Letta menoleh cepat. “Nggak terlalu. Kenapa?”
“Mau menemaniku makan siang?”
Letta buru-buru melihat ke arah arlojinya. “Sudah hampir setengah tiga ini, Mas. Kok, bisa, belum makan?”
“Ya... Agak sibuk tadi.”
Sibuk memikirkanmu, Let...
“Dijagalah, Mas...,” desah Letta. “Jangan sampai keseringan telat makan. Mas, kan, sudah beberapa kali ada gejala gangguan lambung kalau telat makan."
“Iyaaa...,” jawab Leander, sabar. “Jadi, gimana? Mau menemani atau enggak?”
“Ayo!”
Leander kemudian membelokkan mobilnya ke sebuah kompleks ruko, tak jauh dari sekolah tempat Letta mengajar. Dan Leander sungguh-sungguh takjub melihat betapa bercahayanya wajah Letta ketika menceritakan hal-hal konyol yang dilakukan murid-muridnya.
Letta-ku sudah kembali...
Leander tersenyum lebar. Dan senyum itu masih tersisa di bibir ketika pramusaji membawakan pesanan mereka. Letta sedikit terpaku menatapnya.
Ada getar seperti kepak ribuan sayap kupu-kupu bermain dalam hatinya. Dan getar itu perlahan menimbulkan perasaan hangat di pipi. Ia mendadak saja tersipu ketika Leander menangkap tatapannya.
“Kenapa?” senyum Leander. “Baru menyadari kalau aku lelaki yang sungguh-sungguh tampan dan rupawan?”
Letta tergelak seketika. “Mbuh, ah!”
Leander pun ikut terseret dalam gelak riang itu. Dan ia pun mulai menikmati makan siang terlambatnya. Letta hanya menikmati sepotong cheese cake dan segelas es teh hijau di depan Leander. Keduanya kemudian mengobrol lagi. Terutama tentang Arinka.
* * *
Keesokan siangnya, Arinka sudah menunggu di dekat gerbang sekolah Cahaya Wiyata. Ketika Letta muncul, Arinka segera menyongsongnya dengan wajah cerah. Keduanya berpelukan sejenak sebelum Arinka menggandeng Letta ke arah mobilnya.
“Let, kamu ada waktu sampai kapan hari ini?” tanya Arinka sambil mulai melajukan mobilnya.
“Sampai malam.”
“Nggak ada jadwal kasih les?”
“Enggak,” geleng Letta. “Cuma Senin, Rabu, Jumat.”
“Bagus!” Arinka mengangguk puas. “Karena kamu harus menemaniku bisnis sejenak.”
Letta mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tak memahami maksud Arinka. Tanpa menunggu lama, Arinka pun menjelaskan ucapannya.
“Sebetulnya, kemarin sesudah meneleponmu, aku bikin janji dengan seseorang. Mau ngomongin soal proyek baruku. Mauku, sih, tadi pagi ketemuannya. Tapi dia nggak bisa karena terlalu sibuk. Jadi baru jam tiga nanti ada waktu. Gimana, Let? Setelah itu, us time!”
“It’s OK. Santai saja, Rin. Aku temani kamu,” senyum Letta.
Seketika Arinka menghela napas lega.
“Tahu, nggak, Let? Dia direkomendasikan banget sama Ayah,” lanjut Arinka. “Anaknya teman lama Ayah.”
“Mau bikin proyek apaan, sih, Rin?”
“Rumah bandar, Let. Khusus untuk lansia. Aku sudah sukses bikin di Sentul. Mau aku coba di Ciganjur.”
“Terus, urusannya sama orang baru ini?”
“Oh... Dia arsitek. Kerja di kantor konsultan, gitu. Mau coba pakai dia kalau cocok.”
“Hm... I see,” Letta manggut-manggut.
“Ngomong-ngomong, kamu sama Mas Leander gimana? Mau nikah kapan?”
“Jangan tanyakan itu,” Letta mengelak.
“Lho?!”
Letta masih terkekeh.
“Tapi kamu dan Mas Lean baik-baik saja, kan?”
“Baiiik...,” Letta mengangguk. “Hanya saja masih mau menikmati hubungan seperti sekarang.”
“Tapi kalian serius, kan?”
“Tentu saja!” tukas Letta. “Kalau tidak, ngapain aku mau bertunangan sama dia?”
“Syukurlah...,” Arinka menghembuskan napas lega. “Ngomong-ngomong lagi, kamu jangan ketawa, ya?”
“Hah?” Letta menoleh cepat dengan tatapan tak mengerti.
“Sama Ayah, aku disuruh mendekati anak temannya itu. Dia juga masih jomlo. Yah... Siapa tahu memang jodoh. Aku nggak berharap banyak juga, sih. Kalau sekarang ini, masih murni urusan bisnis.”
“Hm... Kamu memang bakalan ngeles terus, kok, Rin, kalau nggak dikasih jalan selebar-lebarnya begitu.”
Arinka terkikik geli mendengar ucapan Letta.
Beberapa belas menit kemudian, Arinka membelokkan mobilnya masuk ke area parkir sebuah kompleks ruko berukuran besar. Kantor yang ditujunya terletak di ujung deretan ruko itu.
