Sebelumnya
* * *
Wajah Ingrid tak secerah biasanya. Semendung langit di atas yang tengah mencucurkan rintik hujan. Endra seutuhnya menyadari perubahan itu. Ingrid yang biasanya cukup ceriwis, kali ini lebih banyak diam. Maka, dengan nada sangat hati-hati, ia bertanya sambil terus mengemudikan mobilnya.
“In, lagi bete kayaknya, ya?”
Ingrid menoleh sekilas. Bibirnya masih sedikit mengerucut. Sedetik kemudian ia menghela napas panjang sebelum buka suara.
“Aku, tuh, jengkel, jengkeeel banget sama Mas Ken,” Ingrid pun memulai curhat-nya. “Masa enak banget dia tiba-tiba saja melamar aku jadi pacarnya, setelah bertahun-tahun menoleh saja enggak, padahal aslinya dia juga suka sama aku. Alasannya, dia nggak yakin bisa serius sekolah dan pacaran denganku sekaligus. Dipikirnya aku ini tukang bikin kacau pendidikan orang lain, apa? Jadi cowok nggak tegas banget!”
Ingrid menghela napas panjang lagi. Sementara itu, dengan sabar Endra pasang telinga baik-baik.
“Nggak mikir dia, apa yang sudah dia lakukan sampai bikin aku jomlo sampai sekarang,” lanjut Ingrid. “Eh, nggak, sih, nggak jomlo lagi sekarang,” Ingrid cepat-cepat meralat ucapannya.
Mau tak mau, Endra mengulum senyum mendengar ralatan Ingrid.
“Masih gemes aku sama sikapnya,” Ingrid melanjutkan lagi gerundelannya. “Nggak tegas. Nggak berani ambil risiko. Nggak mikir perasaan orang lain.”
Lalu hening. Beberapa belas detik kemudian, Ingrid menolehkan kepalanya ke kanan.
“Mas Endra dengar aku ngomong, nggak, sih?” gerutunya.
“Lho, dengar, In,” Endra menoleh sekilas. “Nah, sudah selesai apa belum ngomelnya?”
Mau tak mau, Ingrid tertawa mendengar ucapan Endra. Entah kenapa, rasanya delapan puluh persen kejengkelannya sudah menguap. Dadanya terasa jauh lebih longgar kini.
“Iya, sudah. Aku sudah selesai. Ayo, Mas Endra mau menanggapi gimana?”
“Beneran butuh tanggapan?” Endra tersenyum geli.
“Mas Endra, ih!” Ingrid berlagak merajuk. “Sini sudah ngomong sampai berbusa, situ malah woles saja.”
“Hehehe...,” Endra terkekeh sejenak. Tapi sesaat kemudian ia berubah jadi lebih serius. “Oke.... Jadi aku boleh ngomong, ya?”
Ingrid mengangguk.
“Yang pertama, aku senang kamu sudah begini terbuka sama aku. Yang kedua, kamu berhak, kok, merasa jengkel. Tapi jangan berkepanjangan, sampai merusak keceriaan kamu sendiri. Yang ketiga, setiap orang itu isi kepalanya lain-lain. Jadi, kita nggak bisa berharap semua orang bisa ikut skenario yang kita inginkan. Sampai di sini, ada yang mau kamu omongin?”
“Enggak,” Ingrid menggeleng. “Teruskan.”
“Oke, sampai ke berapa tadi, ya?”
“Ketiga,” jawab Ingrid cepat.
“Oh, ya, ketiga. Lanjut keempat, kalau memang sudah nggak ada apa-apa lagi dengan perasaan kamu terhadap Ken, cobalah untuk melepaskan ganjalan itu begitu saja. Nggak perlu pakai syarat. Kamu punya banyak hal lain yang jauh lebih berharga daripada sekadar bete karena Ken telat melamar kamu. Yang kelima, coba ambilin tas kertas di belakang jokku ini.”
Ingrid mengerutkan kening sejenak sebelum menuruti permintaan Endra. Setelah memutar tubuh dan tangannya meraih ke dalam kantung penyimpanan di belakang sandaran jok Endra, ia menemukan sebuah tas kertas yang dimaksud pemuda itu. Ditariknya tas kertas yang berisi benda semacam kotak berukuran cukup besar.
