BAB 1
GERARDA
Pulang…
Kata itu
sungguh absurd bagiku. Apa artinya pulang? Bagiku pulang adalah kembali ke
rumah mungil peninggalan Papa. Membaui lagi aroma manis kenangan yang
tertinggal di sana. Merasakan lagi hawa hangat yang masih tersisa.
Tapi semuanya
tak lagi ada bekasnya. Sejak 8 tahun yang lalu. Hingga detik ini. Setidaknya
ada rentang waktu 5 tahun sejak aku terbelit sejuta kerinduan untuk sekedar
melihat wujudnya dari luar. Hanya sebatas bersit kerinduan, yang berpikir untuk
menerjemahkannya pun aku tak berani.
Semuanya tak
lagi sama. Aku hanya bisa tergugu ketika menata kembali kehidupanku di sini. Di
rumah kecil ini. Rumahku sendiri sejak setahun yang lalu. Sekecil rumah
peninggalan Papa. Ketika kubuka kardus-kardus yang dikirimkan dari ‘rumah’ untuk
kupeluk lagi isi dan kenangan yang terkandung di dalamnya, untuk kusimpan di
sini, di dalam rumah ini.
Wangi lemon
mengelus hidungku. Kuhirup perlahan secangkir teh lemon. Ada yang lepas dari
dalam hatiku. Segerombol kerinduan yang tak pernah bisa hilang walau aku terus
mengingkarinya. Kerinduan yang sangat kental, sekaligus menyakitkan. Teh lemon
ini kesukaannya. Kesukaan Tantra.
Tantra…
Kenapa
mengingat sepotong nama itu saja sudah membuatku kesakitan seperti ini. Aku
menggigil. Hatiku menggigil. Terlebih ketika mengingat sepotong ‘rumah’ dengan
dia berada di dalamnya. Kenapa bukan aku?
Aku
menggeleng. Karena aku lari menghindar. Hal paling bodoh yang bisa kulakukan
saat itu. Cara paling gampang bagiku untuk menghadapi kesakitan saat itu
hanyalah pergi sejauh-jauhnya. Melarikan diri
Ting tong!
Suara bel
pintu menyentakkanku dari lamunan. Agak tertatih aku berjalan ke ruang depan.
Bekas jahitan operasi radang usus buntuku 10 hari yang lalu masih menyisakan
nyeri. Bel pintu berbunyi lagi.
“Iya, sebentar!”
sahutku.
Dan aku hanya
bisa ternganga ketika pintu kubuka. Dia ada di sana. Tantra. Menatapku dengan
sejuta kerinduan yang disembunyikan dengan rapi di balik kabut matanya. Tapi
masih ada yang lolos. Banyak.
“Ge…,” hanya
itu ucapnya. “Apa kabar?”
Dadaku
berdegup kencang. Barangkali dia bisa mendengarnya.
“Gea, apa
kabar?” ulangnya.
Aku
tersentak. “Ya, baik.”
“Boleh aku
masuk?”
Mau tak mau
kulebarkan bukaan pintuku.
“Kenapa tidak
bilang sejak awal waktu kamu sakit?” tanyanya halus.
“Aku sudah
sembuh,” ucapku kaku.
“Berkemaslah
Ge, kita pulang.”
Aku termangu.
Aku memang merencanakan untuk ‘pulang’. Tapi tidak hari ini. Tidak dalam
kondisiku sekarang. Tidak bersamanya. Setidaknya masih ada waktu seminggu lagi
sebelum aku benar-benar bisa menata hatiku. Sebelum aku siap untuk bergabung
dengan mereka, Mama, ‘Papa’, dan Tantra, untuk merayakan ulang tahun ke-5
pernikahan Mama dan ‘Papa’. Mamaku dan papa Tantra.
Merayakan
tercabiknya hatiku dan Tantra. Merayakan cinta kami yang harus kandas hanya
beberapa bulan setelah kami mulai. Merayakan luka yang ternyata masih begitu
dalam menghujam. Setidaknya dalam hatiku.
Tapi
sepertinya aku tak lagi bisa menghindar. Dia sudah menjemputku. Kutahu Mama
yang mengirimnya. Untuk membawaku pulang secara paksa. Pulang? Serasa ada darah
yang mengucur di sudut hatiku.
“Mau
kubantu?” suara Tantra kembali menyentakkan aku. “Atau kamu mau packing
sendiri?”
Aku
menggeleng. “Kamu duduk saja dulu. Mau minum apa?”
“Tak usah
repot, Ge. Nanti aku bisa ambil sendiri. Benar kamu sudah tak apa-apa?”
Aku hanya
bisa mengangguk. Pelan aku kembali ke kamar. Antara sadar dan tidak aku mulai
mengemasi baju dan segala yang kuperlukan. Mendadak ada sesuatu yang familar
menyeruak masuk dari sela pintu kamarku yang setengah terbuka. Wangi lemon. Teh
lemon. Dan denting sendok yang beradu dengan cangkir.
Entah kenapa
kali ini aku tak bisa lagi menahan airmataku.
* * *
BAB 2
TANTRA
Aku harus ke
Semarang. Hari ini. Menjemput Gea. Membawanya pulang ke Surabaya. Karena Jogja-Semarang
tidakkah terlalu jauh. Betapa perintah Mama itu begitu menoreh hatiku. Gea.
Geaku...
Seperti apa
rasanya terpaksa merepih angan yang baru saja membiaskan binarnya? Hanya Gea
dan aku yang tahu. Tak pernah mudah memenangkan hati Gea. Dan ketika aku bisa
memperolehnya, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tak akan pernah
menyakiti hatinya. Tapi janjiku patah. Setidaknya aku ikut mematahkannya ketika
aku menyetujui pernikahan papaku dan mama Gea. Walau aku tak pernah tahu
sebelumnya siapa anak ‘Mama’.
Dan dia adalah
Gea. Geaku.
Rasanya
seumur hidup aku tak akan bisa mengenyahkan tatapan penuh luka Gea ketika kami
bertemu. Berempat, tidak berdua. Dan setelah itu airmatanya benar-benar sudah
kering. Tak pernah aku melihatnya menangis. Hanya ada tirai yang membungkus
telaga matanya. Kelam.
Gea.
Kekasihku dalam hanya dalam hitungan bulan. Kini harus jadi adikku.
Detik-detik
sudah beterbangan selama 5 tahun lamanya. Tapi kenapa rasa sakit dan kehilangan
itu masih tetap sama? Tak pernah berkurang sedikit pun. Bahkan walau hanya
secuil kecil.
