* * *
Delapan
Letta menatap kosong ke arah televisi. Gerakan tangannya menyuap dan mengunyah sesendok demi sesendok nasi goreng terlihat otomatis seperti robot.
Hari Minggu itu adalah miliknya. Sendiri. Leander tak mengajaknya ke mana pun untuk menghabiskan hari Minggu bersama. Adrian sekeluarga punya acara sendiri. Mengunjungi orang tua Martia di Bandung sejak kemarin.
Ia baru tersadar ketika sendok dan piringnya beradu dan menimbulkan suara cukup nyaring. Nasi gorengnya sudah habis. Rasanya? Ia sama sekali tidak tahu. Setelah menghela napas panjang, diteguknya segelas air putih dingin. Menutup acara sarapannya.
Sesaat sebelum ia beranjak dari duduknya, bel pintu berbunyi. Dengan mengerutkan kening, ia berjalan ke arah depan.
Mas Leander-kah?
Ia agak bergegas.
Mungkin ingin membuat kejutan untukku.
Dijangkaunya pegangan pintu, tepat ketika bel berbunyi sekali lagi. Dan ia ternganga ketika melihat siapa yang datang.
* * *
“Jadi aku harus bagaimana?” Leander menatap Serena dan Ludy bergantian. Terlihat putus asa.
Mereka bertiga tengah duduk di sekeliling meja makan di rumah Serena dan Ludy. Menikmati sarapan bersama. Serena dan Ludy bertatapan sejenak, sebelum keduanya kembali mengalihkan perhatian pada Leander.
“Mm... Kemarin itu, sih, pas Mas Lean sakit, aku sempat ngobrol sebentar sama Mbak Letta,” ucap Serena dengan suara jernih. “Aku cerita soal pertanyaan Mas Lean padaku. Yang jelas, dia bilang kalau nggak berselingkuh. Ya, dia merasa nyaman ngobrol dengan laki-laki itu. Tapi... Nggak lebih dari itu.”
“Semua hal, kan, berawal dari hal kecil,” tukas Leander dalam gumamannya.
Serena dan Ludy kembali bertatapan. Sekilas, Ludy menangkap kode Serena agar ia urun suara. Ia pun mengangguk samar.
“Kalau aku, sih, nggak bisa menyalahkan Mas Leander,” ujar Ludy kemudian. “Tapi aku juga nggak menyalahkan Mbak Letta. Masalahnya... aku yakin dia punya alasan tersendiri untuk melakukan itu.”
“Tidak bisa mengabaikan kata hati,” gumam Leander lagi.
“Ya,” Ludy mengangguk.
“Mbak Letta itu baik hati, Mas,” senyum Serena. “Bahkan mungkin terlalu baik hati. It’s a gift, you know? Menurutku Mas Lean harus bersyukur atas itu...”
“Sekaligus menjaganya baik-baik,” sambung Ludy.
“Yup!” Serena mengacungkan jempolnya. “Kalau keinginannya kali ini untuk membantu orang lain selesai, kupikir masalah kalian akan selesai juga.”
Leander menghela napas panjang.
Ia jujur mau mengakui bahwa kecemburuan itu bersarang dalam hatinya. Bagaimanapun ada seseorang yang dianggapnya rival berada dalam keluarga Handoyo. Kenyamanan Letta berinteraksi dengan laki-laki itu membuatnya merasa tak rela.
Kalau aku justru menjauh dari Letta, apa yang akan terjadi?
Diam-diam Leander bergidik dalam hati.
“Kasih Mbak Letta ruang, Mas,” cetus Ludy. “Tapi jangan dilepaskan. Yang penting, Mas Lean mendukungnya.”
Leander mengangguk. Kini, ia paham sepenuhnya.
Beberapa saat kemudian, setelah makanan di piringnya habis, Leander segera berdiri dan berpamitan. Tujuan berikutnya adalah rumah Letta. Ia merasa, ia sudah siap untuk mendukung niat baik Letta.
* * *
“Mbak Letta, maaf, saya mengganggu.”
Letta tersentak. Buru-buru dibukanya pintu lebih lebar lagi.
“Ibu? Mari, masuk, Bu!”