“Wooo... Kamu kelihatannya akrab bener sama daerah sini?” gumam Letta.
“Bukan masalah akrab sama daerah sini, Let,” Arinka nyengir. “Tadi pagi aku sudah coba-coba jalan ke sini. Ngintipin sedikit, ceritanya.”
Jawaban polos itu seketika membuat Letta terbahak. Itulah salah satu sebab ia senang bersahabat dengan Arinka. Gadis mungil yang satu itu tak pernah gengsian, cenderung jahil, dan bisa berbuat ‘gila’ tanpa disangka-sangka. Tapi di luar segala ‘kenakalan’ itu, tersembunyi sifat baik yang membuat orang di sekitarnya merasa nyaman karena merasakan empati tulus yang menguap dari keseluruhan diri Arinka.
Arinka sempat melirik arlojinya sambil mengunci mobilnya. Pukul tiga kurang sepuluh menit. Bersisian dengan Letta, Arinka kemudian melangkah dengan yakin menuju ke kantor tujuan.
Arinka dan Letta saling melirik ketika masuk ke kantor konsultan yang pintunya terbuka lebar itu. Mereka menjumpai ada sebuah meja dan kursi yang kosong di foyer. Sepi. Tapi ada suara musik jazz lembut yang mengalun di ruang dalam. Letta mundur ke arah pintu. Dalam waktu sedetik ia berhasil menemukan tombol bel yang segera dipencetnya. Melihat itu, Arinka langsung buru-buru mundur. Menjajari Letta yang berdiri dengan sikap sopan di depan pintu.
“Untung aku ajak kamu,” bisik Arinka dengan nada geli.
Letta terkikik juga.
“Selamat siang...,” seorang gadis mungil mendatangi mereka dari arah dalam.
“Selamat siang, Mbak,” Arinka membalasnya dengan sopan. “Pak Mahardika-nya ada?”
“Oh... Ibu Arinka yang ada janji sama Mas Dika, ya? Mari, masuk, Bu!”
Arinka dan Letta melangkah mengikuti gadis mungil yang seukuran dengan Arinka itu. Letta menoleh ketika merasa Arinka menarik tangannya.
“BU Arinka,” mulut Arinka komat-kamit tanpa suara, membuat Letta setengah mati menahan tawa.
Tapi segenap rasa geli lenyap seketika dari benak Letta begitu melihat sosok itu. Yang berdiri menyambut mereka. Dan tatapan mereka bertemu. Membuat waktu seolah membeku di sekitar mereka.
* * *
“Mas Rico,” Dika menatap Rico yang sedang duduk di meja Puti di seberangnya.
“Ya?” Rico mengalihkan tatapannya dari layar laptop.
“Kalau ada job masuk lagi, kita masih bisa handle, nggak, kira-kira? Rumah bandar lagi.”
“Kalau cocok, ambil,” angguk Rico mantap.
“Hm...,” Dika tampak berpikir sejenak.
“Proyek Billy, biar Haris saja pilot-nya. Kamu yang back up. Proyek baru nanti, kalau goal, kamu yang pegang. Nanti Puti atau aku yang back up.”
“Ya, semoga jodoh, ya, Mas?” Dika meringis.
“Pendahuluannya gimana?”
“Ibu Arinka itu bilang dia mau bikin proyek rumah bandar yang lain daripada yang lain, Mas. Cuma istimewanya gimana, dia mau detailnya dibicarain secara langsung saja nanti.”
“Oh...,” Rico manggut-manggut. “Dia hubungi kamu?”
Dika mengangguk.
“Pernah jadi klien kita?”
“Enggak, Mas. Dia anak temennya Bapak. Sama Bapak dikasih nomor kontakku.”
“Oh...,” Rico manggut-manggut. “Janjian jam berapa?”
“Jam tiga.”
Rico melirik jam dinding dan menggumam, “Sebentar lagi.”
“Mas Rico nimbrung saja, biar meriah,” Dika tersenyum lebar.
“Boleeeh...,” Rico tertawa ringan.
Tepat saat itu terdengar bel berbunyi. Rico sudah berdiri, hendak melihat siapa yang datang. Tapi Illa mendahuluinya karena posisi mejanya lebih dekat dengan foyer.
Sejenak kemudian gadis mungil itu sudah kembali lagi ke ruang dalam. Dengan diikuti oleh dua orang perempuan. Yang satu mungil, sekilas perawakannya mirip Illa. Satunya lagi...
Dika nyaris tak bisa berkedip menatapnya.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Pertamax hihi
BalasHapusGek jumat gek jumat
Huwaaaaaa ketemu lagi ,berasa bgt
BalasHapusgood post mbak
BalasHapusSesuk kok suwe men ya? 🕜 ⛅ 🌇 🌆 🌃 🌄 🕕
BalasHapusHaduduuuuu ......
BalasHapusLek Letta sido kepencut kambek Dika lak cik saknoe Leander.
(Jareke mb Lis: lek crigis ae gataktukokno tahu bakso meneh on niiiiiit qiqiqiqiq)
Salam manstaf :)
BalasHapus