“Ini?” Diangkatnya tas kertas itu.
“Yup!” Endra mengangguk. “Nah, itu buat kamu.”
Wow!
Kejutan yang menyenangkan. Begitu saja terasa menghangatkan hati Ingrid. Mau tak mau, gadis itu tersenyum.
“Apa ini, Mas?”
“Buka saja, In.” Endra menoleh sekilas. Tersenyum lebar.
Ingrid membuka tas kertas itu, menarik keluar kotak besar tipis terbungkus kertas coklat berhiaskan simpul pita berwarna emas dari dalam tas, kemudian membuka bungkusnya pelan-pelan. Terkesan sangat hati-hati. Ternyata bungkusan itu berisi dua buah kotak tipis berukuran sama. Dan, mata Ingrid seketika berbinar melihat kotak apakah itu.
“Aiiih! Cokelat!” serunya. “Whoaaa....”
Kedua kotak itu berisi coklat pralin aneka bentuk dan isi. Godiva, cokelat premium asli buatan Belgia. Ingrid menoleh cepat.
“Kayaknya asli Belgia, nih!” ucapnya dengan nada riang.
“Memang.” Endra tertawa. “Sepupuku ada yang baru saja pulang dari sana. Sengaja aku titip buat kamu.”
“Owh....” So sweet... “Makasih banyak, ya, Mas....”
“Sama-sama. Suka, nggak?” Endra masih mengulas senyum.
“Suka! Banget!” Ingrid tak berusaha menyembunyikan tawa girangnya.
“Jadi.... masih bete?”
Ingrid memperkeras tawanya. Endra senang sekali melihatnya. Awan kelabu sudah seutuhnya lenyap dari wajah Ingrid.
“Ha! Ngapain juga aku masih mikirin Mas Ken, ya?” Ingrid meringis geli. “Nggak penting amat.”
“Masih ada lagi, lho, yang keenam,” Endra mengulum senyum.
“Apa, tuh?” Ingrid merapikan lagi kotak cokelatnya. Merasa sayang kalau dimakan sekarang. Cokelat premium, euy!
“Aku sayang sama kamu, In. Sayaaang banget.”
Mulut Ingrid seketika terkunci. Tak tahu harus bagaimana menanggapinya. Bahkan, semua perbendaharaan kata yang ia miliki dalam benak seolah lenyap. Pun bayangan sosok Ken yang masih sedikit tersisa, kini habis terurai begitu saja tanpa bekas.
Satu hal yang ia rasakan. Seolah ada ledakan dan hamburan confetti warna-warni di sekitarnya. Indah. Sangat menyenangkan!
* * *
“Lho, kok, sudah pulang?” Cindra menatap anak bungsunya dengan raut wajah heran. Tapi melihat awan hitam terlihat menyelimuti wajah Ken, ia sudah bisa mengira-ngira apa yang telah terjadi. Samar, diembuskannya napas panjang.
“Iya,” jawab Ken, hampir tak terdengar. “Gagal, Ma.”
Ken menjatuhkan diri di sebelah ibunya yang duduk santai sendirian di sofa ruang tengah. Entah ke mana ayahnya saat ini.
“Gimana ceritanya?” Cindra menyodorkan cangkir berisi teh hangat yang baru dituangnya dari sebuah teko keramik. Ken menerimanya sambil menggumamkan terima kasih.
“Ya..., aku telat,” jawab Ken setelah menyesap sedikit isi cangkirnya. “Ingrid sudah digandeng orang. Yang tempo hari jemput dia di sanggar itu.”
“Ha? Yang kamu bilang bos besar itu? Calon bosmu?” alis Cindra seketika terangkat tinggi-tinggi.
Ken mengangguk dengan ekspresi pasrah.
“Sudah pasti?” kejar Cindra lagi.
Ken kembali mengangguk. “Gelagatnya, sih, gitu. Malah Ingrid sempat marah-marah, kok, Ma. ‘Kenapa nggak pernah ngomong?’, gitu katanya.”
