Jumat, 05 Oktober 2018

[Cerbung] Perangkap Dua Masa #13-2









Sebelumnya



* * *



Ernest sudah ada di rumah ketika Ingrid pulang dari makan bakso bersama Endra. Pada detik itu, mau tak mau, ingatannya melayang pada Bimbim.

Sejak ia memberitahu Bimbim soal pilihannya, ia belum lagi ‘mengobrol’ dengan pemuda itu. Sekilas, ia melihat bahwa Bimbim baik-baik saja. Tapi mengingat segala kebaikan pemuda itu selama ini, dan pilihannya, dimantapkannya hati untuk bertanya kepada abangnya. Ia pun menjatuhkan diri di sofa, tepat di sebelah Ernest duduk sendirian sambil menonton televisi dan memangku satu stoples besar keripik bawang.

“Bang....”

“Hmm...,” Ernest tidak mengalihkan tatapannya dari televisi. Bahkan mulutnya masih sibuk mengunyah keripik bawang.

Ingrid mengerucutkan bibir. Diam. Menyadari keheningan itu, Ernest pun menoleh. Terbengong sejenak melihat ekspresi adik bungsunya, sebelum tersenyum lebar.

“Jelek, tahu, cemberut gitu,” ledeknya.

“Biarin!” Ingrid merajuk aleman.

“Ada apa panggil-panggil?”

“Mm.... Itu... Mas Bimbim nggak kenapa-napa?”

Ernest mengerutkan kening. “Kenapa-napa apanya?”

“Mm...,” Ingrid menggigit bibir bawahnya sedetik. “Aku, kan, sekarang jadian sama Mas Endra. Mas Bimbim nggak apa-apa?”

“Lha, kenapa nggak kamu tanya sendiri ke orangnya?”

“Segan, ah!”

“Atau dilarang sama Endra?”

"Eh, enggak, ya!” Ingrid buru-buru membantah. “Dia justru nggak apa-apa kalau aku terus berteman sama Mas Bimbim. Nggak kasih batas apa-apa. Aku saja yang memang harus tahu diri.”

“Hehehe...,” Ernest terkekeh sedikit. Ia kemudian mengangguk. “Ya, dia sedih. Dia patah hati. Tapi dia baik-baik saja. Senin depan ini dia sudah mulai masuk kerja.”

“Hah?” Ingrid membelalakkan matanya. “Dia mau kerja di mana?”

“Di Forseti. Jadi staf akunting.”

“Wow...!” Ingrid masih membelalakkan matanya.

Setahunya, grup perusahaan Forseti masih jadi salah satu tempat terbaik untuk meniti karier. Sayangnya, saringannya sangat ketat. Banyak syarat juga yang harus dipenuhi. Cukup sulit untuk masuk ke sana.

Dan, Mas Bimbim bisa lolos?

Ingrid berdecak kagum.

Hebat banget dia!

Tapi, sedetik kemudian ia menyadari sesuatu. Ditatapnya Ernest dengan sorot mata menyelidik.

“Tapi kalian baik-baik saja, kan? Masih tetap join jalanin usaha, kan?”

“Ya, iyalah,” tegas Ernest. “Karena dia sekarang jadi orang kantoran, makanya jadi lebih banyak urusan jatuh di aku untuk urusin Erbim. Ya, nggak apa-apa, sih. Waktu luangku lebih banyak.”

“Oh...,” Ingrid manggut-manggut.

“Lumayanlah, dia bisa lebih sibuk lagi,” Ernest tersenyum lebar. “Biar nggak kebayang kamu terus.”

Ingrid tertunduk. Mau tak mau, perasaan bersalah itu menghinggapinya lagi. Ernest rupanya menangkap keresahan itu. Dijangkaunya bahu Ingrid. Direngkuhnya hangat.

“Nggak perlu merasa bersalah gitulah...,” ujar Ernest lembut. “Kamu berhak memilih. Lagipula Endra juga baik, kok, anaknya. Kalau kamu lepasin Bimbim demi Endra, buatku pribadi nggak masalah. Kalau kamu pilih cowok lain, pasti aku suruh kamu pikir-pikir lagi. Apalagi si Ken itu. Nggak berguna banget!”

Ingrid tertawa mendengar gerutuan abangnya. Ia merasa kian mantap melabuhkan hatinya kepada Endra. Selama ini ia melihat Endra apa adanya, bukan ‘ada apanya’. Kalau seandainya Endra tajir, ia anggap itulah bonus untuknya.

* * *

Sambil menguap, Bimbim menutup layar laptopnya. Pekerjaannya memeriksa laporan keuangan sudah selesai. Semuanya beres hingga ke nilai sen. Sambil menguap sekali lagi, ia menyandarkan punggungnya ke kursi.

Selalu ada hal baru untuk dimulai.

Hal baru yang membuat semangatnya timbul kembali. Tak ada keraguan sedikit pun untuk memulai lembar baru sebagai staf di Forseti Group. Ia tahu standar tinggi yang diberlakukan oleh perusahaan itu. Bahkan untuk ‘sekadar’ menyatukan visi dan misi, sepanjang minggu depan ia belum akan resmi bekerja. Ada pembekalan yang jadwalnya sudah ia terima saat penandatanganan kontrak kerja beberapa waktu lalu.

Satu tahun kontrak kerja dengan seminggu masa pembekalan. Setelahnya masih bisa satu kali kontrak kerja lagi selama setahun bila dianggap mampu bertahan dalam iklim kerja Forseti Group, dan pada ujungnya adalah status karyawan tetap bila ia benar-benar bisa lolos dari lubang jarum. Yang diketahuinya, Forseti sekarang sudah lebih manusiawi daripada dulu. Forseti sudah berganti kepemimpinan walaupun masih dipegang oleh ahli waris tunggal. Yang diketahuinya pula, bos Forseti Group yang sekarang adalah jebolan dari Eternal Co.. Dua perusahaan raksasa yang sama-sama bonafid dan terus berkembang baik hingga detik ini.

