“Mamaaaa!”
Gelas di tangan Savitri hampir saja meluncur jatuh. Teriakan kencang
Briel (baca : bri-yel) berasal dari depan pintu pagar. Tergopoh-gopoh
Savitri berlari ke depan.
“Maaf Mama, tapi Nando mimisan di mobil. Dari tadi nggak berhenti juga,”
Briel tampak panik. “Nando biar turun di sini ya Ma? Kasihan dia
sendirian di rumah kalau pulang…”
“Ya Tuhan…,” ucap Savitri seketika.
Briel memapah Nando turun dari mobil, dibantu Mas Nar, sopir jemputan.
Savitri segera merangkul Nando dan membawanya ke kamar Briel.
“Tante, maaf Nando bikin repot Tante,” ucap Nando lirih.
“Nggak apa-apa, Ndo,” jawab Savitri sambil mengganti kemeja putih Nando yang berbercak darah di sana-sini.
“Udah kamu tidur aja dulu di sini,” kata Briel. “Tenang aja, Mama akan mengurusmu.”
* * *
Savitri meraih ponselnya. Nando sudah tertidur di kamar Briel. Sudah makan. Mimisannya sudah berhenti.
Dicobanya untuk menelepon Hestia, ibu Nando. Tapi sampai usahanya yang
ketiga, nada yang dituju tetap sibuk. Savitri menyerah, kemudian menekan
tombol 1.
“Halo… Ya Ma?” terdengar suara bass lembut dari seberang sana.
“Papa, tolong bilang Herman, suruh dia pulang kerja jemput Nando di
sini,” kata Savitri. “Mama sudah hubungi Hestia, tapi nadanya sibuk
terus.”
“Bukannya biasanya Nando pulang sendiri?”
“Tadi dia mimisan di mobil jemputan, Pa. Sama Briel diajak turun di sini.”
Dan secara ringkas Savitri menceritakan kondisi Nando. Herman, ayah Nando, adalah teman kuliah sekaligus teman sekantor Anggoro.
“Oh! Ya nanti Papa bilang ke Herman,” ucap Anggoro kemudian.
* * *
Nando baru saja selesai dimakamkan. Hanya lewat sedikit dari waktu 6
bulan sejak remaja ringkih itu sering mimisan. Leukemia dari jenis yang
paling invasif.
Ketika dia pergi, dia hanya ditemani Herman, Anggoro, Savitri, Briel,
dan Ella. Hestia, ibunya, sedang dalam perjalanan pulang dari dinasnya
ke Hongkong selama 2 minggu. Perjalanan dinas yang ‘tak bisa’ ditunda
ataupun diwakilkan.
Briel tak malu tersedu dalam pelukan Savitri. Ella terisak hebat dalam
pelukan Anggoro. Baginya Nando sudah seperti Briel, adiknya sendiri.
Herman berdiri diam. Hanya diam. Pun ketika melihat Hestia menangis
histeris sambil duduk rebah di atas gundukan tanah merah makam Nando.
Ada yang terasa sangat perih di hati Savitri. Kamu terlalu muda untuk
pergi Nak, batinnya pilu. Bahkan usiamu belum genap 14 tahun. Seandainya
aku bisa merawatmu lebih baik, seandainya kamu boleh jadi anakku…
Lengan kekar Anggoro merengkuh Savitri. Janji Savitri pada Nando untuk
tidak menangis hilang menguap entah ke mana. Savitri menangis hebat.
Bersama Briel dan Ella.
* * *
Hestia tidak lagi bisa mencegah. Herman sudah memutuskan untuk pergi
dari rumah megah itu. Rumah yang dibangunnya dengan mengorbankan hampir
seluruh waktunya untuk Nando dan Herman.
Nando sudah tak ada. Simpul itu terurai begitu saja. Tanpa sisa. Dan Hestia hanya bisa terpuruk sendirian di sudut.
Seandainya waktu bisa berputar kembali…..
* * * * *
Sedihnya mbak...kadang kita mengejar hal2 yang besar dan melupakan simpul yang kecil :(
BalasHapusIya Mbak...
HapusMakasih ya dah mampir ke sini :)
Iya Mbak... Makasih ya sudah mampir ke sini :)
Hapus