Pun ketika
aku sudah berdiri di sini. Di depan pintu rumahnya. Ketika sudah terlalu
terlambat untuk menata hati. Untuk menekan rasa ketika akan bertemu dengannya.
Hatiku menggeleng hebat. Tapi otakku sama sekali tidak sinkron dengan hatiku.
Hatiku tetap menggeleng, tapi tanganku sudah memencet bel pintu. Bel pintu
rumahnya. Rumah Gea. Geaku.
Entah
bagaimana aku bisa sampai ke tempat ini dengan selamat. Entah jiwaku yang mana
yang sudah berhasil mengemudikan mobilku hingga aku sekarang bisa berdiri di
depan pintu rumah Gea. Rumah yang terakhir kukunjungi dengan paksa setahun lalu
karena Mama memintaku untuk mengirim barang-barang Gea yang masih tertinggal di
rumah Jogja.
Sepi.
Kupencet bel sekali lagi.
“Iya,
sebentar!” terdengar sahutan pelan dari dalam rumah.
Masih
sakitkah dia? Mama sempat mengabariku bahwa Gea harus opname dan menjalani
operasi dua mingguan yang lalu, saat aku ada tugas ke Bandung. Menengoknya? Tak
pernah kulakukan. Walau setiap detik hatiku berkehendak untuk menyeret
langkahku ke sini.
Dan jantungku
berdegup makin kencang ketika pintu terbuka perlahan. Dia menatapku dengan mata
indahnya yang besar. Ternganga. Aku ingin seutuhnya menyembunyikan kerinduanku.
Tapi gagal. Karena ketika dia menatapku, yang ada hanyalah kerinduan kami
langsung berlompatan keluar dan saling berkejaran. Begitu saja. Tanpa kami bisa
mencegahnya.
Sungguh,
ingin kubawa dia dalam pelukanku. Tapi yang bisa kulakukan hanya berucap lirih,
“Ge, apa kabar?”
Dia tak
menjawab. Masih menatapku dengan kaget.
“Gea, apa
kabar?” ulangku.
Dia
tersentak. “Ya, baik,” jawabnya, hampir menyerupai bisikan.
“Boleh aku
masuk?”
Dia
melebarkan daun pintu yang masih dipegangnya. Wajahnya masih agak pucat.
Membuat hatiku serasa hilang separuh.
“Kenapa tidak
bilang sejak awal waktu kamu sakit?” tanyaku.
“Aku sudah sembuh,”
ucapnya kaku.
“Berkemaslah
Ge, kita pulang.”
Dia termangu.
Kurasa aku tahu apa yang dipikirkannya.
Pulang ke
Surabaya sama sekali bukan pulang. Karena bagi Gea ‘pulang’ adalah kembali ke
rumah yang kutempati di Jogja. Pulang adalah menengok rumah itu barang sekejap.
Tapi tak pernah sedetik pun dilakukan Gea. Karena aku ada di dalamnya. Di dalam
rumah itu. Rumah peninggalan papanya.
Aku masih
ingat kata demi kata yang diucapkan perempuan ayu itu padaku. “Tolong rawat
rumah kami, Tantra. Kau tak perlu kost lagi. Gea tidak bisa tiap hari jalan
dari sini ke Semarang. Dia harus kost di sana. Tolong ya, Nak?”
Dan aku pun
hanya bisa mengangguk dengan bodoh. Pun ketika Gea meminta dengan getar suara
yang sungguh menyiksa seluruh rasaku. “Jangan pernah hubungi aku. Aku butuh
waktu untuk sendiri. Kita sama-sama sakit. Jangan pernah kita menambah rasa
sakit itu dengan sering bertemu.”
Dan sekarang
aku harus menemuninya. Masihkah rasa sakit itu akan bertambah baginya? Ataukah
justru berkurang? Atau malah jadi hambar? Aku benar-benar tidak tahu.
Aku hanya
bisa menatapnya dan bertanya bodoh. “Mau kubantu? Atau kamu mau packing
sendiri?”
Dia kembali
tersentak. Tapi kemudian menggeleng. “Kamu duduk saja dulu. Mau minum apa?”
“Tak usah
repot, Ge. Nanti aku bisa ambil sendiri. Benar kamu sudah tak apa-apa?”
Dia hanya
mengangguk. Dan melihat langkahnya yang masih agak tertatih, gunungan rasa
bersalahku kembali membatu. Andai aku menolak permintaan Mama, mungkin dia
masih punya waktu untuk memulihkan kondisinya. Dia tak pernah siap untuk
‘pulang’ ke Surabaya bersamaku. Bagiku ke Surabaya adalah benar-benar pulang.
Tapi tidak bagi Gea. Apalagi dengan aku bersamanya.
Mendadak
hidungku merasakan sesuatu yang akrab. Wangi itu. Wangi lemon. Bercampur dengan
teh. Aku mencoba untuk beranjak ke belakang. Dia kelihatan sibuk di dalam kamar
ketika aku melewati pintu kamarnya yang terbuka separuh.
Di atas meja
makan yang menyatu dengan dapur mungilnya yang apik, aku mendapati setengah
cangkir teh lemon. Aku tak pernah tahu sejak kapan dia menyukai teh lemon.
Sesungguhnya bukan dia yang suka. Tapi aku.
Masih ada
sisa potongan lemon di atas meja dapur. Sepertinya secangkir teh lemon bisa
mengurangi keresahanku barang sedikit. Pelan kuaduk tehku. Menyisakan denting
sendok yang beradu pelan dengan dinding cangkir. Tapi di antara hamburan
lamunanku yang tak pernah mengumpul pada satu fokus, telingaku menangkap
sesuatu yang menyayat hati. Sepotong tangis. Yang menyeruak keluar dari balik
pintu kamarnya yang masih juga terbuka separuh. Dan aku berlari begitu saja.
“Ge...”
Dia menatapku
dalam derai airmatanya. Ketika aku membuka lenganku lebar-lebar, dia langsung
jatuh ke dalamnya. Membasahi dadaku dengan airmatanya yang membanjir.
Akhirnya... Masih ada airmata. Masih ada luka yang belum tersembuhkan. Entah
dengan cara apa harus kuhapus luka dan airmata itu. Jujur aku tak sanggup.
Karena hatiku
sendiri kembali tersayat.
* * *
BAB 3
HANDAYANI
Menatap wajah
Mas Wanto adalah menatap keteduhan tanpa batas yang sungguh mengenyangkan jiwa.