Semoga aku betah di sana.

Bimbim berdiri untuk berbaring di ranjangnya. Malam sudah merambat hampir menuju puncak. Tapi baru saja dua langkah ia meninggalkan kursi, ponselnya di atas meja berbunyi. Ia berbalik dan meraih benda itu. Pesan dari Ingrid.

‘Hai, Mas Bim! Aku dengar dari Abang, Mas Bim diterima masuk ke Forseti, ya?’

Ia membawa ponsel itu ke ranjang, dan membalas pesan Ingrid sambil berbaring.

‘Iya, In. Baru masa percobaan, kok. Doakan aku betah di sana, ya.’

‘Wah, selamat, ya, Mas. Ditunggu traktirannya. Pasti aku doakan yang baik-baik.’

‘Doakan ketemu jodoh juga. Hehehe....’ Bimbim meringis membaca kalimatnya sendiri.

‘Iya, pasti aku doakan juga. Yang jauh lebih oke daripada aku.’

‘Hahaha... Ketinggian, In.’

‘Enggaklah. Cewek baik buat cowok baik. Mas Bimbim cowok baik, harus dapat cewek baik.’

‘Amin.... Amin.... Eh, ngomong-ngomong soal traktiran, malam Minggu besok kamu sama Endra ke food truck yang dekat rumah Erma, ya?’

‘Serius?’

‘Serius! Kalian boleh makan sepuasnya, menu apa saja, minum apa pun, ngemil sembarang, aku yang bayarin. Please, jangan nolak.’

‘Asyik! Nanti aku bilang Mas Endra. Makasih banyak, ya, Mas. Oke, deh, aku bobok dulu. Bubye, Mas Bim. Sweet dream!

Setelah membalas pesan itu untuk terakhir kalinya, Bimbim meletakkan ponselnya di nakas. Diregangkannya seluruh tubuh sebelum meringkuk nyaman di balik selimut.

Sedih karena tak berhasil mendapatkan Ingrid? Pasti. Patah hati? Otomatis. Tapi ia tak mau tenggelam sedikit pun. Bukan karena tak benar-benar mencintai Ingrid. Melainkan karena ia sudah yakin Ingrid berada di tangan yang terbaik.

Ia menguap. Memejamkan mata. Membiarkan dunia mimpi mengambil alih kesadarannya.

* * *

Ingrid mengembuskan napas panjang. Selega-leganya. Tampaknya Bimbim memang baik-baik saja. Ia kemudian berbaring telentang. Menatap langit-langit kamarnya yang seolah penuh pendar bintang dalam gelap. Beberapa detik kemudian ia tersadar. Undangan makan dari Bimbim. Ia merasa hal itu cukup penting, dan ia ingin Endra bisa menyisihkan waktu untuk itu.

‘Mas Endra, sudah bobok?’

Dengan sedikit ragu dikirimkannya pesan itu. Ternyata, nyaris seketika ia mendapatkan jawabannya.

‘Belum. Nih, lagi siap-siap. Kamu, kok, belum bobok? Sudah jam segini, lho.’

‘Iya, ini juga lagi siap-siap. Eh, Mas Endra, malem Minggu ini ada waktu, nggak?’

‘Wah, aku ada rapat panitia nikahannya Joya. Rapat terakhir. Kenapa?’

Ingrid menggigit bibir menerima jawaban itu.

‘Jam berapa?’

‘Sore, jam limaan. Bisa sampai malam. Kenapa, memangnya? Mau diantar ke mana?’

‘Kan, Mas Bimbim diterima kerja. Masuk mulai Senin depan ini. Nah, malem Minggu itu mau traktir kita makan di food truck-nya. Yang dekat rumah Kak Erma.’

‘Bukannya dia usahanya sudah maju?’

‘Ya, nggak tahulah. Rencana orang mana kita tahu, sih?’

‘Oke, deh. Coba nanti aku kabur duluan. Lagian rumah Erma, kan, nggak jauh dari rumah Joya. Mau jam berapa?’

‘Wah, aku malah belum tahu jamnya. Mas bisanya jam berapa?’

‘Sekitar jam delapan terlalu malam, nggak? Habis itu kita nonton midnight. Sekalian sama Joya dan Ibeng. Biar Joya dan Ibeng langsung ke bioskop saja. Kita ketemuan sama Bimbim dulu. Gimana?’

‘Bisa diatur begitu?’

‘Bisalah....’

‘Oke, deh, besok aku bilang sama Mas Bimbim.’

‘Eh, ngomong-ngomong, Bimbim diterima kerja di mana?’

‘Di Forseti. Staf akunting, kalau nggak salah.’

‘Forseti mana?’

‘Ya, Forseti yang itu, yang gede banget itu.’

‘Hehehe.... Iya, aku tahu. Maksudku, di Forseti apa? Kan, di Forseti multi usaha.’

‘Oh, hehehe, soal itu aku nggak tahu.’

‘Oke, deh. Ada lagi?’

“Sudah. Sudah ngantuk, hehehe....’

‘Oke, deh, Tuan Putri. Mimpi indah, ya? Mimpiin aku, hehehe....’

‘Widiiih.... Kalau anak buah tahu Pak Bos bisa genit juga kayak gini, gimana, ya?’

‘Hahaha....’

Pembicaraan dalam hening itu pun berakhir tak lama kemudian, setelah keduanya saling mengucapkan salam dan harapan agar bermimpi indah.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)




1 komentar: