Senin, 08 Oktober 2018

[Cerbung] Perangkap Dua Masa #14 (Tamat)







Sebelumnya



* * *


Empat Belas


Ingrid sedang asyik membantu ibunya merapikan rumpun-rumpun mawar di taman depan rumah Senin sore itu. Langit sudah biru tua, bahkan lampu taman pun sudah menyala. Baru saja selesai menggulung selang yang digunakan untuk menyiram semua tanaman, sebuah skutik bongsor meluncur masuk ke carport.

“Met sore, Tante! Met sore, Ingrid!” seruan meriah itu membuat Ingrid dan ibunya sama-sama tersenyum lebar.

Setelah mengaitkan helm pada motornya, Bimbim segera menghampiri Ingrid dan Flora. Dengan takzim, pemuda itu menyalami dan mencium sekilas punggung tangan Flora. Berikutnya, ia melakukan toss dengan Ingrid.

“Wah, yang orang kantoran...,” goda Flora.

Bimbim tersipu sejenak sebelum tertawa lebar.

“Masih training ini, kok, Tan,” kilahnya.

“Apa pun, kalau dijalani dengan serius dan berasal dari hati, pasti hasilnya bagus,” ujar Flora.

Bimbim mengangguk patuh.

“Ya, sudah, kalian ngobrol dulu.” Flora menatap Ingrid. “Biar Mama panggil Bibik saja buat beresin selang.”

Ingrid pun mengangguk. Ia kemudian mengajak Bimbim duduk di teras, sementara Flora masuk melalui garasi.

“Gimana? Gimana?” Ingrid melebarkan matanya yang indah. Menunggu cerita Bimbim.

“Hmm.... Jadiii.... aku tadi bisa duduk sebelahan sama dia,” senyum Bimbim.

“Terus? Terus?” ekspresi Ingrid terlihat antusias sekali.

“Ya..., namanya lagi serius training, In, masa mau ngobrol?”

“Yah...,” bahu Ingrid turun sedikit.

“Eits!” Bimbim mengangkat tangan kanannya. “Jangan salah! Pas istirahat makan siang aku barengan, kok, sama dia. Bisa ngobrol lebih banyak lagi.”

“Sinyalnya?” Ingrid kembali membelalakkan matanya.

“Aduh, In.... Baru juga mulai,” erang Bimbim.

“Cuma sinyal doang,” kilah Ingrid.

“Mm.... Ya...., bolehlah berharap,” senyum Bimbim. “Meskipun masih agak terlalu dini.”

“Optimislah....”

“Iya, optimis!” Bimbim menegakkan punggungnya. Ekspresi wajahnya pun menunjukkan hal yang sama. Membuat Ingrid merasa lega.



Sabtu kemarin, Bimbim jadi mentraktirnya dan Endra makan di food truck. Sesuai perjanjian, Ingrid menunggu di rumah Erma untuk dijemput Endra pada sekitar pukul delapan. Beberapa menit lewat dari pukul delapan, Endra pun muncul.

“Ini nanti jadi nonton midnight?” tanya Ingrid ketika Endra sudah meluncurkan mobilnya.

“Jadilah.... Sudah di-booking­-in tiket sama Joya. Nonton rame-rame, nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa, dong,” Ingrid tertawa ringan.

“Berenam,” Endra mengulum senyum.

“Hah?” Ingrid seketika menatap Endra yang serius mengemudi di samping kanannya. “Siapa saja?”

“Kita, Joya, Ibeng, Lusi, sama Bimbim. Tugasmu nanti ajakin Bimbim.”

“Lusi siapa?” Ingrid melebarkan matanya.

“Adik si Ibeng. Dia diterima juga di Forseti, lho!”

“Oh, ya?” Diam-diam Ingrid mencium bau persengkongkolan di sini. “Wah, naga-naganya, bakal dijodohin sama Mas Bimbim, ya?”

“Hehehe.... Ide Joya, tuh. Gimana? Kamu nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apalah... Malah senang. Lusi gimana anaknya?”

Endra mengulum senyum.

* * *

Ternyata Lusi gadis yang sangat menyenangkan. Ramah dan cepat sekali mengakrabkan diri. Dalam waktu sebentar saja mereka sudah seperti kawan lama. Lusi yang manis dan kecil mungil itu usianya setahun lebih tua daripada Ingrid. Baru lulus sarjana tahun lalu. Sarjana Psikologi. Sempat magang dengan bergabung di sebuah klinik psikologi di Surabaya sebelum memutuskan untuk mencoba melamar di Forseti.