Dulu aku pernah mendapatkannya pada diri Mas Wija. Sayang semuanya terpupus
begitu cepat ketika Mas Wija meninggalkan Gea dan aku dalam tidur panjangnya
yang abadi.
Kesedihan Gea
jauh lebih dalam daripada kesedihanku. Dia anak kesayangan papanya. Dan harus
terenggut dari hangatnya kasih sayang itu ketika dia sedang beranjak mekar
berumur 14 tahun. Betapa sinar itu padam begitu saja dari mata Gea. Tak pernah
kembali lagi.
Semuanya tak
pernah sama lagi buat Gea. Pun ketika aku memperkenalkan Mas Wanto untuk
menjadikannya sebagai papa untuk dia. Tiga tahun sejak kepergian Mas Wija.
Betapa santunnya putri semata wayangku itu. Membuat Mas Wanto makin jatuh cinta
pada kami. Apalagi sebelumnya dia belum pernah bisa meraih mimpi untuk
mempunyai seorang putri.
Dan anak
laki-lakinya itu, Tantra... Ah! Sungguh putra impian para ibu. Membuatku
seketika jatuh sayang. Serasa mimpi dipanggil ‘mama’ oleh seorang perjaka muda
yang begitu sopan dan baik hati.
Tapi sinar
itu tak pernah kembali dalam hidup Gea. Mengapa? Dengan cara apapun kutanya,
jawabnya selalu, “Kenapa terus mempertanyakan itu sih, Ma? Buat aku asal Mama
bahagia, aku juga bahagia.”
Aku
kehilangan putriku begitu saja. Apalagi aku harus pindah mengikuti Mas Wanto ke
Surabaya. Meninggalkan rumah kecil kami yang hangat di Jogja. Berharap Gea
masih bisa menjaganya. Tapi ternyata dia memilih untuk kuliah di Semarang.
Meninggalkan rumah Jogja yang kusuruh Tantra untuk mengurusnya.
Gea tak
pernah pulang ke rumah Jogja. Itu yang kutahu dari Tantra. Bahkan Gea berpesan
padaku agar mengirimkan kardus-kardus di bekas kamarnya ketika dia berhasil
membeli rumah baru di Semarang dari hasil bekerja sejak masih kuliah.
Kardus-kardus berisi semua kenangan hangat kami di rumah Jogja.
Sesering
apapun dia ‘pulang’ ke Surabaya, atau Mas Wanto dan aku yang menengoknya ke
Semarang, Gea tak lagi bisa kudekap hatinya. Diamnya tak terjangkau. Walau dia
tetap menanggapi cerita dan tawa itu, kurasa hatinya tak ada di tempat. Entah
tertinggal di mana.
Dia hanya
membantah ketika aku menanyakan apakah dia tidak menginginkan pernikahanku
dengan Mas Wanto. Jawabnya, “Mama butuh teman, aku mengerti. Aku juga butuh meraih
duniaku sendiri, Ma. Aku tak mau Mama kesepian. Om Wanto baik. Aku rasa Mama
akan bahagia dengannya.”
Ya, aku
bahagia di samping Mas Wanto. Tapi kebahagiaanku itu tak sempurna melihat
ketidakakuran Gea dan Tantra. Bertengkarkah mereka? Sama sekali tidak pernah.
Setidaknya itu yang kulihat. Tapi mengapa mereka saling menjauh?
Hampir 5
tahun. Perjumpaan mereka hanya bisa dihitung dengan sebelah jari. Tak ada hawa
permusuhan sama sekali. Mereka sama-sama menerima pernikahan kami, tapi tak
pernah berinteraksi satu sama lain.
Dan beberapa
hari yang lalu adalah puncak kebodohanku selama ini. Betapa aku sudah begitu
buta terhadap hati dan perasaan putriku sendiri. Semua cerita Nathan tealh
menjungkirbalikkan duniaku. Berhasil menohok rasaku yang terdalam.
Gea,
seandainya sejak awal kau bicara... Hanya ada sesal itu yang menumpuk di
hatiku. Bertambah menggunung dari detik ke detik.
Aku hanya
bisa tergugu.
* * *
PURWANTO
Melihat sosok
ringkih itu terbaring lemah di atas bed rumah sakit sungguh membuat hatiku
bagai hilang separuh. Ingin aku memeluknya, menghiburnya, menggantikan sakitnya
seperti perasaan seorang ayah pada putrinya sendiri. Tapi aku tidak bisa. Aku
takut salah.
Dia putriku.
Setidaknya aku selalu menganggapnya begitu. Sejak aku menikahi ibunya. Dan dia
pun mau menganggapku sebagai ayahnya. Setidaknya itu pengakuannya. Tapi kenapa
yang kurasakan tak pernah sama?
Terlalu
sopan, terlalu santun, terlalu menjaga jarak. Sikapnya itu yang sudah membuatku
merasa gagal menjadi seorang ayah yang baik untuknya. Padahal dia adalah
seutuhnya sosok seorang putri yang selalu kuimpikan. Putri yang tak pernah
kumiliki dari almarhum cintaku Senja. Aku hanya memiliki Tantra, putra semata
wayangku. Putra kesayangan Senja, yang dididik dengan tangannya sendiri hingga
tiba waktunya Senja pergi.
Dan laki-laki
itu menunggui putriku dengan sabar di sana. Nathan. Sahabat Gea. Entah kenapa
aku merasa begitu cemburu melihat kehadirannya. Setidaknya yang ingin kulihat
di sisi Gea adalah Tantra. Kakak Gea sekarang.
Tapi kurasa
semua itu cuma mimpiku di siang bolong. Tantra dan Gea tak pernah dekat. Tak
pernah bisa jadi teman. Apalagi jadi kakak-adik. Sungguh mereka terlihat begitu
asing satu sama lain. Apakah mereka bermusuhan di belakangku dan Yani? Kurasa
tidak. Tidak ada juga yang perlu dipertentangkan.
Hanya saja
kenyataan itu begitu telak menghantam kesadaranku. Kalau saja Nathan tidak
bicara panjang lebar, sampai kapan Yani dan aku paham apa yang sebenarnya
terjadi? Kejadian itu begitu membekas dalam benakku.
“Sudah lama
kenal Gea?” tanyaku.
Nathan
mengangguk. “Saya sahabatnya sejak SD, Om.”
“Sahabat?
Bukan pacar?” selidikku.
Dia
menggeleng, kelihatan sedih. “Seandainya....”