Cindra menghenyakkan pungungnya ke sandaran sofa. Mama bilang juga apa?! Ingin ia meneriakkan kalimat itu keras-keras di telinga Ken. Hanya saja ia masih bisa menahan diri. Anak bungsunya sedang terpuruk. Kurang bijak rasanya kalau ia mengungkit apa yang pernah ia ucapkan.
Sebagai seorang ibu, walaupun tak pernah punya anak perempuan, yang pernah menjadi seorang gadis, dengan jelas ia bisa menangkap pertanda bahwa Ingrid menyukai Ken. Sejak dulu, sejak Ingrid masih menjadi remaja yang baru berkembang. Ia pernah secara tersirat membicarakan hal itu dengan Ken. Menyinggung-nyinggung bahwa ia akan senang sekali bila nanti sanggar ada yang meneruskan.
“Ya.... karena masmu nggak ada hati di seni tari, harapan Mama cuma kamu, Ken. Kayaknya asyik kalau bisa mewariskan sanggar padamu dan pasanganmu kelak. Misalnya... Ingrid, tuh, yang jelas-jelas mencintai seni tari.”
Begitu ia pernah berucap. Rangkaian kalimat yang sempat membuat wajah Ken sedikit memerah. Tapi sayangnya si anak bungsu acuh beybeh. Lebih mementingkan studinya daripada hal-hal lain. Sebetulnya Cindra senang saja karena Ken tidak terseret jadi pemuda begajulan yang tidak ingat masa depan. Hanya saja soal Ingrid, ia terpaksa angkat tangan. Ken terlalu kukuh memegang prinsip ‘hendak sekolah dulu’.
Sampai akhirnya jadi terlambat....
Cindra menghela napas panjang. Kini secara terang-terangan. Membuat Ken mengangkat wajah dan menatap ibunya.
“Ya, aku ternyata salah menentukan pilihan,” Ken mengakuinya dengan jujur. “Belajar itu penting, tapi bersosialisasi juga penting. Seandainya saja aku lebih berani memutuskan untuk menjalani keduanya....”
“Sayangnya, waktu nggak bisa diputar balik,” tukas Cindra, lembut.
“Itulah...,” Ken mendesah.
“Jadi, sekarang gimana?”
“Ya, tetaplah aku harus berangkat ke Singapura,” jawab Ken dengan nada berat. “Aku sudah menjatuhkan pilihan, aku sudah diberi kesempatan, aku nggak akan bikin salah dua kali dengan melepaskan kesempatan itu. Apalagi harga yang harus kubayar mahal sekali, Ma.” Sampai aku harus patah hati begini. Patah hatiii....
“Kamu sudah dewasa,” Cindra menanggapinya dengan bijak. “Sudah bisa ambil pelajaran dari apa yang kamu alami. Pesan Mama, selalu ingatlah bahwa kesempatan yang sama jarang sekali datang untuk kedua kalinya.”
“Iya, Ma,” Ken mengangguk patuh.
Cindra tersenyum sambil menepuk lembut bahu anak bungsunya.
“Lho, sudah pulang anak ini?”
Suara berat itu membuat Cindra dan Ken sama-sama menoleh. Damar muncul dengan wajah segar seusai mandi.
“Katanya mau nge-date?”
“Nggak jadi...,” Cindra membantu menjawab.
Ken hanya bisa meringis pasrah. Sama sekali tanpa semangat. Sejenak kemudian Ken undur diri dengan alasan hendak mencuci baju. Damar menatap Cindra begitu si bungsu mereka menghilang dari pandangan.
“Patah hati...,” bisik Cindra.
“Oh...,” Damar menanggapinya tanpa suara. “Yang pernah Mama khawatirkan itu?”
Cindra mengangguk. Damar kembali membentuk bibirnya jadi huruf ‘O’ sembari manggut-manggut.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Hayuuuk... Mampir juga ke cerpen terbaru di sini berjudul "Pelet". Bonus menjelang pertengahan minggu. 🙏💕
Hayuuuk... Mampir juga ke cerpen terbaru di sini berjudul "Pelet". Bonus menjelang pertengahan minggu. 🙏💕