Kamis, 27 Juni 2013

[Novelet] Lembar-Lembar Rindu



BAB 1
GERARDA
 

Pulang…

Kata itu sungguh absurd bagiku. Apa artinya pulang? Bagiku pulang adalah kembali ke rumah mungil peninggalan Papa. Membaui lagi aroma manis kenangan yang tertinggal di sana. Merasakan lagi hawa hangat yang masih tersisa.

Tapi semuanya tak lagi ada bekasnya. Sejak 8 tahun yang lalu. Hingga detik ini. Setidaknya ada rentang waktu 5 tahun sejak aku terbelit sejuta kerinduan untuk sekedar melihat wujudnya dari luar. Hanya sebatas bersit kerinduan, yang berpikir untuk menerjemahkannya pun aku tak berani.


Semuanya tak lagi sama. Aku hanya bisa tergugu ketika menata kembali kehidupanku di sini. Di rumah kecil ini. Rumahku sendiri sejak setahun yang lalu. Sekecil rumah peninggalan Papa. Ketika kubuka kardus-kardus yang dikirimkan dari ‘rumah’ untuk kupeluk lagi isi dan kenangan yang terkandung di dalamnya, untuk kusimpan di sini, di dalam rumah ini.

Wangi lemon mengelus hidungku. Kuhirup perlahan secangkir teh lemon. Ada yang lepas dari dalam hatiku. Segerombol kerinduan yang tak pernah bisa hilang walau aku terus mengingkarinya. Kerinduan yang sangat kental, sekaligus menyakitkan. Teh lemon ini kesukaannya. Kesukaan Tantra.

Tantra…

Kenapa mengingat sepotong nama itu saja sudah membuatku kesakitan seperti ini. Aku menggigil. Hatiku menggigil. Terlebih ketika mengingat sepotong ‘rumah’ dengan dia berada di dalamnya. Kenapa bukan aku?

Aku menggeleng. Karena aku lari menghindar. Hal paling bodoh yang bisa kulakukan saat itu. Cara paling gampang bagiku untuk menghadapi kesakitan saat itu hanyalah pergi sejauh-jauhnya. Melarikan diri

Ting tong!       

Suara bel pintu menyentakkanku dari lamunan. Agak tertatih aku berjalan ke ruang depan. Bekas jahitan operasi radang usus buntuku 10 hari yang lalu masih menyisakan nyeri. Bel pintu berbunyi lagi.

“Iya, sebentar!” sahutku.

Dan aku hanya bisa ternganga ketika pintu kubuka. Dia ada di sana. Tantra. Menatapku dengan sejuta kerinduan yang disembunyikan dengan rapi di balik kabut matanya. Tapi masih ada yang lolos. Banyak.

“Ge…,” hanya itu ucapnya. “Apa kabar?”

Dadaku berdegup kencang. Barangkali dia bisa mendengarnya.

“Gea, apa kabar?” ulangnya.

Aku tersentak. “Ya, baik.”

“Boleh aku masuk?”

Mau tak mau kulebarkan bukaan pintuku.

“Kenapa tidak bilang sejak awal waktu kamu sakit?” tanyanya halus.

“Aku sudah sembuh,” ucapku kaku.

“Berkemaslah Ge, kita pulang.”

Aku termangu. Aku memang merencanakan untuk ‘pulang’. Tapi tidak hari ini. Tidak dalam kondisiku sekarang. Tidak bersamanya. Setidaknya masih ada waktu seminggu lagi sebelum aku benar-benar bisa menata hatiku. Sebelum aku siap untuk bergabung dengan mereka, Mama, ‘Papa’, dan Tantra, untuk merayakan ulang tahun ke-5 pernikahan Mama dan ‘Papa’. Mamaku dan papa Tantra.

Merayakan tercabiknya hatiku dan Tantra. Merayakan cinta kami yang harus kandas hanya beberapa bulan setelah kami mulai. Merayakan luka yang ternyata masih begitu dalam menghujam. Setidaknya dalam hatiku.

Tapi sepertinya aku tak lagi bisa menghindar. Dia sudah menjemputku. Kutahu Mama yang mengirimnya. Untuk membawaku pulang secara paksa. Pulang? Serasa ada darah yang mengucur di sudut hatiku.

“Mau kubantu?” suara Tantra kembali menyentakkan aku. “Atau kamu mau packing sendiri?”

Aku menggeleng. “Kamu duduk saja dulu. Mau minum apa?”

“Tak usah repot, Ge. Nanti aku bisa ambil sendiri. Benar kamu sudah tak apa-apa?”

Aku hanya bisa mengangguk. Pelan aku kembali ke kamar. Antara sadar dan tidak aku mulai mengemasi baju dan segala yang kuperlukan. Mendadak ada sesuatu yang familar menyeruak masuk dari sela pintu kamarku yang setengah terbuka. Wangi lemon. Teh lemon. Dan denting sendok yang beradu dengan cangkir.

Entah kenapa kali ini aku tak bisa lagi menahan airmataku.


* * *


BAB 2  
TANTRA
 

Aku harus ke Semarang. Hari ini. Menjemput Gea. Membawanya pulang ke Surabaya. Karena Jogja-Semarang tidakkah terlalu jauh. Betapa perintah Mama itu begitu menoreh hatiku. Gea. Geaku...

Seperti apa rasanya terpaksa merepih angan yang baru saja membiaskan binarnya? Hanya Gea dan aku yang tahu. Tak pernah mudah memenangkan hati Gea. Dan ketika aku bisa memperolehnya, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tak akan pernah menyakiti hatinya. Tapi janjiku patah. Setidaknya aku ikut mematahkannya ketika aku menyetujui pernikahan papaku dan mama Gea. Walau aku tak pernah tahu sebelumnya siapa anak ‘Mama’.

Dan dia adalah Gea. Geaku.

Rasanya seumur hidup aku tak akan bisa mengenyahkan tatapan penuh luka Gea ketika kami bertemu. Berempat, tidak berdua. Dan setelah itu airmatanya benar-benar sudah kering. Tak pernah aku melihatnya menangis. Hanya ada tirai yang membungkus telaga matanya. Kelam.

Gea. Kekasihku dalam hanya dalam hitungan bulan. Kini harus jadi adikku.