“Lalu siapa
pacar Gea?”
Dia menatapku
dengan aneh. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu, tapi ada yang menahannya.
Dan dia hanya menatapku, sampai Yani datang menghampiri kami.
“Sebenarnya
saya sudah lama ingin ngomong ini sama Tante dan Om, tapi Gea selalu melarang,”
ucap Nathan kemudian, lirih, sarat beban. “Saya sudah tidak sanggup lagi
melihat Gea menanggung beban itu sendirian. Semua ada batasnya, dan Gea sudah
melampaui batas itu. Tapi Om tanya siapa pacar Gea. Om benar-benar ingin tahu?”
Aku
mengangguk cepat. Kulihat Nathan menghela napas panjang dengan berat.
“Om, Tante,
saat ini Gea tidak lagi punya pacar. Dia pernah pacaran sekali tapi terpaksa
patah. Karena mereka tidak bisa lagi meneruskan hubungan itu. Karena Om dan
Tante menikah.”
“Lho, apa
hubungannya?” sergah Yani.
Nathan
menatap Yani, begitu sedih. “Karena pacar Gea itu Mas Tantra, Tante, Om...”
Seperti ada
petir yang menyambar kepalaku. Tantra? Gea? Yani dan aku? Aku tak bisa lagi
memikirkan apa-apa.
* * *
BAB 4
NATHAN
“Karena pacar
Gea itu Mas Tantra, Tante, Om...”
Melihat Om
Wanto dan Tante Yani menatapku dengan mata terbelalak seketika membuatku tersadar.
Aku sudah kelepasan bicara. Aku sendiri hampir ingkar untuk percaya. Bagaimana
mungkin aku sudah membeberkan rahasia besar yang begitu rapat disimpan Gea?
Kalau dia tahu aku sudah membuka rahasia itu, dia bisa membunuhku. Bodohnya
aku!
Tapi sudah
terlalu lambat untuk menarik ucapanku sendiri. Kali ini aku harus mengaku
kalah. Kalah oleh perasaan ibaku pada Gea. Kalah oleh perasaan menderita yang
harus kutanggung melihat betapa Gea sudah terpuruk begitu lama. Geaku yang
ceria dengan mata penuh binar itu tak pernah kembali sejak Om Wija meninggal.
Ditambah dengan kandasnya hubungan dengan laki-laki ‘itu’.
Andai dia
bisa mencintaiku begitu dalam, tentu aku adalah laki-laki paling bahagia di
dunia ini. Tapi sayangnya laki-laki itu bukanlah aku. Dia Mas Tantra. Laki-laki
aktivis jurnalistik kampus yang pernah memberi pelatihan di sekolahku dan Gea.
Ah, mungkin
Gea memang bukan untukku. Baginya aku cuma seorang sahabat kecilnya yang baik.
Tempat dia curhat dan berbagi sedikit senyumnya. Cukupkah buatku? Kuanggap
cukup. Aku hanya ingin cahaya Gea kembali. Itu saja. Tidak lebih.
“Sejak
kapan?”
Aku
tersentak. Suara Tante Yani seolah menuntutku. Kuangkat wajahku.
“Sejak awal
kami kelas 3 SMA, Tante,” jawabku patah. “Hanya beberapa bulan sebelum Tante
dan Om menikah. Itulah kenapa akhirnya Gea memilih untuk kuliah di Semarang.
Karena dia ingin meninggalkan hatinya di Jogja.”
Om Wanto
menghenyakkan punggungnya ke sandaran sofa di depan kamar perawatan Gea.
Wajahnya tampak kusut dan sarat beban.
“Kenapa dia
tidak pernah cerita apa-apa?” gumamnya sedih.
Aku terdiam.
Bercerita? Menghancurkan harapan dan kebahagiaan Tante Yani, satu-satunya orang
tua yang masih tersisa? Itu bukan Gea.
Airmata
mengalir di pipi Tante Yani. Sungguh aku merasa bersalah. Aku sudah membuat
Tante Yani bersedih. Aku sudah membuat Om Wanto kebingungan. Dan kesalahanku
yang paling besar, aku sudah mengkhianati Gea.
“Tolong
jangan sampai Gea tahu saya sudah memberitahu Tante dan Om soal ini,” kuberanikan
diriku untuk meminta.
Tante Yani
menatapku di tengah derai airmatanya. Kemudian diraihnya bahuku, dibawanya
dalam pelukan.
“Terima
kasih, Nathan,” ucapnya, terdengar begitu tulus. “Kau sudah menjaga Gea dengan
begitu baik selama ini. Terima kasih karena kau sudah mengurusnya dengan baik
selama ini.”
Aku hanya
bisa mengangguk. Apapun akan kulakukan untuk Gea. Semampuku. Sekuatku. Entah
sampai kapan aku akan melakukannya. Yang kuinginkan hanya kebahagiaan itu
kembali untuk Gea. Maka aku pun akan bahagia juga.
Tante Yani
melepaskan pelukannya padaku ketika pintu kamar perawatan Gea terbuka. Tante
Yona, perawat di tempat ini, tanteku, menatapku sambil tersenyum.
“Nat, Gea
sudah sadar. Dia mencarimu. Masuklah.”
Sejenak aku
menatap Tante Yani dan Om Wanto. Mereka mengangguk samar. Memberiku ijin untuk
menemui Gea. Mungkin juga mereka masih mau menata perasaan mereka sendiri. Aku
tidak tahu.
Aku melangkah
pelan mendekatinya. Wajahnya masih pucat. Letih. Begitu ingin aku merangkumnya
dalam pelukanku, tapi sekuat tenaga aku menahan diri. Dan dia membuka mata
ketika kugenggam lembut tangannya.
“Nat...,”
bisiknya lemah.
Kueratkan
genggaman tanganku. “Mama-papamu ada di luar,” ucapku halus.
“Nat, kenapa
kamu beri tahu mereka?” ada sorot marah melompat keluar dari matanya.
“Ge, mereka
berhak tahu kamu sakit. Kamu anak mereka.”
Gea
memejamkan mata. Rasa bersalahku makin kental. Ya, aku lancang, aku tahu. Aku
hanya berusaha melakukan apa yang kuanggap benar.
“Sudah cukup
kamu menarik diri.”
Dia membuka mata
mendengar nada ketegasan dalam suaraku. Aku menatapnya.
“Move on, Ge.
