* * *
Seutuhnya Letta memahami sinyal ‘berhentilah!’ yang sudah diisyaratkan Leander dengan sangat halus. Mungkin Leander benar, bahwa ia sudah masuk terlalu dalam. Mungkin juga benar bahwa ia menempatkan diri pada posisi yang tidak tepat. Tapi apa pun alasannya, empati atau sejenisnya, tetaplah ada rasa tak-bisa-mengabaikan yang sangat kental.
Maka ia memutuskan untuk tetap menyimpan informasi tentang seorang Kara yang ia ketahui dari Leander hari Sabtu kemarin itu. Ingin ia menggali lebih dalam, hanya saja ia belum punya waktu sendirian. Dan rasa-rasanya ia sudah menghabiskan terlalu banyak waktu bersama Leander, hingga ia seolah tak lagi punya me time.
Tapi di sisi lain, seandainya benar bahwa Kara adalah Kara yang dirindukan keluarga Handoyo, bagaimana menyampaikan bahwa Kara sudah tidak ada lagi? Sementara ia tahu bahwa keluarga itu masih memiliki harapan besar untuk bertemu lagi dengan Kara. Dan ia sama sekali tak ingin menjadi seorang pembawa berita buruk.
Sedang ia menimbang-nimbang untuk berusaha membebaskan diri sejenak dari Leander, tiba-tiba saja kesempatan itu seolah jatuh begitu saja dari langit.
“Let, aku jadi kerja sama dengan salah satu temanku yang ketemu di reuni Sabtu kemarin, mau buka cabang bengkel di Serpong,” ujar Leander ketika menjemput Letta Rabu siang itu. “Aku akan lebih sibuk daripada biasanya hingga beberapa minggu ke depan,” lanjutnya dengan wajah menyesal. “Mungkin tak lagi sempat menjemputmu.”
“Not a big problem!” Letta tersenyum teduh. “Aku bisa pulang naik ojek atau taksi. Lagipula, sudah beberapa minggu belakangan ini aku berpikir untuk ambil kreditan mobil bekas dari Mas Drian.”
“Let, aku bisa membelikanmu mobil baru,” tukas Leander tanpa bermaksud meremehkan.
“Aku tahu,” sahut Letta dengan wajah bercahaya. “Tapi aku merasa jauh lebih nyaman memakai kendaraan yang tidak terlalu menyolok mata.”
“Hm... I see...,” Leander mengangguk maklum.
* * *
Kardus-kardus berisi konsumsi kiriman dari Serena, adik Leander, sudah menumpuk rapi di gazebo ketika Letta dan Mala datang. Teman-teman Mala yang lain masih tertinggal di belakang karena ada ekskul yang belum selesai. Mala sendiri memutuskan untuk mendahului pulang agar bisa menyiapkan pendopo tempat latihan mereka. Letta yang sudah selesai membimbing English Club ikut ke sanggar lebih dulu bersama Mala.
Kana ada di gazebo, menunggui kardus-kardus konsumsi itu. Ia tengkurap di atas sofa sambil membaca buku. Ketika melihat Mala datang bersama Letta, ia buru-buru berbalik, bangun, dan menyalami Letta dengan sopan.
“Kamu sendirian, Na?” tanya Mala sambil menghempaskan tubuhnya di sebelah Kana.
“Sama Om. Lagi masuk sebentar, ambil charger laptop.”
Letta sibuk membuka beberapa kardus sebelum mengeluarkan empat kotak makanan dan empat kotak sari buah, dan meletakkannya di atas meja.
“Ini buat Kana, Om, sama Eyang, ya, Na?” senyum Letta.
Kana tersenyum lebar seraya mengucapkan terima kasih.
“Bu, saya ganti baju dulu, ya?” ucap Mala.
“Iya, silakan,” Letta mengangguk.
Mala kemudian melangkah meninggalkan Letta dan Kana. Letta dan Kana sempat mengobrol sejenak sebelum Kana pun pamitan dengan alasan ‘kebelet pipis’. Letta tersenyum lebar melihat kelincahan langkah Kana.
Ia kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Tapi sebelum benar-benar tenggelam dalam keasyikan berselancar bersama ponselnya, seseorang menyapanya dengan halus.
“Selamat siang...”
Letta menoleh dan sempat menahan napas sejenak. Sudah tidak ada kesempatan untuk menenangkan diri. Dan ketika mereka berjabat tangan, seolah ada aliran listrik yang menjalari sekujur tubuh Letta.