Detik-detik sudah beterbangan selama 5 tahun lamanya. Tapi kenapa rasa sakit dan kehilangan itu masih tetap sama? Tak pernah berkurang sedikit pun. Bahkan walau hanya secuil kecil.

Pun ketika aku sudah berdiri di sini. Di depan pintu rumahnya. Ketika sudah terlalu terlambat untuk menata hati. Untuk menekan rasa ketika akan bertemu dengannya. Hatiku menggeleng hebat. Tapi otakku sama sekali tidak sinkron dengan hatiku. Hatiku tetap menggeleng, tapi tanganku sudah memencet bel pintu. Bel pintu rumahnya. Rumah Gea. Geaku.

Entah bagaimana aku bisa sampai ke tempat ini dengan selamat. Entah jiwaku yang mana yang sudah berhasil mengemudikan mobilku hingga aku sekarang bisa berdiri di depan pintu rumah Gea. Rumah yang terakhir kukunjungi dengan paksa setahun lalu karena Mama memintaku untuk mengirim barang-barang Gea yang masih tertinggal di rumah Jogja.

Sepi. Kupencet bel sekali lagi.

“Iya, sebentar!” terdengar sahutan pelan dari dalam rumah.

Masih sakitkah dia? Mama sempat mengabariku bahwa Gea harus opname dan menjalani operasi dua mingguan yang lalu, saat aku ada tugas ke Bandung. Menengoknya? Tak pernah kulakukan. Walau setiap detik hatiku berkehendak untuk menyeret langkahku ke sini.

Dan jantungku berdegup makin kencang ketika pintu terbuka perlahan. Dia menatapku dengan mata indahnya yang besar. Ternganga. Aku ingin seutuhnya menyembunyikan kerinduanku. Tapi gagal. Karena ketika dia menatapku, yang ada hanyalah kerinduan kami langsung berlompatan keluar dan saling berkejaran. Begitu saja. Tanpa kami bisa mencegahnya.

Sungguh, ingin kubawa dia dalam pelukanku. Tapi yang bisa kulakukan hanya berucap lirih, “Ge, apa kabar?”

Dia tak menjawab. Masih menatapku dengan kaget.

“Gea, apa kabar?” ulangku.

Dia tersentak. “Ya, baik,” jawabnya, hampir menyerupai bisikan.

“Boleh aku masuk?”

Dia melebarkan daun pintu yang masih dipegangnya. Wajahnya masih agak pucat. Membuat hatiku serasa hilang separuh.

“Kenapa tidak bilang sejak awal waktu kamu sakit?” tanyaku.

“Aku sudah sembuh,” ucapnya kaku.

“Berkemaslah Ge, kita pulang.”

Dia termangu. Kurasa aku tahu apa yang dipikirkannya.

Pulang ke Surabaya sama sekali bukan pulang. Karena bagi Gea ‘pulang’ adalah kembali ke rumah yang kutempati di Jogja. Pulang adalah menengok rumah itu barang sekejap. Tapi tak pernah sedetik pun dilakukan Gea. Karena aku ada di dalamnya. Di dalam rumah itu. Rumah peninggalan papanya.

Aku masih ingat kata demi kata yang diucapkan perempuan ayu itu padaku. “Tolong rawat rumah kami, Tantra. Kau tak perlu kost lagi. Gea tidak bisa tiap hari jalan dari sini ke Semarang. Dia harus kost di sana. Tolong ya, Nak?”

Dan aku pun hanya bisa mengangguk dengan bodoh. Pun ketika Gea meminta dengan getar suara yang sungguh menyiksa seluruh rasaku. “Jangan pernah hubungi aku. Aku butuh waktu untuk sendiri. Kita sama-sama sakit. Jangan pernah kita menambah rasa sakit itu dengan sering bertemu.”

Dan sekarang aku harus menemuninya. Masihkah rasa sakit itu akan bertambah baginya? Ataukah justru berkurang? Atau malah jadi hambar? Aku benar-benar tidak tahu.

Aku hanya bisa menatapnya dan bertanya bodoh. “Mau kubantu? Atau kamu mau packing sendiri?”

Dia kembali tersentak. Tapi kemudian menggeleng. “Kamu duduk saja dulu. Mau minum apa?”

“Tak usah repot, Ge. Nanti aku bisa ambil sendiri. Benar kamu sudah tak apa-apa?”

Dia hanya mengangguk. Dan melihat langkahnya yang masih agak tertatih, gunungan rasa bersalahku kembali membatu. Andai aku menolak permintaan Mama, mungkin dia masih punya waktu untuk memulihkan kondisinya. Dia tak pernah siap untuk ‘pulang’ ke Surabaya bersamaku. Bagiku ke Surabaya adalah benar-benar pulang. Tapi tidak bagi Gea. Apalagi dengan aku bersamanya.

Mendadak hidungku merasakan sesuatu yang akrab. Wangi itu. Wangi lemon. Bercampur dengan teh. Aku mencoba untuk beranjak ke belakang. Dia kelihatan sibuk di dalam kamar ketika aku melewati pintu kamarnya yang terbuka separuh.

Di atas meja makan yang menyatu dengan dapur mungilnya yang apik, aku mendapati setengah cangkir teh lemon. Aku tak pernah tahu sejak kapan dia menyukai teh lemon. Sesungguhnya bukan dia yang suka. Tapi aku.

Masih ada sisa potongan lemon di atas meja dapur. Sepertinya secangkir teh lemon bisa mengurangi keresahanku barang sedikit. Pelan kuaduk tehku. Menyisakan denting sendok yang beradu pelan dengan dinding cangkir. Tapi di antara hamburan lamunanku yang tak pernah mengumpul pada satu fokus, telingaku menangkap sesuatu yang menyayat hati. Sepotong tangis. Yang menyeruak keluar dari balik pintu kamarnya yang masih juga terbuka separuh. Dan aku berlari begitu saja.

“Ge...”

Dia menatapku dalam derai airmatanya. Ketika aku membuka lenganku lebar-lebar, dia langsung jatuh ke dalamnya. Membasahi dadaku dengan airmatanya yang membanjir. Akhirnya... Masih ada airmata. Masih ada luka yang belum tersembuhkan. Entah dengan cara apa harus kuhapus luka dan airmata itu. Jujur aku tak sanggup.

Karena hatiku sendiri kembali tersayat.