Ini semua harus diakhiri. Kamu pikir kamu saja yang sakit dengan seluruh
rangkaian kejadian ini? Mamamu kehilanganmu. Papamu tidak bisa mendapatkan anak
gadis yang dia impikan. Mas Tantra juga menderita karena kamu tak mau
menemuinya. Dan aku juga, Ge. Aku juga sakit hati karena kamu bukan lagi Gea
sahabatku yang begitu mudahnya tertawa.”
“Dari mana
kamu tahu aku anak gadis impian Papa?”
“Dari caranya
menanyaiku. Siapa aku. Dan apa hubunganku denganmu. Begitu peduli. Great Papa,
sayangnya kamu tak menyadari itu.”
Dia diam.
Menatapku lama.
“Lalu aku
harus bagaimana?”
Ini
kebodohanku berikutnya. Aku tak mampu menjawab pertanyaan sederhana Gea. Ya,
lalu dia harus bagaimana?
Aku hanya
mampu menatapnya. Nelangsa.
* * *
BAB 5
GERARDA
Oh
ternyata....
Aku hanya
perlu menangis sepuasnya untuk melepaskan bebanku. Kenapa tidak dari dulu?
Padahal aku punya ‘tempat sampah’ bernama Nathan. Bodohnya aku...
Tapi
pelukannya hangat. Sungguh hangat. Seakan ingin melindungiku dari segala
kejahatan yang akan menyerangku. Papa... Aku jadi teringat Papa. Ah, seandainya
benar Tantra bisa melindungi dan menyayangiku selamanya seperti Papa...
Tantra
mengusap lembut rambutku. “Mau minum?”
Aku mengangguk.
Dia menghilang di balik pintu, dan kembali tak lama kemudian dengan secangkir
teh lemon. Penuh. Utuh. Bukan bekas minumku tadi. Dia mengulurkan cangkir itu.
“Makasih,
Mas...”
Dia
mengangguk.
Saat meneguk
teh lemon itu mendadak aku ingat sesuatu. Rencananya aku akan pulang diantar
Nathan minggu depan. Selama ini dia yang menguatkan aku. Dialah sahabat,
saudara, sekaligus bossku. Kalau aku harus pulang sekarang, tentu aku harus
minta ijin padanya. Yah... Dia memang selalu menganggap aku partner kerjanya,
bukan anak buahnya. Tapi dia tetap bossku dalam urusan pekerjaan.
Tantra
menatapku. “Siap untuk pulang sekarang? Atau masih ada yang ingin kamu
bicarakan?”
Aku
menggeleng. Tantra masih menatapku sabar.
“Maksudku,”
kataku, “aku harus minta ijin boss dulu. Kan cutiku minggu depan, bukan
sekarang.”
Dia
mengangguk. “Kuangkatkan barangmu ke mobil ya?”
“Ya,” jawabku
sambil mencari nama Nathan di phonebook ponselku.
“Ya, Ge?”
sahutnya dari seberang sana.
“Nat, aku
harus pulang ke Surabaya sekarang.”
“Kok
mendadak? Ada apa?”
“Mama
menyuruh Mas Tantra menjemputku. Boleh, Nat?”
Lama tak
terdengar jawaban dari seberang sana.
“Nat?”
“Eh, ya?
Mmm... Ge, masih bisa menunggu 1 jam? Aku koordinasi dulu sama anak-anak.
Jangan berangkat dulu ya? Aku belum keluarin ijin buat kamu memajukan cuti
kecuali cuti sakit kemarin itu.”
“Tapi ada
jaminan aku dapat cuti lebih awal kan?”
“Ya, tapi
tunggu sejam lagi. Biar Sonia mengubah tanggal cutimu. Dia lagi ke bank. Jangan
berangkat dulu. Kita bicara profesional ya?”
“Ya, Nat. Aku
mengerti.”
“OK, ada yang
mau dibicarakan lagi?”
“Nggak ada,
Nat. Makasih banyak ya?”
“Ya, Ge,
sama-sama.”
Pelan kututup
pembicaraanku dengan Nathan. Kulihat barang yang mau kubawa sudah bersih dari
kamarku. Aku pun keluar.
Tantra sedang
asyik dengan tabletnya ketika aku menemukannya di teras. Dia mengangkat wajah
ketika aku muncul.
“Mas sudah
makan?”
Dia
menggeleng.
“Makan dulu
ya? Tapi aku cuma punya sarden dan sayuran beku. Mau?”
Dia tertawa
sedikit. “Ya sudahlah, nggak apa-apa.”
Aku tertawa
malu.
* * *
TANTRA
Cuma sarden
yang dicampur dengan sayuran beku, dan dipanaskan. Dan nasi putih hangat. Tapi
ini adalah makan siang paling nikmat yang pernah kualami sepanjang hidupku.
Sekaligus paling indah.
Apakah karena
rasanya? Ataukah senyum Gea? Sudah berapa lama kurindukan senyum itu? Ah!
Seperti mimpi rasanya merasakan begitu dekatnya aku dan dia sekarang.
Mata Geaku
masih tersaput mendung. Tapi setidaknya sudah ada semburat rona senyum di bibirnya.
Rupanya yang dia butuhkan untuk melepas bebannya selama ini Cuma menangis.
Sepuasnya. Dalam pelukanku.
Aku tak
mengatakan apa-apa. Tak bisa mengatakan apa-apa. Aku sendiri bingung dengan
perasaanku. Ke mana perginya seluruh getar hatiku? Hanya senang. Cuma itu yang
kurasa. Tanpa getar sama sekali. Apakah dia merasakan hal yang sama?
Ting tong!
Aku tersentak
mendengar bunyi itu. Gea mengernyitkan kening sambil berdiri dari duduknya. Aku
buru-buru menahannya.
“Aku saja
yang buka,” cegahku.
Dan sosok itu
berdiri di depan pintu. Sempat tersenyum, tapi senyum itu segera lenyap dari
bibirnya. Mungkin dia berharap yang di depannya sekarang Gea.
“Siang, Mas,”
ucapnya sopan.
“Mencari
Gea?”
Dia
mengangguk. “Ada?”
“Masuklah.”
“Mas lupa
padaku?”
Kutatap
laki-laki berkacamata itu. Ya, sepertinya aku pernah mengenalnya. Tentu saja
dia teman Gea, tapi siapa? Yang mana?
“Aku Nathan,
Mas,” senyumnya.
Aku terkejut.
“Nathan? Teman Gea dari kecil kan? Apa kabar?”
Aku
benar-benar lupa pada laki-laki ini. Seingatku dulu dia tidak segagah ini.