Letta segera meraih tangan Sarita, kemudian menggandengnya masuk ke ruang tamu mungilnya.
“Ibu sendirian?” ujarnya begitu melihat Sarita sudah duduk dengan cukup nyaman di atas sofa tunggal.
“Ya,” Sarita mengangguk.
“Naik apa, Bu?” sekilas Letta melihat ke arah depan rumah. Tidak ada apa pun di depan pagar.
“Euh... Naik taksi,” Sarita sedikit meringis. “Mobilnya dipakai Bapak.”
“Oh...,” Letta manggut-manggut.
Anak laki-lakinya, kok, nggak mengantar?
Sarita menatap Letta. Wajahnya yang dihiasi senyum masih tampak ragu-ragu.
“Saya pasti mengganggu Mbak Letta. Maaf...,” ucapnya lirih.
“Oh, tidak, Bu,” Letta menggeleng sambil mengembangkan senyumnya. “Sama sekali tidak. Sebentar.”
“Ndak usah repot-repot, Mbak,” ujar Sarita begitu Letta beranjak.
Letta hanya tersenyum sambil berlalu. Beberapa menit kemudian, ia sudah kembali lagi dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh dan satu stoples keripik singkong.
“Maaf, Bu, saya hanya punya ini,” gumam Letta sambil menghidangkan minuman dan makanan ringan itu.
“Aduh... Saya jadi merepotkan,” wajah Sarita tampak menyesal.
“Enggak, kok, Bu,” Letta duduk di sofa lain. Cukup dekat dengan Sarita. “Silakan.”
Sarita mengambil cangkir teh dan tatakannya dari atas meja. Dengan jelas Letta melihat bahwa tangan Sarita sedikit bergetar ketika melakukan gerakan itu. Sarita menyesap minumannya beberapa kali. Seolah berusaha menenangkan hatinya.
Letta sudah bisa mengira apa yang membawa Sarita muncul di rumahnya ketika belum genap pukul delapan pagi seperti ini. Agaknya Handoyo sudah mengatakan pada Sarita tentang pembicaraan mereka kemarin.
“Saya...,” Sarita meletakkan cangkirnya kembali di atas meja, “... Bapak sudah bercerita pada saya... tentang Kara... yang ada hubungannya dengan Mbak Letta,” Sarita mendegut ludah. “Mbak, bisakah menemani saya mencari tahu tentangnya ke Sinar Kasih?”
“Sekarang?” tanpa sadar Letta mengangkat alisnya.
“Kalau Mbak ndak repot.”
Ada sinar memohon yang sangat berlompatan keluar dari tatapan Sarita. Membuat Letta merasa tak kuasa untuk menolak. Tapi...
“Bu, apakah Bapak juga bercerita bahwa...,” Letta menggantung kalimatnya. Tak tega meneruskan.
“Ya,” angguk Sarita dengan wajah sendu. “Seandainya memang benar seperti itu, bahwa dia benar-benar Kara kami, setidaknya ada kepastian. Walaupun saya, kami, masih berharap bahwa Kara masih ada.”
Letta tercenung sejenak. Menatap lantai.
Lalu masalahnya akan selesai, kan?
Letta mengerjapkan mata beberapa kali.
Kalaupun ada hal lain, setidaknya ada satu kepastian. Satu tahap terlewati. Dan... tugasku selesai.
Letta mengangkat wajahnya. Dengan senyum, ia menganggukkan kepala. Sarita segera menyambutnya dengan ucapan terima kasih bertubi-tubi.
“Saya ganti baju sebentar, ya, Bu?”
Sarita buru-buru mengangguk.
* * *
Leander menghela napas lega ketika melihat bahwa sepertinya Letta tidak ke mana-mana. Mobilnya masih terparkir di carport. Pintu pagar terbuka. Begitu juga pintu depan rumahnya.
Ah, mungkin dia mau pergi. Untung nggak berselisih jalan.
Tapi ia tertegun ketika melongokkan kepalanya melalui pintu depan yang terbuka lebar. Dilihatnya Sarita tengah menyesap minuman dalam sebuah cangkir dengan gerakan begitu anggun. Ketika Leander hendak menarik kepalanya, perempuan itu keburu menyadari kehadirannya.