* * *


BAB 3  
HANDAYANI


Menatap wajah Mas Wanto adalah menatap keteduhan tanpa batas yang sungguh mengenyangkan jiwa. Dulu aku pernah mendapatkannya pada diri Mas Wija. Sayang semuanya terpupus begitu cepat ketika Mas Wija meninggalkan Gea dan aku dalam tidur panjangnya yang abadi.

Kesedihan Gea jauh lebih dalam daripada kesedihanku. Dia anak kesayangan papanya. Dan harus terenggut dari hangatnya kasih sayang itu ketika dia sedang beranjak mekar berumur 14 tahun. Betapa sinar itu padam begitu saja dari mata Gea. Tak pernah kembali lagi.

Semuanya tak pernah sama lagi buat Gea. Pun ketika aku memperkenalkan Mas Wanto untuk menjadikannya sebagai papa untuk dia. Tiga tahun sejak kepergian Mas Wija. Betapa santunnya putri semata wayangku itu. Membuat Mas Wanto makin jatuh cinta pada kami. Apalagi sebelumnya dia belum pernah bisa meraih mimpi untuk mempunyai seorang putri.

Dan anak laki-lakinya itu, Tantra... Ah! Sungguh putra impian para ibu. Membuatku seketika jatuh sayang. Serasa mimpi dipanggil ‘mama’ oleh seorang perjaka muda yang begitu sopan dan baik hati.

Tapi sinar itu tak pernah kembali dalam hidup Gea. Mengapa? Dengan cara apapun kutanya, jawabnya selalu, “Kenapa terus mempertanyakan itu sih, Ma? Buat aku asal Mama bahagia, aku juga bahagia.”

Aku kehilangan putriku begitu saja. Apalagi aku harus pindah mengikuti Mas Wanto ke Surabaya. Meninggalkan rumah kecil kami yang hangat di Jogja. Berharap Gea masih bisa menjaganya. Tapi ternyata dia memilih untuk kuliah di Semarang. Meninggalkan rumah Jogja yang kusuruh Tantra untuk mengurusnya.

Gea tak pernah pulang ke rumah Jogja. Itu yang kutahu dari Tantra. Bahkan Gea berpesan padaku agar mengirimkan kardus-kardus di bekas kamarnya ketika dia berhasil membeli rumah baru di Semarang dari hasil bekerja sejak masih kuliah. Kardus-kardus berisi semua kenangan hangat kami di rumah Jogja.

Sesering apapun dia ‘pulang’ ke Surabaya, atau Mas Wanto dan aku yang menengoknya ke Semarang, Gea tak lagi bisa kudekap hatinya. Diamnya tak terjangkau. Walau dia tetap menanggapi cerita dan tawa itu, kurasa hatinya tak ada di tempat. Entah tertinggal di mana.

Dia hanya membantah ketika aku menanyakan apakah dia tidak menginginkan pernikahanku dengan Mas Wanto. Jawabnya, “Mama butuh teman, aku mengerti. Aku juga butuh meraih duniaku sendiri, Ma. Aku tak mau Mama kesepian. Om Wanto baik. Aku rasa Mama akan bahagia dengannya.”

Ya, aku bahagia di samping Mas Wanto. Tapi kebahagiaanku itu tak sempurna melihat ketidakakuran Gea dan Tantra. Bertengkarkah mereka? Sama sekali tidak pernah. Setidaknya itu yang kulihat. Tapi mengapa mereka saling menjauh?

Hampir 5 tahun. Perjumpaan mereka hanya bisa dihitung dengan sebelah jari. Tak ada hawa permusuhan sama sekali. Mereka sama-sama menerima pernikahan kami, tapi tak pernah berinteraksi satu sama lain.

Dan beberapa hari yang lalu adalah puncak kebodohanku selama ini. Betapa aku sudah begitu buta terhadap hati dan perasaan putriku sendiri. Semua cerita Nathan tealh menjungkirbalikkan duniaku. Berhasil menohok rasaku yang terdalam.

Gea, seandainya sejak awal kau bicara... Hanya ada sesal itu yang menumpuk di hatiku. Bertambah menggunung dari detik ke detik.

Aku hanya bisa tergugu.

* * *


PURWANTO


Melihat sosok ringkih itu terbaring lemah di atas bed rumah sakit sungguh membuat hatiku bagai hilang separuh. Ingin aku memeluknya, menghiburnya, menggantikan sakitnya seperti perasaan seorang ayah pada putrinya sendiri. Tapi aku tidak bisa. Aku takut salah.

Dia putriku. Setidaknya aku selalu menganggapnya begitu. Sejak aku menikahi ibunya. Dan dia pun mau menganggapku sebagai ayahnya. Setidaknya itu pengakuannya. Tapi kenapa yang kurasakan tak pernah sama?

Terlalu sopan, terlalu santun, terlalu menjaga jarak. Sikapnya itu yang sudah membuatku merasa gagal menjadi seorang ayah yang baik untuknya. Padahal dia adalah seutuhnya sosok seorang putri yang selalu kuimpikan. Putri yang tak pernah kumiliki dari almarhum cintaku Senja. Aku hanya memiliki Tantra, putra semata wayangku. Putra kesayangan Senja, yang dididik dengan tangannya sendiri hingga tiba waktunya Senja pergi.

Dan laki-laki itu menunggui putriku dengan sabar di sana. Nathan. Sahabat Gea. Entah kenapa aku merasa begitu cemburu melihat kehadirannya. Setidaknya yang ingin kulihat di sisi Gea adalah Tantra. Kakak Gea sekarang.

Tapi kurasa semua itu cuma mimpiku di siang bolong. Tantra dan Gea tak pernah dekat. Tak pernah bisa jadi teman. Apalagi jadi kakak-adik. Sungguh mereka terlihat begitu asing satu sama lain. Apakah mereka bermusuhan di belakangku dan Yani? Kurasa tidak. Tidak ada juga yang perlu dipertentangkan.

Hanya saja kenyataan itu begitu telak menghantam kesadaranku. Kalau saja Nathan tidak bicara panjang lebar, sampai kapan Yani dan aku paham apa yang sebenarnya terjadi? Kejadian itu begitu membekas dalam benakku.

“Sudah lama kenal Gea?” tanyaku.

Nathan mengangguk. “Saya sahabatnya sejak SD, Om.”