“Baik, Mas,”
dia menyambut jabat tangan dariku.
“Nat?”
Kami
sama-sama menoleh. Gea berjalan pelan mendekat.
“Kok kamu ke
sini? Aku dapat ijin cuti?”
“Tidak,”
jawab Nathan. “Kecuali kamu mengijinkanku ikut. Aku sudah janji mau mengantarmu
kan? Aku tak mau ingkar janji.”
“Tapi kantor
bagaimana?”
“Makanya aku
tadi minta waktu sejam. Kantor akan beres, dan aku perlu mengepak baju
sebentar. Aku tidak telat kan?”
Kulihat Gea
masih ternganga. Dan Nathan masih menatap Gea dengan senyum jahilnya. Aku hanya
mengerti sedikit apa yang mereka bicarakan. Tapi ujungnya cuma satu. Dia mau
ikut ke Surabaya. Mengantar Gea.bukankah sudah ada aku yang menjemputnya?
“Ya...,” Gea
masih menatap Nathan, seperti tak percaya. “Nathaaaan... Kamu memang paling
bisa bikin kejutan! Ya sudahlah...”
Dia tertawa
menang. Dan aku mencoba untuk tersenyum menanggapinya, saat dia menatapku.
“Kita bisa
gantian nyetir, Mas. Semarang-Surabaya jauh juga lho...”
Aku cuma bisa
mengangguk. Cuma mengangguk.
* * *
BAB 6
Mengurai
Jalinan Rindu
Perjalanan
yang cukup panjang bagi Gea. Berada di tengah dua laki-laki yang dia tahu
sangat menyayanginya ternyata tak bisa membuatnya nyaman. Gea menatap Nathan
yang tengah asyik dengan kemudi mobil Tantra di sepanjang jalur Tuban-Lamongan.
Ada yang
terasa hangat di hatinya. Entah dia akan jadi apa tanpa Nathan di sisinya
selama ini. Nathan selalu mencurahinya dengan kata-kata semangat dan
penghiburan. Tanpa pamrih apa-apa.
Benarkah
tanpa pamrih? Pelan Gea menghela napas panjang. Selalu ada sinar cinta dalam
mata Nathan. Tak perlu jadi orang pintar untuk mengenali arti tatapan Nathan.
Tapi Nathan tak pernah mengatakan apa-apa. Sekali lagi Gea menghela napas
panjang.
“Tidurlah
dulu kalau capek, Ge,” tegur Nathan lembut.
“Ya.”
Gea
mulai memejamkan mata. Di luar jendela langit senja menggelap. Lampu jalan pun
mulai menyala. Letih. Hanya itu yang dirasakan Gea. Membuatnya cepat terlena
dalam buaian mimpi. Dalam mobil yang tetap meluncur membelah jalan.
Tantra
menyodorkan botol minuman pada Nathan.
“Makasih,
Mas.”
“Kamu
sudah tahu segalanya kan?” suara Tantra terdengar rendah.
Nathan
langsung paham. “Ya, Mas,” jawabnya tenang.
“Kamu
mencintainya?”
Nathan
tetap berusaha untuk berkonsentrasi terhadap kemudinya, walau sempat buyar
sejenak. Tapi dia tak menemukan jawaban yang tepat selain sebuah pengakuan,
“Ya.”
Tantra
sudah siap untuk mendengar jawaban itu. Tapi tak urung ada juga bersit cemburu
menyala dalam hatinya. Sekuat tenaga dia memadamkan bara itu.
“Gea
tahu?”
“Aku
nggak tahu, Mas. Aku belum pernah menyatakan apa-apa.”
“Tapi
kukira dia tahu,” gumam Tantra.
Nathan
tak menjawab. Didengarnya Tantra menghela napas panjang di sebelah kirinya.
“Kenyataannya
adalah dia adikku sekarang. Nggak ada yang bisa kuperbuat lagi... Ah, sudahlah!
Mau gantian nyetir lagi?”
Nathan
menggeleng. “Nanti saja kalau sudah masuk Surabaya, Mas. Aku kan buta daerah
situ.”
“Oke.”
Terdengar
bunyi ponsel. Tantra merogoh saku celananya.
“Ya,
Ma?”
* * *
Handayani
menutup pembicaraan singkat dengan Tantra. Ada sedikit rasa kecewa ketika
mendengar Nathan ikut ke Surabaya. Seharusnya bisa diselesaikan cuma berempat,
pikirnya. Ah, sudahlah! Mungkin memang Gea butuh Nathan. Toh selama ini memang
Nathan yang lebih banyak ada di samping Gea.
“Sudah
sampai mana?”
Handayani
menoleh. Wajah Purwanto tampak segar sehabis mandi.
“Sudah
masuk Gresik.”
“Oh...”
“Papa
mau makan dulu?”
Purwanto
menggeleng. “Nanti saja sekalian sama anak-anak.”
“Nathan
ikut.”
Purwanto
menoleh cepat ke arah Handayani. Tapi Handayani cuma tersenyum.
“Mama
tahu tak mudah buat Papa menerima ada orang lain di dekat Gea,” ucapnya lembut.
“Tapi Mama kenal betul Nathan, Pa. Mama
tahu Gea bisa tetap berdiri tegak sampai sekarang karena Nathan.”
Mau
tak mau Purwanto harus mengaku kalah. Lima tahun berstatus sebagai ayah bagi
Gea, sesungguhnya dia tak pernah punya kontribusi apa-apa buat hidup Gea. Yang
ada dia turut menghancurkan keceriaan Gea. Setidaknya itu yang dia pahami.
Handayani
mengulurkan secangkir teh lemon. Membiarkan Purwanto menikmati keharuman aroma
campuran itu sebelum meneguknya. Terlihat laki-laki itu lebih rileks sedikit
sekarang. Handayani duduk di sebelahnya. Turut menikmati pendar-pendar lampu
taman.
Hampir
jam sembilan malam ketika sebuah mobil membunyikan klakson pendek di depan
pagar. Hampir berlari Purwanto membuka pintu pagar. Tantra meluncurkan mobil
sampai ke depan garasi begitu pintu terbuka.
Handayani
berdiri di tepi teras dengan senyum lebarnya. Penantiannya sudah berakhir.
Geanya sudah pulang.
* * *
“Kalian
masih bisa melanjutkan hubungan tanpa Mama dan Papa berpisah.”
Kalimat
yang diucapkan Purwanto dengan sangat lembut itu bagai guntur di telinga Gea
dan Tantra.