“Mas Leander,” Sarita menyapa sambil menganggukkan kepalanya sedikit.
“Bu,” Leander memutuskan untuk masuk. Dihampiri dan disalaminya perempuan itu.
“Mas Leander dan Mbak Letta mau pergi, ya?” Sarita menatap Leander. Was-was.
“Oh, tidak, Bu,” Leander buru-buru menggeleng. “Kami memang nggak ada rencana mau pergi. Saya cuma mampir saja.”
Mampir?
Leander meringis dalam hati.
“Ibu sendirian?”
“Ya,” angguk Sarita.
“Tapi Letta ada, kan?” Leander menegaskan.
“Ada...”
Leander kemudian mohon diri untuk menemui Letta di dalam. Sarita mengawasi kepergian laki-laki itu.
* * *
Letta menatap dirinya di cermin. Sudah cukup rapi. Pantas untuk bersanding dan pergi bersama dengan perempuan seanggun Sarita. Sejenak ia tercenung.
Ada sebuah perasaan rindu tiba-tiba saja muncul dalam hatinya. Entah kenapa, melihat Sarita selalu membuatnya teringat ibunya. Pun ketika berbincang dengan Handoyo. Seolah ayahnya sendiri hadir di depannya.
Bahkan tempat untuk berziarah pun aku tak punya.
Letta kembali menatap dirinya di cermin. Mau tak mau ada rasa itu. Mengasihani diri sendiri. Walaupun setiap tahun pada tanggal yang sama dengan keberangkatan orang tua mereka ke Singapura, Adrian selalu mengajaknya ke Ancol. Menabur bunga di laut.
Sebutir airmata meluncur di pipi Letta. Membuatnya tersentak dan buru-buru menghapus airmata itu. Dan ia tersentak lagi ketika mendengar ketukan di pintu kamarnya. Diiringi suara panggilan dari orang yang sangat dikenalnya.
* * *
Handoyo menatap panti asuhan Sinar Kasih dari seberang jalan. Setelah hampir 90 menit lamanya ia mengeluarkan mobilnya dari dalam garasi dan menyetir tanpa arah, akhirnya ia menetapkan pilihan. Mengarahkan mobilnya ke Cipayung. Hingga sampai di depan panti asuhan Sinar Kasih. Berhenti tepat di seberangnya.
Semalam, ia nyaris tak bisa memejamkan mata karena semua hal yang diungkapkan Letta tentang Kara siang harinya. Dan Sarita tampaknya bisa melihat kegelisahan itu. Ia tak bisa berbuat lain. Dengan terbata-bata, diulanginya cerita Letta tentang Kara.
Sarita menggeleng kuat-kuat, “Perasaanku bilang, dia masih hidup!”
Handoyo segera meraih kepala Sarita, kemudian membenamkannya di dada. Sedikit demi sedikit, tangis Sarita pecah.
“Seandainya memang benar dia Kara kita,” bisik Handoyo, “setidaknya kita tahu di mana harus menziarahi makamnya. Dan kita tidak lagi harus menguras energi untuk menyemai harapan yang tidak berada di tempat yang tepat. Lagipula kita masih punya Wulan dan Dika. Juga Rahardian, Mala, dan Kana. Dan seandainya dia bukan Kara kita, setidaknya harapan itu masih tetap ada. Bahwa dia ada di suatu tempat di luar sana. Dalam kondisi baik-baik saja.”
Sarita memeluk Handoyo erat-erat. Yang dibalas sama oleh Handoyo. Ditambah dengan kecupan-kecupan lembut di puncak kepala Sarita.
Handoyo mengerjapkan mata sambil menghela napas panjang sebelum memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Sejenak ia sempat termangu di tepi jalan sebelum memantapkan hati untuk menyeberang.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
good post mbak
BalasHapusHiks hiks sedih
BalasHapusGood morning letta☺️
Met pageee... mbak, kangen nih. Tambahin ampe setu nggih????? 🙇
BalasHapusSalam manstaf :)
BalasHapusBaru mo klimaks, yaaa... bersambung deh.
BalasHapusTetep setia tunggu episod lanjutan .....
BalasHapus