“Sendirian? Nggak sama masnya?” senyum Dika.
Letta menggeleng. “Lagi ke Serpong, ada urusan.”
“Oh...”
“Oh, ya, urusan dengan Arinka, bagaimana?” Letta memasukkan kebali ponselnya.
“Sejauh ini positif,” Dika mengangguk. Duduk di seberang Letta.
Dan obrolan mereka kemudian mengalir begitu saja. Tentang banyak hal. Yang selama ini tak terpikirkan. Dika ternyata tak sependiam yang disangka Letta. Laki-laki itu menanggapi dengan antusias ketika Letta menceritakan persahabatannya dengan Arinka. Juga bisa tertawa lepas ketika Letta menceritakan kelucuan murid-muridnya.
Sayangnya, pembicaraan itu harus berakhir ketika rombongan yang hendak berlatih drama mulai muncul. Bersamaan dengan itu, barulah Mala keluar dari rumah utama. Letta kemudian melambaikan tangan pada beberapa murid lelakinya. Meminta mereka agar mengangkut kardus-kardus makanan ke pendopo.
Ia terpaksa minta diri pada Dika. Murid-muridnya sudah lengkap berkumpul. Dika pun tampaknya juga sudah siap kembali ke kesibukannya.
Tapi pada detik-detik tertentu tatapan keduanya bertemu. Sekejap-sekejap. Namun bisa menimbulkan getar-getar yang nyaris tak terkendali.
* * *
Untuk kedua kalinya Dika mengantar Letta pulang seusai latihan drama bersama anak-anak. Lewat sedikit dari tengah hari yang dinaungi mendung tipis, Dika meluncurkan mobilnya.
Keduanya kembali bercakap. Dan Letta tidak menolak ajakan Dika untuk mencari makan siang. Kebetulan tadi tidak ada acara makan siang bersama. Handoyo dan Sarita sedang tidak ada di rumah.
Mereka sudah sampai di dekat rumah Letta. Letta menunjuk ke arah warteg yang hendak mereka lewati. Warteg langganannya. Dika langsung menyetujui. Apalagi Letta menegaskan bahwa warteg itu bersih dan masakannya enak. Soal harganya yang ramah di kantong, biarlah Dika yang mengetahuinya sendiri nanti.
Dika diam-diam menilai pilihan Letta itu dengan acungan jempol. Gadis itu benar. Rasa menu di warteg ini sungguh bersahabat dengan lidah. Seperti masakan rumahan biasa.
“Masakan di sini rasanya mirip dengan masakan Mama,” celetuk Letta sambil menikmati makanan di piringnya. “Kadang-kadang aku pesan makanan khusus, kalau kangen dengan Mama.”
Dika manggut-manggut.
“Bagaimana kamu bisa melewati saat-saat sulit itu?” tanya Dika kemudian. Terdengar sangat berhati-hati.
“Ada banyak teman-teman Papa dan Mama yang mendampingi.”
“Saudara?”
Letta menggeleng. “Yang pernah kudengar, dulunya Papa dan Mama kawin lari. Jadi...,” Letta mengedikkan bahu, “... sudah dicoret dari daftar keluarga.”
Dika mengerjapkan matanya. Oh, my...
“Aku tetap tinggal di rumahku sendiri. Tapi tiap hari ada teman-teman Papa dan Mama yang menjenguk dan mengawasi aku. Sampai aku lulus SMP, dan Mas Dri membawaku ke sini. Rumah Surabaya dijual. Waktu aku naik kelas 2 SMA, Mas Dri menikah. Istrinya sayang padaku. Aku diurusnya dengan baik. Sampai aku lulus kuliah, dapat kerjaan, dan memutuskan untuk mandiri. Mas Dri kemudian membelikan aku rumah.”
“Sering kali kesedihan yang luar biasa bisa menempa kita untuk jadi lebih kuat,” gumam Dika.
“Ya,” Letta mengangguk. “Pada awalnya aku berharap Papa dan Mama masih ada. Tapi setelah beberapa bulan berlalu, harapan itu menipis. Aku harus menerima kenyataan bahwa... Mas Dri dan aku pada akhirnya berstatus yatim piatu. Mas Dri sudah dewasa saat itu. Dia jauh lebih kuat daripada aku. Karenanya teman-teman Papa dan Mama mengawalku hingga aku bisa berdiri tegak kembali. Dan aku sungguh bersyukur untuk itu.”