“Sahabat? Bukan pacar?” selidikku.

Dia menggeleng, kelihatan sedih. “Seandainya....”

“Lalu siapa pacar Gea?”

Dia menatapku dengan aneh. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu, tapi ada yang menahannya. Dan dia hanya menatapku, sampai Yani datang menghampiri kami.

“Sebenarnya saya sudah lama ingin ngomong ini sama Tante dan Om, tapi Gea selalu melarang,” ucap Nathan kemudian, lirih, sarat beban. “Saya sudah tidak sanggup lagi melihat Gea menanggung beban itu sendirian. Semua ada batasnya, dan Gea sudah melampaui batas itu. Tapi Om tanya siapa pacar Gea. Om benar-benar ingin tahu?”

Aku mengangguk cepat. Kulihat Nathan menghela napas panjang dengan berat.

“Om, Tante, saat ini Gea tidak lagi punya pacar. Dia pernah pacaran sekali tapi terpaksa patah. Karena mereka tidak bisa lagi meneruskan hubungan itu. Karena Om dan Tante menikah.”

“Lho, apa hubungannya?” sergah Yani.

Nathan menatap Yani, begitu sedih. “Karena pacar Gea itu Mas Tantra, Tante, Om...”

Seperti ada petir yang menyambar kepalaku. Tantra? Gea? Yani dan aku? Aku tak bisa lagi memikirkan apa-apa.

* * *


BAB 4
NATHAN


“Karena pacar Gea itu Mas Tantra, Tante, Om...”

Melihat Om Wanto dan Tante Yani menatapku dengan mata terbelalak seketika membuatku tersadar. Aku sudah kelepasan bicara. Aku sendiri hampir ingkar untuk percaya. Bagaimana mungkin aku sudah membeberkan rahasia besar yang begitu rapat disimpan Gea? Kalau dia tahu aku sudah membuka rahasia itu, dia bisa membunuhku. Bodohnya aku!

Tapi sudah terlalu lambat untuk menarik ucapanku sendiri. Kali ini aku harus mengaku kalah. Kalah oleh perasaan ibaku pada Gea. Kalah oleh perasaan menderita yang harus kutanggung melihat betapa Gea sudah terpuruk begitu lama. Geaku yang ceria dengan mata penuh binar itu tak pernah kembali sejak Om Wija meninggal. Ditambah dengan kandasnya hubungan dengan laki-laki ‘itu’.

Andai dia bisa mencintaiku begitu dalam, tentu aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Tapi sayangnya laki-laki itu bukanlah aku. Dia Mas Tantra. Laki-laki aktivis jurnalistik kampus yang pernah memberi pelatihan di sekolahku dan Gea.

Ah, mungkin Gea memang bukan untukku. Baginya aku cuma seorang sahabat kecilnya yang baik. Tempat dia curhat dan berbagi sedikit senyumnya. Cukupkah buatku? Kuanggap cukup. Aku hanya ingin cahaya Gea kembali. Itu saja. Tidak lebih.

“Sejak kapan?”

Aku tersentak. Suara Tante Yani seolah menuntutku. Kuangkat wajahku.

“Sejak awal kami kelas 3 SMA, Tante,” jawabku patah. “Hanya beberapa bulan sebelum Tante dan Om menikah. Itulah kenapa akhirnya Gea memilih untuk kuliah di Semarang. Karena dia ingin meninggalkan hatinya di Jogja.”

Om Wanto menghenyakkan punggungnya ke sandaran sofa di depan kamar perawatan Gea. Wajahnya tampak kusut dan sarat beban.

“Kenapa dia tidak pernah cerita apa-apa?” gumamnya sedih.

Aku terdiam. Bercerita? Menghancurkan harapan dan kebahagiaan Tante Yani, satu-satunya orang tua yang masih tersisa? Itu bukan Gea.

Airmata mengalir di pipi Tante Yani. Sungguh aku merasa bersalah. Aku sudah membuat Tante Yani bersedih. Aku sudah membuat Om Wanto kebingungan. Dan kesalahanku yang paling besar, aku sudah mengkhianati Gea.

“Tolong jangan sampai Gea tahu saya sudah memberitahu Tante dan Om soal ini,” kuberanikan diriku untuk meminta.

Tante Yani menatapku di tengah derai airmatanya. Kemudian diraihnya bahuku, dibawanya dalam pelukan.

“Terima kasih, Nathan,” ucapnya, terdengar begitu tulus. “Kau sudah menjaga Gea dengan begitu baik selama ini. Terima kasih karena kau sudah mengurusnya dengan baik selama ini.”

Aku hanya bisa mengangguk. Apapun akan kulakukan untuk Gea. Semampuku. Sekuatku. Entah sampai kapan aku akan melakukannya. Yang kuinginkan hanya kebahagiaan itu kembali untuk Gea. Maka aku pun akan bahagia juga.

Tante Yani melepaskan pelukannya padaku ketika pintu kamar perawatan Gea terbuka. Tante Yona, perawat di tempat ini, tanteku, menatapku sambil tersenyum.

“Nat, Gea sudah sadar. Dia mencarimu. Masuklah.”

Sejenak aku menatap Tante Yani dan Om Wanto. Mereka mengangguk samar. Memberiku ijin untuk menemui Gea. Mungkin juga mereka masih mau menata perasaan mereka sendiri. Aku tidak tahu.

Aku melangkah pelan mendekatinya. Wajahnya masih pucat. Letih. Begitu ingin aku merangkumnya dalam pelukanku, tapi sekuat tenaga aku menahan diri. Dan dia membuka mata ketika kugenggam lembut tangannya.

“Nat...,” bisiknya lemah.

Kueratkan genggaman tanganku. “Mama-papamu ada di luar,” ucapku halus.

“Nat, kenapa kamu beri tahu mereka?” ada sorot marah melompat keluar dari matanya.

“Ge, mereka berhak tahu kamu sakit. Kamu anak mereka.”

Gea memejamkan mata. Rasa bersalahku makin kental. Ya, aku lancang, aku tahu. Aku hanya berusaha melakukan apa yang kuanggap benar.

“Sudah cukup kamu menarik diri.”

Dia membuka mata mendengar nada ketegasan dalam suaraku. Aku menatapnya.

