Sebelumnya
* * *
Tiga Belas
Bimbim sudah meraih helmnya, hendak meninggalkan kantor Erbim Food. Tapi mendadak saja langkahnya terhenti beberapa langkah dari ambang pintu. Dari balik partisi one way yang menggantikan kaca jendela, ia bisa melihat ke arah luar dengan jelas. Ke arah kedai bakso Cak Blek yang memang menumpang di garasi, carport, dan sebagian teras kantor Erbim Food.
Pada suatu senja, saat masih persiapan pembukaan food truck yang pertama, Bimbim bertemu dengan Warsunu. Bimbim tengah duduk di sebuah bangku beton di tepi area food truck mereka, menunggu Ernest selesai berdiskusi dengan salah seorang anak buah mereka yang bernama Eko, ketika Warsunu lewat bersama gerobak baksonya. Aroma sedap kuah bakso mendadak saja menyerang indra penciuman Bimbim dan mengirim isyarat lapar ke otaknya.
Sepintas lalu diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah lewat dari pukul tujuh. Ia pun memanggil penjual bakso itu. Tak cukup makan semangkuk, mangkuk kedua pun tandas masuk ke dalam perut. Selain Bimbim lapar, bakso Warsunu – atau Bakso Malang Cak Blek, seperti yang tertulis di gerobak – memang enak.
Sambil makan, Bimbim pun mengobrol dengan Warsunu. Tak lama kemudian, Ernest dan Eko yang sudah selesai berdiskusi bergabung. Sisa bakso Warsunu mereka borong. Sambil menunggu Ernest dan Eko selesai makan, Bimbim pun melanjutkan obrolan dengan Warsunu, yang sesekali ditimpali Ernest.
Karena sangat tertarik dengan rasa bakso yang dijual Warsunu, Ernest pun menawari laki-laki itu untuk berjualan secara menetap. Kantor Erbim Food yang merupakan rumah hibah dari ayah Ernest masih menyisakan ruang kosong cukup besar dan hanya terpakai satu-dua ruangan saja di bagian depan. Ernest menawari Warsunu untuk buka kedai di sana. Gratis, tanpa dipungut uang sewa. Syaratnya, Warsunu harus ikut menjaga kebersihan dan keamanan tempat itu dengan sekalian tinggal di sana.
Awalnya Warsunu merasa segan, tapi Ernest ‘memaksa’, dan didukung oleh Bimbim. Akhirnya ia pun luluh. Seminggu kemudian, Bakso Malang Cak Blek pun resmi dibuka di kompleks tempat Bimbim dan Ernest tinggal. Naluri bisnis Ernest benar. Bakso Cak Blek laris diserbu pembeli. Warsunu pun tampaknya serius menjaga mutu bakso dagangannya. Walaupun jam buka warungnya diperpanjang dengan buka lebih ‘pagi’, tapi kualitas dan rasa bakso beserta semua pelengkapnya tetap terjaga.
Awal tahun kedua, dengan seizin Ernest sebagai pemilik rumah merangkap kantor Erbim Food itu, Warsunu kemudian meluaskan area servisnya hingga ke carport. Ernest setuju. Bahkan Warsunu bersedia menanggung biaya rehab pagar sehingga Ernest dan Bimbim punya akses keluar masuk khusus di sisi lain sudut pagar.
Menjelang akhir tahun kedua, Warsunu mengekspansi setengah teras depan untuk meluaskan lagi area servisnya. Ernest tetap setuju karena aktivitas kedai bakso tidak mengganggu aktivitas kantor Erbim Food. Setelah setengah teras siap dipakai oleh Warsunu, laki-laki berusia pertengahan tiga puluhan itu bersikeras ingin membayar uang sewa kepada Ernest.
Awalnya Ernest menolak. Tapi Warsunu memaksa. Lumayanlah bagi Ernest karena uang sewa dari Warsunu bisa menutup sepenuhnya biaya air dan listrik yang selama ini ditanggung Erbim Food, bahkan masih ada lebihnya. Kedai Warsunu masih bertahan hingga detik ini. Pelanggannya masih bisa ditampung oleh ruang garasi, carport berkanopi, dan setengah bagian teras. Kantor Erbim Food pun sangat terjaga kebersihannya, karena Warsunu benar-benar menjaga kenyamanan tempat itu, sebagai wujud terima kasihnya kepada Ernest dan Bimbim.