Obrolan mereka berenam nyambung sekali. Pun Bimbim dan Lusi. Berkali-kali Ingrid, Endra, dan Joya saling bertukar tatapan penuh harap. Mudah sekali bagi Ingrid untuk meminta Bimbim bergabung dengan mereka untuk nonton film midnight. Di samping memang filmnya menarik, tampaknya suasana yang terjalin di antara mereka pun asyik-asyik saja.

Di dalam bioskop, entah disengaja atau tidak, posisi Ingrid ada di antara Endra dan Joya. Di sebelah Joya ada Ibeng. Bersama Bimbim, Ibeng mengapit Lusi.

“Mbak, ini serius mau jodohin mereka?” bisik Ingrid di tengah kesibukannya membuka bungkus pop corn.

“Iya, menurutmu gimana?” Joya balas berbisik.

“Keren, sih! Lusi asyik banget anaknya.”

Joya tertawa lirih. Sekilas ditatapnya Ingrid.

“Mau bantuin, kan?”

“Mau! Mau!” seru Ingrid, tetap dalam bisikan.

“Lusi juga belum lama ini patah hati,” Joya meneruskan bisikannya. ”Cowoknya hamilin cewek lain. Padahal sudah pacaran dari SMA. Makanya dia niat banget keluar dari Surabaya. Cari kerja di sini. Lumayanlah bisa masuk di Forseti. Aku suruh masuk ke Eternal nggak mau. Nggak mau pakai koneksi dia. Makanya masuk Forseti kan anonim. Nggak bawa namaku atau Endra.”

“Eh, memang ada hubungan apa Mbak Joya dan Mas Endra sama Forseti?’

“Lho, Endra memangnya nggak bilang? Bos besar Forseti, kan, kakaknya.”

“Kak Kania?” Ingrid ternganga.

Ia sudah pernah berkenalan dengan Kania. Hanya sekilas. Tidak cukup untuk mengetahui siapa dan bagaimana Kania. Lagipula, kedekatannya dengan Endra benar-benar belum sedalam itu. Masih perlu waktu untuk berproses.

“Iya, Mbak Kania,” angguk Joya. “Ayah kandung Mbak Kania, kan, salah satu ahli waris Forseti. Berhubung sudah meninggal, jatuhnya ke tangan Mbak Kania. Jadi ahli waris tunggal, karena tantenya pun sudah nggak ada.”

“Oh....”

Mendadak saja, Ingrid merasa kecil berada di tengah-tengah Joya dan Endra. Ia kemudian terdiam. Tapi sepertinya Joya punya bakat jadi cenayang. Tahu apa yang ada di kepala Ingrid. Dengan halus ia menyenggolkan lengannya ke lengan Ingrid.

“Hei, kami ini keluarga biasa-biasa saja, kok,” Joya tetap berbisik. “Masih doyan nasi, masih doyan ketawa. Nggak ada yang istimewa. Meskipun kayaknya kerjaan kami mentereng, tapi ada kerja keras di balik itu. Mempertahankan jauh lebih sulit daripada membangun. Maafkan Mas Endra kalau suatu waktu nanti dia terlalu sibuk. Tapi aku jamin, dia nggak akan meleng ke mana-mana.”

Ingrid tersenyum menatap Joya. Yang ditatap pun balas tersenyum. Bersamaan dengan itu, lampu dalam bioskop mulai dipadamkan.



“Apa menurutmu, ini nggak terlalu cepat?”

Suara lirih Bimbim menyentakkan Ingrid dari lamunan sekilasnya. Ia mengangkat wajah. Ditatapnya Bimbim.

“Menurutku, lebih cepat Mas Bimbim move on, lebih baik buat Mas Bimbim,” Ingrid menanggapi dengan sangat serius. “Jujur, aku nggak ingin Mas Bimbim kayak aku. Mengharap yang enggak-enggak, terpaku susah move on. Ternyata perasaan itu ujungnya salah. Bukan seperti yang selama ini kubayangkan.”

Bimbim tampak termenung.