“Move on, Ge. Ini semua harus diakhiri. Kamu pikir kamu saja yang sakit dengan seluruh rangkaian kejadian ini? Mamamu kehilanganmu. Papamu tidak bisa mendapatkan anak gadis yang dia impikan. Mas Tantra juga menderita karena kamu tak mau menemuinya. Dan aku juga, Ge. Aku juga sakit hati karena kamu bukan lagi Gea sahabatku yang begitu mudahnya tertawa.”

“Dari mana kamu tahu aku anak gadis impian Papa?”

“Dari caranya menanyaiku. Siapa aku. Dan apa hubunganku denganmu. Begitu peduli. Great Papa, sayangnya kamu tak menyadari itu.”

Dia diam. Menatapku lama.

“Lalu aku harus bagaimana?”

Ini kebodohanku berikutnya. Aku tak mampu menjawab pertanyaan sederhana Gea. Ya, lalu dia harus bagaimana?

Aku hanya mampu menatapnya. Nelangsa.

* * *


BAB 5
GERARDA

Oh ternyata....

Aku hanya perlu menangis sepuasnya untuk melepaskan bebanku. Kenapa tidak dari dulu? Padahal aku punya ‘tempat sampah’ bernama Nathan. Bodohnya aku...

Tapi pelukannya hangat. Sungguh hangat. Seakan ingin melindungiku dari segala kejahatan yang akan menyerangku. Papa... Aku jadi teringat Papa. Ah, seandainya benar Tantra bisa melindungi dan menyayangiku selamanya seperti Papa...

Tantra mengusap lembut rambutku. “Mau minum?”

Aku mengangguk. Dia menghilang di balik pintu, dan kembali tak lama kemudian dengan secangkir teh lemon. Penuh. Utuh. Bukan bekas minumku tadi. Dia mengulurkan cangkir itu.

“Makasih, Mas...”

Dia mengangguk.

Saat meneguk teh lemon itu mendadak aku ingat sesuatu. Rencananya aku akan pulang diantar Nathan minggu depan. Selama ini dia yang menguatkan aku. Dialah sahabat, saudara, sekaligus bossku. Kalau aku harus pulang sekarang, tentu aku harus minta ijin padanya. Yah... Dia memang selalu menganggap aku partner kerjanya, bukan anak buahnya. Tapi dia tetap bossku dalam urusan pekerjaan.

Tantra menatapku. “Siap untuk pulang sekarang? Atau masih ada yang ingin kamu bicarakan?”

Aku menggeleng. Tantra masih menatapku sabar.

“Maksudku,” kataku, “aku harus minta ijin boss dulu. Kan cutiku minggu depan, bukan sekarang.”

Dia mengangguk. “Kuangkatkan barangmu ke mobil ya?”

“Ya,” jawabku sambil mencari nama Nathan di phonebook ponselku.

“Ya, Ge?” sahutnya dari seberang sana.

“Nat, aku harus pulang ke Surabaya sekarang.”

“Kok mendadak? Ada apa?”

“Mama menyuruh Mas Tantra menjemputku. Boleh, Nat?”

Lama tak terdengar jawaban dari seberang sana.

“Nat?”

“Eh, ya? Mmm... Ge, masih bisa menunggu 1 jam? Aku koordinasi dulu sama anak-anak. Jangan berangkat dulu ya? Aku belum keluarin ijin buat kamu memajukan cuti kecuali cuti sakit kemarin itu.”

“Tapi ada jaminan aku dapat cuti lebih awal kan?”

“Ya, tapi tunggu sejam lagi. Biar Sonia mengubah tanggal cutimu. Dia lagi ke bank. Jangan berangkat dulu. Kita bicara profesional ya?”

“Ya, Nat. Aku mengerti.”

“OK, ada yang mau dibicarakan lagi?”

“Nggak ada, Nat. Makasih banyak ya?”

“Ya, Ge, sama-sama.”

Pelan kututup pembicaraanku dengan Nathan. Kulihat barang yang mau kubawa sudah bersih dari kamarku. Aku pun keluar.

Tantra sedang asyik dengan tabletnya ketika aku menemukannya di teras. Dia mengangkat wajah ketika aku muncul.

“Mas sudah makan?”

Dia menggeleng.

“Makan dulu ya? Tapi aku cuma punya sarden dan sayuran beku. Mau?”

Dia tertawa sedikit. “Ya sudahlah, nggak apa-apa.”

Aku tertawa malu.

* * *


TANTRA

Cuma sarden yang dicampur dengan sayuran beku, dan dipanaskan. Dan nasi putih hangat. Tapi ini adalah makan siang paling nikmat yang pernah kualami sepanjang hidupku. Sekaligus paling indah.

Apakah karena rasanya? Ataukah senyum Gea? Sudah berapa lama kurindukan senyum itu? Ah! Seperti mimpi rasanya merasakan begitu dekatnya aku dan dia sekarang.

Mata Geaku masih tersaput mendung. Tapi setidaknya sudah ada semburat rona senyum di bibirnya. Rupanya yang dia butuhkan untuk melepas bebannya selama ini Cuma menangis. Sepuasnya. Dalam pelukanku.

Aku tak mengatakan apa-apa. Tak bisa mengatakan apa-apa. Aku sendiri bingung dengan perasaanku. Ke mana perginya seluruh getar hatiku? Hanya senang. Cuma itu yang kurasa. Tanpa getar sama sekali. Apakah dia merasakan hal yang sama?

Ting tong!

Aku tersentak mendengar bunyi itu. Gea mengernyitkan kening sambil berdiri dari duduknya. Aku buru-buru menahannya.

“Aku saja yang buka,” cegahku.

Dan sosok itu berdiri di depan pintu. Sempat tersenyum, tapi senyum itu segera lenyap dari bibirnya. Mungkin dia berharap yang di depannya sekarang Gea.

“Siang, Mas,” ucapnya sopan.

“Mencari Gea?”

Dia mengangguk. “Ada?”

“Masuklah.”

“Mas lupa padaku?”

Kutatap laki-laki berkacamata itu. Ya, sepertinya aku pernah mengenalnya. Tentu saja dia teman Gea, tapi siapa? Yang mana?

“Aku Nathan, Mas,” senyumnya.

Aku terkejut. “Nathan? Teman Gea dari kecil kan? Apa kabar?”

Aku benar-benar lupa pada laki-laki ini. Seingatku dulu dia tidak segagah ini.