Dan, salah satu pelanggan setia bakso Cak Blek adalah Ingrid.
Seperti sore ini, gadis itu duduk manis untuk menikmati bakso di teras, bersama....
Endra....
Bimbim menggumamkan nama itu dengan dada terasa sedikit sesak. Bagaimanapun, baru hitungan beberapa puluh jam kesempatannya untuk memenangkan hati Ingrid tertutup sudah. Seikhlas apa pun ia menggiring rasa, tetap saja ada gejolak kecewa yang ia masih sulit kendalikan.
Sejenak, ia merasa ragu. Kalau keluar sekarang, ia pasti terlihat oleh Ingrid. Kalau berdiam lebih lama lagi di dalam kantor, sesungguhnya ia sudah lelah sekali. Seharian ia berada di jalan, memantau satu demi satu lokasi usahanya, berbagi dengan Ernest.
Ia kembali ke kantor karena harus memeriksa laporan pembukuan yang sudah disetorkan para penanggung jawab melalui surel. Belum selesai, tapi matahari sudah mulai menghilang. Ia tak mau memaksa diri. Ini sudah pertengahan minggu. Ia butuh tenaga untuk memulai harinya di tempat kerja baru awal minggu depan.
Akhirnya, dengan meneguhkan hati, Bimbim pun memutuskan untuk melanjutkan gerakannya. Mengambil helm, mengunci ruang arsip, dan keluar dari kantor sambil mengunci pintu depan dari luar. Ia berpura-pura tak tahu Ingrid ada di sana bersama Endra. Tapi suara lembut Ingrid segera menggema di telinganya. Ia pun menoleh. Berlagak terkejut.
“Eh, In! Lagi nyantai, nih?” sahutnya dengan suara diusahakan renyah.
“Hehehe.... Iya, nih!” angguk Ingrid. “Lagi ingin ngebakso di sini. Mas Bimbim sudah mau pulang?”
Bimbim mengangguk sambil memasukkan serenceng kunci kantor ke dalam kantung luar ranselnya.
“Aku duluan, ya,” pamitnya kemudian.
Ingrid dan Endra sama-sama mengangguk. Bimbim melangkah, tapi kemudian berhenti. Pemuda itu berbalik.
“Oh, ya, selamat buat kalian, ya. Ditunggu undangannya.” Bimbim berusaha untuk tersenyum. Setulus-tulusnya.
Ingrid dan Endra berbarengan mengucapkan terima kasih. Bimbim pun benar-benar undur diri.
Ketika Bimbim sudah pergi bersama motornya, Endra menatap Ingrid.
“In, tahu, nggak? Seandainya... aku nggak bisa dapetin kamu, satu-satunya cowok yang aku rela banget untuk memiliki kamu, itu cuma Bimbim.”
Ingrid tertegun sejenak.
“Kenapa?” hanya kata itu yang terpikirkan oleh Ingrid.
“Mm... Aku lihat Bimbim orangnya baik, lho. Baik banget malahan.” Suara Endra terdengar begitu tulus. “Jujur, ya, aku kagum sama keberaniannya keluar dari zona nyaman. Sama kayak Ernest. Lebih kagum lagi karena usaha mereka berkembang baik. Aku belum bisa seberani itu. Ya..., apa yang aku kerjakan sekarang memang nggak lebih ringan daripada kerja Bimbim dan Ernest, sih. Tapi tetap saja orang-orang yang bersedia keluar dari zona nyaman dan mau merintis dari nol sangat mengagumkan bagiku.”
Sejenak Ingrid tertegun. Entah kenapa, kata-kata Endra sangat menyentuh hatinya.
Ada lagi kepingan puzzle diri Endra berhasil ia temukan. Endra tak segan memuji orang lain, rivalnya sekalipun. Endra objektif. Mungkin Bimbim memiliki juga sifat itu. Tapi tetap saja rasa tak bisa bohong. Rasa bahwa ia memang lebih nyaman bersama Endra. Mungkin itu termasuk dalam cinta. Ia belum tahu. Ia tak ingin mencari tahu. Ia hanya ingin menikmatinya saja. Berdua dengan Endra.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Silakan singgah juga ke cerpen yang mengudara sebelum episode ini. Judulnya "Pelet". Selamat menikmati....