“Mama
dan Papa sudah tahu, Nak, walaupun sangat sangat terlambat,” lanjut Purwanto.
“Dan kalian tak ada hubungan darah. Tidak apa-apa bila hubungan kalian
berlanjut. Papa sudah konsultasi dengan Pastor.”
Wajah
Gea pias. Tantra membeku di seberang Gea.
Cerianya
rona mentari di luar sana tak bisa melumerkan kebekuan itu. Gea masih terdiam. Juga Tantra. Tak juga
saling menatap. Tapi ada tanya yang tiba-tiba menyadarkan Gea.
“Dari
mana Papa dan Mama tahu?”
Purwanto
dan Handayani saling menatap dalam hening. Itu sudah cukup buat Gea. Sontak dia bangkit berdiri dan berlari ke
lantai atas. Tanpa mengetuk lagi dibukanya sebuah pintu dengan kasar.
“Kenapa
kamu bilang sama Mama dan Papa?!”
Nathan
yang baru selesai mandi, masih memakai celana pendek, dan masih bertelanjang
dada hanya bisa terperangah. Tapi kelihatannya Gea tidak peduli. Dia menatap Nathan
dengan mata penuh nyala kemarahan.
“Kenapa,
Nat?!” tuntut Gea.
Tak
ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Dia masih terlalu kaget. Ditatapnya
Purwanto, Handayani, dan Tantra yang sudah ada di belakang punggung Gea.
Terlihat jelas Purwanto dan Handayani menatapnya dengan sejuta rasa bersalah.
Nathan mengerti.
“Aku
percayakan semuanya padamu. Tapi apa yang kamu lakukan, Nat?! Kamu
mengkhianatiku!”
“Ya,
aku mengkhianatimu,” ucap Nathan tenang. “Karena aku sudah capek melihatmu
tenggelam seperti selama ini. Aku kehilangan Gea, sahabat kecilku yang begitu
penuh dengan tawa dan ceria. Dan yang kudapati hanya Gea yang tak pernah mau
bangkit dari keterpurukan itu. Lima tahun sudah cukup, Ge. Sudah waktunya
bagimu untuk kembali. Walau aku harus kehilanganmu sekalipun. Asal kamu kembali
pada kebahagiaanmu.”
Perlahan
kemarahan Gea menyurut. Apalagi melihat ada kaca bening dalam mata Nathan yang
belum memakai kacamatanya. Handayani menarik tangan Purwanto dan Tantra,
menjauh dari kamar itu.
Hati-hati
Nathan mengulurkan tangannya. Menghapus airmata yang mulai mengalir di pipi
Gea. Lembut.
“Jadi
apa aku tanpamu?” bisik Gea.
“Mungkin
kamu malah bisa bangkit dengan cepat,” senyum Nathan. “Maafkan aku, Ge. Aku
sudah lancang memberitahu Mama-Papamu.”
“Sudahlah,”
Gea duduk di tepi bed.
Nathan
mengeluarkan kaos dari dalam ranselnya, kemudian memakainya dengan cepat.
“Terus?”
“Entahlah
aku bingung,” Gea menatap ranting pohon mangga di luar jendela kamar yang
ditempati Nathan. “Mereka bilang kami bisa berlanjut karena tak ada hubungan
darah.”
“Ya sudah
kan? Apa lagi? Habis perkara kan? Sesuai yang kalian mau?” sahut Nathan,
terdengar acuh tak acuh.
“Ya,
sesuai yang kami mau,” gumam Gea, tersenyum, seperti sudah tersadar dari
sesuatu.
Nathan
menatapnya. Akhirnya kebahagiaanmu kembali, Ge, bisik hatinya, tinggal aku yang
harus menata hatiku...
“Bagaimana
menurutmu, Nat?”
Nathan
tersentak. Ditatapnya Gea. Tanpa makna. Tak ada jawaban.
“Ini
juga kan yang kamu inginkan, Nat?” Gea menatapnya dalam. “Aku harus bahagia.
Pada akhirnya Tuhan mendengar doaku. Kamu pikir aku nggak capek juga membawa
beban ini? Beban pikiranku sendiri. Sudah berakhir, Nat. Semua sudah berakhir.”
Rasa
dingin mendadak menyelimuti Nathan. Ya, sudah berakhir. Begitu juga harapannya.
Rindunya.
Geanya
sudah kembali. Tapi tidak padanya.
* * *
BAB 7
Menjalin
Lembaran Rindu
Nathan
memasukkan baju kotor terakhir ke dalam kantong plastik. Kemudian dijejalkannya
kantong plastik itu ke dalam ransel. Selesai sudah. Selesai juga tugasnya
mendampingi Gea. Besok pagi dia akan kembali ke Semarang.
Dia
terduduk di tepi bed. Kalah?
Setidaknya
itu yang dia rasakan. Kekalahan setelah berjuang bertahun-tahun dalam diam.
Kekalahan yang terasa sangat menyakitkan. Kekalahan karena ternyata pamrih yang
dia harapkan terlalu besar.
Seharusnya
dia bahagia juga melihat Gea sudah mulai berjalan ke arah keceriaan. Tapi
kenapa masih ada ngilu yang menyiksa? Dihelanya napas panjang. Dia mengatupkan
mata dan merebahkan diri. Mencoba bermimpi tentang satu nama. Gea.
Sementara
itu Tantra terduduk diam di teras. Menghirup teh lemon. Mencoba berdamai dengan
perasaannya.
Apa
yang sesungguhnya dia inginkan? Merengkuh Gea? Tantra menggeleng pelan.
Timbunan rasa menggebu untuk sekedar melihat wajah Gea sudah terpuaskan. Begitu
saja. Tanpa getar lain yang seharusnya masih ada.
Bisakah
cinta terhapuskan begitu saja oleh waktu? Walau tiap detik yang sudah berlalu
kental oleh berbagai lembar rindu? Haruskah Gea tersakiti untuk kesekian
kalinya hanya karena cinta ternyata sudah hilang menguap begitu saja? Bagaimana
harus menjelaskan ini pada Gea?
“Mas...”
Cangkir
berisi teh lemon yang masih tersisa setengah itu hampir meluncur dari tangan
Tantra. Kaget. Dia menoleh. Gea berdiri di ambang pintu depan, dengan sebuah
gelas berada di tanggan. Menatapnya ragu.
“Mas,
aku mengganggu?”
Tantra
menggeleng. “Ada apa, Ge? Nggak bisa tidur?