“Baik, Mas,” dia menyambut jabat tangan dariku.

“Nat?”

Kami sama-sama menoleh. Gea berjalan pelan mendekat.

“Kok kamu ke sini? Aku dapat ijin cuti?”

“Tidak,” jawab Nathan. “Kecuali kamu mengijinkanku ikut. Aku sudah janji mau mengantarmu kan? Aku tak mau ingkar janji.”

“Tapi kantor bagaimana?”

“Makanya aku tadi minta waktu sejam. Kantor akan beres, dan aku perlu mengepak baju sebentar. Aku tidak telat kan?”

Kulihat Gea masih ternganga. Dan Nathan masih menatap Gea dengan senyum jahilnya. Aku hanya mengerti sedikit apa yang mereka bicarakan. Tapi ujungnya cuma satu. Dia mau ikut ke Surabaya. Mengantar Gea.bukankah sudah ada aku yang menjemputnya?

“Ya...,” Gea masih menatap Nathan, seperti tak percaya. “Nathaaaan... Kamu memang paling bisa bikin kejutan! Ya sudahlah...”

Dia tertawa menang. Dan aku mencoba untuk tersenyum menanggapinya, saat dia menatapku.

“Kita bisa gantian nyetir, Mas. Semarang-Surabaya jauh juga lho...”

Aku cuma bisa mengangguk. Cuma mengangguk.

* * *


BAB 6
Mengurai Jalinan Rindu

Perjalanan yang cukup panjang bagi Gea. Berada di tengah dua laki-laki yang dia tahu sangat menyayanginya ternyata tak bisa membuatnya nyaman. Gea menatap Nathan yang tengah asyik dengan kemudi mobil Tantra di sepanjang jalur Tuban-Lamongan.

Ada yang terasa hangat di hatinya. Entah dia akan jadi apa tanpa Nathan di sisinya selama ini. Nathan selalu mencurahinya dengan kata-kata semangat dan penghiburan. Tanpa pamrih apa-apa.

Benarkah tanpa pamrih? Pelan Gea menghela napas panjang. Selalu ada sinar cinta dalam mata Nathan. Tak perlu jadi orang pintar untuk mengenali arti tatapan Nathan. Tapi Nathan tak pernah mengatakan apa-apa. Sekali lagi Gea menghela napas panjang.

“Tidurlah dulu kalau capek, Ge,” tegur Nathan lembut.

“Ya.”

Gea mulai memejamkan mata. Di luar jendela langit senja menggelap. Lampu jalan pun mulai menyala. Letih. Hanya itu yang dirasakan Gea. Membuatnya cepat terlena dalam buaian mimpi. Dalam mobil yang tetap meluncur membelah jalan.

Tantra menyodorkan botol minuman pada Nathan.

“Makasih, Mas.”

“Kamu sudah tahu segalanya kan?” suara Tantra terdengar rendah.

Nathan langsung paham. “Ya, Mas,” jawabnya tenang.

“Kamu mencintainya?”

Nathan tetap berusaha untuk berkonsentrasi terhadap kemudinya, walau sempat buyar sejenak. Tapi dia tak menemukan jawaban yang tepat selain sebuah pengakuan, “Ya.”

Tantra sudah siap untuk mendengar jawaban itu. Tapi tak urung ada juga bersit cemburu menyala dalam hatinya. Sekuat tenaga dia memadamkan bara itu.

“Gea tahu?”

“Aku nggak tahu, Mas. Aku belum pernah menyatakan apa-apa.”

“Tapi kukira dia tahu,” gumam Tantra.

Nathan tak menjawab. Didengarnya Tantra menghela napas panjang di sebelah kirinya.

“Kenyataannya adalah dia adikku sekarang. Nggak ada yang bisa kuperbuat lagi... Ah, sudahlah! Mau gantian nyetir lagi?”

Nathan menggeleng. “Nanti saja kalau sudah masuk Surabaya, Mas. Aku kan buta daerah situ.”

“Oke.”

Terdengar bunyi ponsel. Tantra merogoh saku celananya.

“Ya, Ma?”

* * *

Handayani menutup pembicaraan singkat dengan Tantra. Ada sedikit rasa kecewa ketika mendengar Nathan ikut ke Surabaya. Seharusnya bisa diselesaikan cuma berempat, pikirnya. Ah, sudahlah! Mungkin memang Gea butuh Nathan. Toh selama ini memang Nathan yang lebih banyak ada di samping Gea.

“Sudah sampai mana?”

Handayani menoleh. Wajah Purwanto tampak segar sehabis mandi.

“Sudah masuk Gresik.”

“Oh...”

“Papa mau makan dulu?”

Purwanto menggeleng. “Nanti saja sekalian sama anak-anak.”

“Nathan ikut.”

Purwanto menoleh cepat ke arah Handayani. Tapi Handayani cuma tersenyum.

“Mama tahu tak mudah buat Papa menerima ada orang lain di dekat Gea,” ucapnya lembut. “Tapi Mama kenal betul  Nathan, Pa. Mama tahu Gea bisa tetap berdiri tegak sampai sekarang karena Nathan.”

Mau tak mau Purwanto harus mengaku kalah. Lima tahun berstatus sebagai ayah bagi Gea, sesungguhnya dia tak pernah punya kontribusi apa-apa buat hidup Gea. Yang ada dia turut menghancurkan keceriaan Gea. Setidaknya itu yang dia pahami.

Handayani mengulurkan secangkir teh lemon. Membiarkan Purwanto menikmati keharuman aroma campuran itu sebelum meneguknya. Terlihat laki-laki itu lebih rileks sedikit sekarang. Handayani duduk di sebelahnya. Turut menikmati pendar-pendar lampu taman.

Hampir jam sembilan malam ketika sebuah mobil membunyikan klakson pendek di depan pagar. Hampir berlari Purwanto membuka pintu pagar. Tantra meluncurkan mobil sampai ke depan garasi begitu pintu terbuka.

Handayani berdiri di tepi teras dengan senyum lebarnya. Penantiannya sudah berakhir. Geanya sudah pulang.

* * *

“Kalian masih bisa melanjutkan hubungan tanpa Mama dan Papa berpisah.”

Kalimat yang diucapkan Purwanto dengan sangat lembut itu bagai guntur di telinga Gea dan Tantra.