Dika menghela napas panjang. Menjauhkan sedikit piringnya yang sudah kosong. Diraihnya gelas es tehnya.
“Kadang-kadang aku juga sudah kehilangan harapan,” ucap Dika setelah menyedot sedikit minumannya. “Sudah hampir 25 tahun, Let. Tanpa sedikit pun tahu kabar Kara. Lagi pula 20-an tahun lalu teknologi belum secanggih sekarang.”
Lalu bagaimana seandainya Kara kalian benar Kara yang itu?
Letta terhenyak.
Kara yang sudah tidak ada lagi di dunia ini?
Diam-diam Letta menghabiskan minumannya. Keduanya kemudian berdiam diri sejenak sebelum mengakhiri acara makan siang bersama itu.
* * *
"Nggak diangkat," Adrian menggeleng sambil menatap Leander.
Leander menghela napas panjang.
Leander menghela napas panjang.
Tadi ia sudah berusaha keras menyelesaikan pekerjaan di Serpong secepat ia bisa, sekaligus melewatkan waktu makan siangnya. Agar masih punya waktu untuk menjemput Letta di sanggar Pancarwengi, kemudian mengajak Letta makan siang bersama. Tapi usaha itu sia-sia. Pintu gerbang sanggar sudah tertutup. Tanda tak ada kegiatan lagi di dalamnya.
Ia kemudian mencoba menghubungi ponsel Letta. Ada nada sambung, tapi tak ada tanggapan sedikit pun dari Letta. Berkali-kali terulang hal yang sama. Begitu juga pesannya melalui Whatsapp. Terkirim. Ada tanda centang dua. Hanya saja entah dibaca atau tidak oleh Letta.
Tanpa menunggu lama, diluncurkannya mobil ke rumah Letta. Seharusnya Letta sudah tiba. Tapi rumah itu sepi. Pintunya masih terkunci. Hampir setengah jam ia menunggu. Sia-sia.
Akhirnya ia memutuskan untuk mencoba mencari Letta ke rumah Adrian. Nihil. Letta tak ada di sana. Adrian yang menelepon Letta pun mendapati hasil yang sama. Gadis itu tetap tak menjawab panggilan.
Akhirnya ia memutuskan untuk mencoba mencari Letta ke rumah Adrian. Nihil. Letta tak ada di sana. Adrian yang menelepon Letta pun mendapati hasil yang sama. Gadis itu tetap tak menjawab panggilan.
“Ya, sudah, Mas, coba aku ke rumahnya lagi,” ujar Leander sambil berpamitan.
* * *
Sejujurnya Letta ingin sedikit membahas soal Kara pada Dika. Senyampang posisinya sedang menguntungkan seperti ini. Hanya berdua saja dengan Dika. Tapi ia masih ragu. Ia belum cukup memiliki info soal Kara. Jadi ia memutuskan untuk menundanya sementara waktu.
“Mas Dika mau mampir dulu?” tawar Letta begitu sampai di depan rumah.
Ada sebuah dorongan besar yang membuat Dika seketika mengangguk. Begitu saja. Tanpa ia bisa mengendalikan hasrat itu. Tanpa paham bagaimana prosesnya, ia tiba-tiba saja sudah duduk di atas sofa tunggal di teras rumah Letta. Tapi ia masih cukup sadar untuk menggeleng ketika Letta menawarinya masuk ke dalam rumah.
“Di sini saja,” senyum Dika. “Enak, adem. Bisa ngobrol sambil menatap hujan.”
Beberapa menit kemudian sudah terhidang secangkir teh hangat dan kripik singkong di atas meja pendek teras. Hujan, cemilan, minuman hangat, sofa yang nyaman. Semuanya adalah pendukung yang pas untuk obrolan yang menyenangkan.
Dan di tengah semua itu, mendadak Leander muncul dari tengah hujan yang menderas. Nyaris basah kuyup karena tidak memakai payung.
“Astaga...,” Letta buru-buru berdiri.
Leander mencoba untuk tersenyum.
“Kenapa nggak pakai payung, sih, Mas?” tegur Letta.
“Kan, payungku tempo hari kamu bawa,” jawab Leander dengan wajah polos.
Letta terhenyak sejenak. Menyadari kesalahannya. Leander mengangkat kedua tangan.
“Aku ke belakang dulu,” putus Leander.
“Sebentar, ya, Mas?” Letta menoleh sekilas ke arah Dika sebelum membuntuti langkah lebar Leander.