Duduk sini,” Tantra menepuk kursi di sebelahnya.
Gea
menurut. Dibalasnya senyum Tantra dengan seulas senyum pula. Resah.
“Seharusnya
aku senang dengan kenyataan ini,” gumam Gea. “Tapi kenapa rasanya malah jadi
hambar?”
“Maksudmu?”
“Kamu
senang bertemu denganku, Mas?”
“Sangat.”
“Masih
mau melanjutkan yang dulu?”
Pertanyaan
itu telak menghantam kesadaran Tantra. Lalu dia harus menjawab apa? Karena rasanya
sudah lain.
“Mas
tak bisa menjawab. Atau Mas merasakan hal yang sama denganku?”
“Hal
yang sama apa?”
“Aku
cuma merasa semuanya jadi biasa saja. Aku senang bisa bertemu dengan Mas? Ya,
aku senang. Rasanya lukaku menutup sempurna begitu saja. Seketika. Tanpa bekas.
Hanya dengan aku menangis sepuasku dalam pelukan Mas. Hanya itu. Nggak lebih.”
“Waktu
sudah menyembuhkan kita, Ge. Tanpa kita pernah menyadarinya. Apakah seperti
itu?”
“Mas
juga merasakannya?”
Tantra
mengangguk.
“Aku
takut mengecewakan Mas. Tapi kurasa aku harus mengungkapkan ini, supaya Mas
tidak lebih sakit hati lagi.”
“Ya, aku mengerti. Karena aku pun merasakan hal yang
sama. Aku sayang kamu, Ge. Selamanya akan tetap seperti itu. Tapi aku rasa...
aku nggak bisa kembali seperti dulu.”
Ada napas kelegaan yang terhembus. Juga tawa tertahan.
Tantra menoleh dan mendapati Gea menatapnya dengan senyum tergambar di matanya.
“Duh... Aku hanya nggak menyangka ternyata semuanya
berjalan begitu mudah. Bodohnya aku...”
“Bodohnya kita...,” ralat Tantra. “Terlalu terkungkung
dalam lembaran rasa kita sendiri.”
“Mau menerimaku jadi adik?”
Tantra tersenyum. “Mau menerimaku jadi kakak?”
Bersamaan mereka mengangguk.
“Dan pacarmu yang tidur di atas?” goda Tantra.
Gea cemberut.
“Kamu mengharapkan sesuatu darinya?”
“Entahlah, Mas. Dia nggak pernah bilang apa-apa. Padahal
aku sudah terbiasa ada dia di sisiku. Baru sekarang kusadari, aku berharap
lebih. Terlampoau banyak.”
Tantra menggeleng. “Tidak berlebih. Pas. Orang nggak
punya perasaan pun tahu dia cinta padamu. Hanya perlu memaksanya untuk bicara.”
“Kamu yakin, Mas?”
“Potong jariku kalau dia tidak mencintaimu.”
Seketika hati Gea diselimuti debar-debar yang tak jelas
dari mana datangnya. Debar yang sebenarnya sudah lama ada, tapi dia sendiri selalu
ingkar dan menindasnya.
* * *
Nathan membuka pintu kamar ketika mendengar ada ketukan.
Dan Gea berdiri di depan pintu dengan senyum secerah dan sehangat mentari pagi.
Membuat Nathan mengeluh dalam hati.
“Kamu mau ke mana?!” mata Gea terbeliak ketika melihat
ransel tersandang di bahu Nathan.
“Pulang, Ge.”
“Tapi syukurannya masih 3 hari lagi.”
“Kamu sudah selamat sampai di sini. Aku sudah
mengantarmu. Kali ini aku memenuhi janjiku.”
Gea ternganga. Hati Nathan hampir luluh. Tapi dia
berusaha untuk tegar.
“Seandainya aku memintamu untuk tinggal?”
Nathan terhenyak. Ada nada harap yang sangat dalam suara
Gea.
“Seandainya aku mengharapkanmu untuk bicara?”
Nathan mengerutkan kening. “Untuk apa? Bicara apa?”
“Atau aku harus mengerahkan kakakku yang ganteng itu
untuk memaksamu bicara?”
Nathan makin tak mengerti. Gea menatapnya, setengah putus
asa. Dan akhirnya menyerah.
“Oke, kamu boleh pergi saat ini juga. Tapi setidaknya
katakan saja satu kalimat cinta untukku.”
Ransel terlepas dari bahu Nathan. Menimbulkan suara
berdebum ringan. Gea melenggang pergi. Meninggalkan Nathan dengan tatapan
bodohnya.
Pintu di seberang kamar Nathan terbuka. Nathan kaget.
Ditatapnya Tantra yang menatap dengan gemas dari seberang.
“Tinggal bilang I
love you saja apa susahnya sih, Nat?”
Nathan tertegun. Tantra makin gemas melihatnya.
“Katakan sekarang atau kamu akan kuusir dari rumah ini
karena sudah menyebabkan adikku patah hati!”
Perlu waktu sekian detik bagi Nathan untuk mencerna
rangkaian kejadian yang baru saja dialaminya. Dan dia segera berlari menyusul
Gea.
“Ge! Tunggu Ge!”
Gea berhenti di pertengahan tangga. Menatap ke atas.
Menunggu Nathan.
“Ge, aku akan tinggal asal kamu beri aku sesuatu.”
Gea melebarkan matanya. Penuh tanya.
“Hatimu, Ge. Seutuhnya.”
Gea tersenyum. Mengangguk. Menatap mata Nathan. Dalam.
* * * * *
Mbak....bedanya Novel sama novelet apa ya? jujur aku rada rancu sama dua istilah ini...
BalasHapusMaaf Mbak Rina, baru bales sekarang.
HapusSepengetahuanku sih novelet itu lebih pendek daripada novel. Kalo diketik dengan format standard, novelet jauh lebih panjang daripada cerpen, tapi belum memenuhi syarat (jumlah kata/halamannya) untuk jadi novel.
Mohon maaf kalo jawabanku kurang bener.
Makasih ya Mbak, dah berkenan mampir di sini :)
abis tak baca..! komen nya ntar tak sms wae..! wkwkwk.....**sekarang mo lanjut baca yg laen yak..? permisiiii....buk
BalasHapusMbak.. Pas bagian di rumah sakit gea udah tau kalo natan kasi tau ttg hub nya dgn tantra ke ortu mereka, tapi pas di surabaya kok dia kaget n marah ama nathan lagi
BalasHapus