“Mama dan Papa sudah tahu, Nak, walaupun sangat sangat terlambat,” lanjut Purwanto. “Dan kalian tak ada hubungan darah. Tidak apa-apa bila hubungan kalian berlanjut. Papa sudah konsultasi dengan Pastor.”


Wajah Gea pias. Tantra membeku di seberang Gea.

Cerianya rona mentari di luar sana tak bisa melumerkan kebekuan itu.  Gea masih terdiam. Juga Tantra. Tak juga saling menatap. Tapi ada tanya yang tiba-tiba menyadarkan Gea.

“Dari mana Papa dan Mama tahu?”

Purwanto dan Handayani saling menatap dalam hening. Itu sudah cukup buat Gea.  Sontak dia bangkit berdiri dan berlari ke lantai atas. Tanpa mengetuk lagi dibukanya sebuah pintu dengan kasar.

“Kenapa kamu bilang sama Mama dan Papa?!”

Nathan yang baru selesai mandi, masih memakai celana pendek, dan masih bertelanjang dada hanya bisa terperangah. Tapi kelihatannya Gea tidak peduli. Dia menatap Nathan dengan mata penuh nyala kemarahan.

“Kenapa, Nat?!” tuntut Gea.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Dia masih terlalu kaget. Ditatapnya Purwanto, Handayani, dan Tantra yang sudah ada di belakang punggung Gea. Terlihat jelas Purwanto dan Handayani menatapnya dengan sejuta rasa bersalah. Nathan mengerti.

“Aku percayakan semuanya padamu. Tapi apa yang kamu lakukan, Nat?! Kamu mengkhianatiku!”

“Ya, aku mengkhianatimu,” ucap Nathan tenang. “Karena aku sudah capek melihatmu tenggelam seperti selama ini. Aku kehilangan Gea, sahabat kecilku yang begitu penuh dengan tawa dan ceria. Dan yang kudapati hanya Gea yang tak pernah mau bangkit dari keterpurukan itu. Lima tahun sudah cukup, Ge. Sudah waktunya bagimu untuk kembali. Walau aku harus kehilanganmu sekalipun. Asal kamu kembali pada kebahagiaanmu.”

Perlahan kemarahan Gea menyurut. Apalagi melihat ada kaca bening dalam mata Nathan yang belum memakai kacamatanya. Handayani menarik tangan Purwanto dan Tantra, menjauh dari kamar itu.

Hati-hati Nathan mengulurkan tangannya. Menghapus airmata yang mulai mengalir di pipi Gea. Lembut.

“Jadi apa aku tanpamu?” bisik Gea.

“Mungkin kamu malah bisa bangkit dengan cepat,” senyum Nathan. “Maafkan aku, Ge. Aku sudah lancang memberitahu Mama-Papamu.”

“Sudahlah,” Gea duduk di tepi bed.

Nathan mengeluarkan kaos dari dalam ranselnya, kemudian memakainya dengan cepat. “Terus?”

“Entahlah aku bingung,” Gea menatap ranting pohon mangga di luar jendela kamar yang ditempati Nathan. “Mereka bilang kami bisa berlanjut karena tak ada hubungan darah.”

“Ya sudah kan? Apa lagi? Habis perkara kan? Sesuai yang kalian mau?” sahut Nathan, terdengar acuh tak acuh.

“Ya, sesuai yang kami mau,” gumam Gea, tersenyum, seperti sudah tersadar dari sesuatu.

Nathan menatapnya. Akhirnya kebahagiaanmu kembali, Ge, bisik hatinya, tinggal aku yang harus menata hatiku...

“Bagaimana menurutmu, Nat?”

Nathan tersentak. Ditatapnya Gea. Tanpa makna. Tak ada jawaban.

“Ini juga kan yang kamu inginkan, Nat?” Gea menatapnya dalam. “Aku harus bahagia. Pada akhirnya Tuhan mendengar doaku. Kamu pikir aku nggak capek juga membawa beban ini? Beban pikiranku sendiri. Sudah berakhir, Nat. Semua sudah berakhir.”

Rasa dingin mendadak menyelimuti Nathan. Ya, sudah berakhir. Begitu juga harapannya. Rindunya.

Geanya sudah kembali. Tapi tidak padanya.

* * *


BAB 7
Menjalin Lembaran Rindu

Nathan memasukkan baju kotor terakhir ke dalam kantong plastik. Kemudian dijejalkannya kantong plastik itu ke dalam ransel. Selesai sudah. Selesai juga tugasnya mendampingi Gea. Besok pagi dia akan kembali ke Semarang.

Dia terduduk di tepi bed. Kalah?

Setidaknya itu yang dia rasakan. Kekalahan setelah berjuang bertahun-tahun dalam diam. Kekalahan yang terasa sangat menyakitkan. Kekalahan karena ternyata pamrih yang dia harapkan terlalu besar.

Seharusnya dia bahagia juga melihat Gea sudah mulai berjalan ke arah keceriaan. Tapi kenapa masih ada ngilu yang menyiksa? Dihelanya napas panjang. Dia mengatupkan mata dan merebahkan diri. Mencoba bermimpi tentang satu nama. Gea.

Sementara itu Tantra terduduk diam di teras. Menghirup teh lemon. Mencoba berdamai dengan perasaannya.

Apa yang sesungguhnya dia inginkan? Merengkuh Gea? Tantra menggeleng pelan. Timbunan rasa menggebu untuk sekedar melihat wajah Gea sudah terpuaskan. Begitu saja. Tanpa getar lain yang seharusnya masih ada.

Bisakah cinta terhapuskan begitu saja oleh waktu? Walau tiap detik yang sudah berlalu kental oleh berbagai lembar rindu? Haruskah Gea tersakiti untuk kesekian kalinya hanya karena cinta ternyata sudah hilang menguap begitu saja? Bagaimana harus menjelaskan ini pada Gea?

“Mas...”

Cangkir berisi teh lemon yang masih tersisa setengah itu hampir meluncur dari tangan Tantra. Kaget. Dia menoleh. Gea berdiri di ambang pintu depan, dengan sebuah gelas berada di tanggan. Menatapnya ragu.

“Mas, aku mengganggu?”

Tantra menggeleng. “Ada apa, Ge? Nggak bisa tidur?  Duduk sini,” Tantra menepuk kursi di sebelahnya.