Ia mampir ke kamarnya sebentar untuk mengambil sehelai handuk bersih. Dan Leander kemudian dijumpainya sedang berdiri di depan pintu kamar mandi sambil melepaskan jaket jeans-nya. Kemejanya setengah basah. Ia melepasnya juga. Yang dipakainya kini hanya celana panjang setengah basah dan kaos oblong hitam. Dengan handuk yang disodorkan Letta, ia mengeringkan wajah dan rambutnya.
“Mau kopi panas?” tawar Letta.
Leander mengangguk
“Langsung kubawa ke teras, ya?”
Leander kembali mengangguk.
Sambil mengaduk secangkir kopi, Letta menatap Leander yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Membelakanginya. Kali ini Leander melepas sepatu dan kaus kakinya, kemudian masuk ke kamar mandi.
Letta membawa kopi untuk Leander ke teras. Dika menatapnya.
“Dia nggak marah, kan?”
Letta mengerutkan kening. “Marah kenapa?”
“Ada aku di sini.”
“Oh... Enggak,” Letta menggeleng.
... Tapi aku nggak yakin juga, sih...
* * *
Leander tercenung sejenak begitu menutup pintu kamar mandi. Ia bukan satu atau dua kali saja berlari di bawah hujan deras. Tak pernah merasa hatinya terganggu karenanya. Tapi kali ini?
Leander mendesah. Mungkin karena ia kurang cepat menemukan Letta. Mungkin karena ia takut Letta kenapa-napa. Mungkin juga karena sudah ada laki-laki itu di teras, sedang asyik mengobrol dengan Letta, ketika ia mengkhawatirkan gadis itu. Leander berusaha menyurutkan emosinya dengan menarik dan menghembuskan napas panjang berkali-kali. Ketika semua sudah dirasanya cukup terkendali, ia pun keluar dari kamar mandi.
Dengan wajah datar, ia kemudian menyalami Dika. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Dika sudah berbaik hati mengantarkan Letta pulang. Hanya beberapa menit setelah Leander ikut duduk di teras, Dika pun berpamitan.
Hujan sudah mereda. Hanya menyisakan rintik yang membawa hawa dingin ketika angin berhembus.
“Langsung dari Serpong?” senyum Letta.
“Aku jemput kamu ke sanggar, tapi sudah tutupan,” jawab Leander sambil menyesap kopinya. Terdengar datar.
Ulu hati Letta tiba-tiba saja terasa seperti ditohok keras.
“Terus, aku ke sini,” lanjut Leander, sambil tetap menyesap kopinya. “Kamu nggak ada. Aku tunggu lama. Kamu nggak muncul-muncul. Lantas aku ke tempat Mas Dri. Dia malah ikut bingung karena kamu juga nggak ada di sana. Jadi aku balik ke sini. Syukurlah, kamu sudah pulang dengan selamat. Nggak kehujanan.”
“Hm... Ya,” gumam Letta dengan rasa bersalah, “tadi diantar pulang sama Mas Dika. Kayak Sabtu lalu.”
Leander hanya mengangguk samar sambil tetap sibuk dengan kopinya. Matanya menerawang jauh menembus jajaran silver hair di dalam pot.
“Kenapa lama banget?” Leander setengah mengguman.
“Oh... Tadi mampir makan siang dulu.”
Leander tercenung.
Aku saja belum sempat makan dari tadi pagi, Let...
“Kenapa nggak menelepon?” usik Letta tiba-tiba.
“Menelepon siapa?” tiba-tiba saja tatapan Leander beralih pada Letta. Tajam.
“Meneleponku.”
“Coba saja cek ponselmu,” jawab Leander, masih dengan nada datar.
Letta tak berkutik. Ia ingat betul belum mengubah setelan ponselnya dari silent mode. Ingin rasanya ia menepuk keningnya keras-keras.
“Maafkan aku, Mas,” ucapnya lirih.
“Salahku, Let,” Leander sedikit membungkuk. Meletakkan cangkir yang sudah kosong di atas meja. “Kan, aku sudah memberitahu kamu, aku nggak bisa menjemput.”
Letta terdiam. Tak tahu harus mengatakan apa-apa lagi.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Good post mbak
BalasHapusSalam manstaf :)
BalasHapusPerasaan ku sama seperti letta ketika ku beli berondong mau yg asin dapet yg manis 😂😂😂
BalasHapusOh... :(
BalasHapusSaknoe Leander mb Lis.
BalasHapusGaisa ngebom marahe yo?