Gea menurut. Dibalasnya senyum Tantra dengan seulas senyum pula. Resah.

“Seharusnya aku senang dengan kenyataan ini,” gumam Gea. “Tapi kenapa rasanya malah jadi hambar?”

“Maksudmu?”

“Kamu senang bertemu denganku, Mas?”

“Sangat.”

“Masih mau melanjutkan yang dulu?”

Pertanyaan itu telak menghantam kesadaran Tantra. Lalu dia harus menjawab apa? Karena rasanya sudah lain.

“Mas tak bisa menjawab. Atau Mas merasakan hal yang sama denganku?”

“Hal yang sama apa?”

“Aku cuma merasa semuanya jadi biasa saja. Aku senang bisa bertemu dengan Mas? Ya, aku senang. Rasanya lukaku menutup sempurna begitu saja. Seketika. Tanpa bekas. Hanya dengan aku menangis sepuasku dalam pelukan Mas. Hanya itu. Nggak lebih.”

“Waktu sudah menyembuhkan kita, Ge. Tanpa kita pernah menyadarinya. Apakah seperti itu?”

“Mas juga merasakannya?”

Tantra mengangguk.

“Aku takut mengecewakan Mas. Tapi kurasa aku harus mengungkapkan ini, supaya Mas tidak lebih sakit hati lagi.”

“Ya, aku mengerti. Karena aku pun merasakan hal yang sama. Aku sayang kamu, Ge. Selamanya akan tetap seperti itu. Tapi aku rasa... aku nggak bisa kembali seperti dulu.”

Ada napas kelegaan yang terhembus. Juga tawa tertahan. Tantra menoleh dan mendapati Gea menatapnya dengan senyum tergambar di matanya.

“Duh... Aku hanya nggak menyangka ternyata semuanya berjalan begitu mudah. Bodohnya aku...”

“Bodohnya kita...,” ralat Tantra. “Terlalu terkungkung dalam lembaran rasa kita sendiri.”

“Mau menerimaku jadi adik?”

Tantra tersenyum. “Mau menerimaku jadi kakak?”

Bersamaan mereka mengangguk.

“Dan pacarmu yang tidur di atas?” goda Tantra.

Gea cemberut.

“Kamu mengharapkan sesuatu darinya?”

“Entahlah, Mas. Dia nggak pernah bilang apa-apa. Padahal aku sudah terbiasa ada dia di sisiku. Baru sekarang kusadari, aku berharap lebih. Terlampoau banyak.”

Tantra menggeleng. “Tidak berlebih. Pas. Orang nggak punya perasaan pun tahu dia cinta padamu. Hanya perlu memaksanya untuk bicara.”

“Kamu yakin, Mas?”

“Potong jariku kalau dia tidak mencintaimu.”

Seketika hati Gea diselimuti debar-debar yang tak jelas dari mana datangnya. Debar yang sebenarnya sudah lama ada, tapi dia sendiri selalu ingkar dan menindasnya.

* * *

Nathan membuka pintu kamar ketika mendengar ada ketukan. Dan Gea berdiri di depan pintu dengan senyum secerah dan sehangat mentari pagi. Membuat Nathan mengeluh dalam hati.

“Kamu mau ke mana?!” mata Gea terbeliak ketika melihat ransel tersandang di bahu Nathan.

“Pulang, Ge.”

“Tapi syukurannya masih 3 hari lagi.”

“Kamu sudah selamat sampai di sini. Aku sudah mengantarmu. Kali ini aku memenuhi janjiku.”

Gea ternganga. Hati Nathan hampir luluh. Tapi dia berusaha untuk tegar.

“Seandainya aku memintamu untuk tinggal?”

Nathan terhenyak. Ada nada harap yang sangat dalam suara Gea.

“Seandainya aku mengharapkanmu untuk bicara?”

Nathan mengerutkan kening. “Untuk apa? Bicara apa?”

“Atau aku harus mengerahkan kakakku yang ganteng itu untuk memaksamu bicara?”

Nathan makin tak mengerti. Gea menatapnya, setengah putus asa. Dan akhirnya menyerah.

“Oke, kamu boleh pergi saat ini juga. Tapi setidaknya katakan saja satu kalimat cinta untukku.”

Ransel terlepas dari bahu Nathan. Menimbulkan suara berdebum ringan. Gea melenggang pergi. Meninggalkan Nathan dengan tatapan bodohnya.

Pintu di seberang kamar Nathan terbuka. Nathan kaget. Ditatapnya Tantra yang menatap dengan gemas dari seberang.

“Tinggal bilang I love you saja apa susahnya sih, Nat?”

Nathan tertegun. Tantra makin gemas melihatnya.

“Katakan sekarang atau kamu akan kuusir dari rumah ini karena sudah menyebabkan adikku patah hati!”

Perlu waktu sekian detik bagi Nathan untuk mencerna rangkaian kejadian yang baru saja dialaminya. Dan dia segera berlari menyusul Gea.

“Ge! Tunggu Ge!”

Gea berhenti di pertengahan tangga. Menatap ke atas. Menunggu Nathan.

“Ge, aku akan tinggal asal kamu beri aku sesuatu.”

Gea melebarkan matanya. Penuh tanya.

“Hatimu, Ge. Seutuhnya.”

Gea tersenyum. Mengangguk. Menatap mata Nathan. Dalam.

* * * * *

4 komentar:

  1. Mbak....bedanya Novel sama novelet apa ya? jujur aku rada rancu sama dua istilah ini...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf Mbak Rina, baru bales sekarang.

      Sepengetahuanku sih novelet itu lebih pendek daripada novel. Kalo diketik dengan format standard, novelet jauh lebih panjang daripada cerpen, tapi belum memenuhi syarat (jumlah kata/halamannya) untuk jadi novel.
      Mohon maaf kalo jawabanku kurang bener.

      Makasih ya Mbak, dah berkenan mampir di sini :)

      Hapus
  2. abis tak baca..! komen nya ntar tak sms wae..! wkwkwk.....**sekarang mo lanjut baca yg laen yak..? permisiiii....buk

    BalasHapus
  3. Mbak.. Pas bagian di rumah sakit gea udah tau kalo natan kasi tau ttg hub nya dgn tantra ke ortu mereka, tapi pas di surabaya kok dia kaget n marah ama nathan lagi

    BalasHapus