“Adakalanya masa itu memerangkap, Mas,” lanjut Ingrid. “Kayak kejadian aku sama Mas Ken. Kalau aku terlalu main perasaan, nggak ingat logika, pasti aku terperangkap juga. Sudah telanjur kehilangan banyak hal, masih terperangkap pula. Akhirnya nanti dapat apa? Sekarang aku tanya, Mas Bimbim merasa gimana ngobrol sama Lusi?”

“Mm.... Enak banget, In. Mengalir, nyambung. Kayak aku sudah kenal lama banget sama dia. Nyaman saja.”

“Nah, itu!” Ingrid menjentikkan jemarinya. “Kalau dasarnya sudah ada rasa nyaman, tinggal cari saja simpul-simpulnya. Diurai bareng, dibuat simpul lagi yang selaras. Gitu....”

Bimbim menatap Ingrid. Tertawa geli. Ingrid balas menatapnya dengan sorot mata bertanya.

“Lagakmu...,” Bimbim tergelak ringan. ”Perasaan baru berapa hari jadian sama Endra, sudah jadi kayak nenek-nenek gini.”

“Idih!” Seketika Ingrid mengerucutkan bibirnya. “Aku, kan, cuma mengutip. Itu Kak Erma yang bilang.”

“Oh.... Hahaha.... Pantesan....,” Bimbim terbahak. “Nggak cocok banget sama tampang imutmu itu.”

Dengan gemas, Ingrid melayangkan sebuah bantalan sofa ke arah Bimbim. Keduanya masih sejenak lagi melanjutkan obrolan sebelum Bimbim akhirnya berpamitan.

“Oh, ya, besok aku janji mau jemput dia,” ucap Bimbim sebelum mengenakan helm. “Mau berangkat bareng. Aku bilang, ‘pakai motor nggak apa-apa?’. Dia ternyata nggak keberatan.”

“Baguslah!” Ingrid mengacungkan jempol.

“Mumpung mobilku masih diurus surat-suratnya sama dealer,” Bimbim nyengir. “Mau romantis-romantisan dulu boncengan motor.”

“Wuidiiih.... Ada yang bakal punya mobil baru, nih!” Ingrid bertepuk tangan dengan wajah riang.

“Hahaha.... Setengah uang muka dibayarin Papa. Selanjutnya nyicil sendiri. Yuk, ah! Aku pulang, ya.”

Ingrid pun melambaikan tangan, mengiringi Bimbim keluar dari carport. Ia menarik napas panjang begitu sosok Bimbim menghilang. Rasanya, dadanya lega sekali. Plong. Berharap Bimbim dan Lusi sama-sama bersedia membuka hati masing-masing, agar tidak terlalu lama terperangkap di antara dua masa berbeda dalam lembar hidup mereka. Seperti yang sudah sempat terjadi pada dirinya.

Baru saja berbalik hendak masuk ke rumah, ada bunyi klakson ringan di belakangnya. Ia menoleh. Mendapati Endra sudah menghentikan mobil di depan rumah dan menurunkan kaca kiri depan. Ia pun menghampirinya.

“Bimbim baru dari sini?” tanya Endra, langsung.

“He eh,” Ingrid mengangguk dengan wajah cerah.

Endra secepatnya keluar dari mobil. “Gimana kabarnya?”

Tentu saja Ingrid tahu maksud kalimat Endra. Dengan wajah ceria, ia meraih tangan Endra. Menggandeng dan menariknya ke teras. Ia kemudian asyik berceloteh, menceritakan pembicaraannya dengan Bimbim baru saja.

“Hmm...,” Endra manggut-manggut.

“Jadi....,” mata Ingrid terlihat berbinar ketika menatap Endra, “... kita tunggu saja laporan mereka berikutnya.”

Endra tertawa geli mendapati ada nada jahil dalam suara Ingrid.

* * * * *

S.E.L.E.S.A.I


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


Catatan :

1. Mohon maaf karena episode terakhir ini terlambat dua hari dari yang saya janjikan.

2. BAGI ANDA YANG MERASA SAYA PHP-IN DAN BILANG ‘KALAU GK PASTI GK USAH JANJI2 DEH, GAYANYA KAYA YG SUDAH HEBAT AJA’, terima kasih karena Anda sudah berhasil membuka mata saya bahwa ternyata blog saya dikunjungi juga oleh pembaca julid kayak Anda. Ternyata nggak semua pembaca blog ini dari kalangan baik-baik yang murni cari hiburan ringan gratis dari penulis abal-abal. Saya nggak pernah memaksa orang untuk mampir ke sini. Mampir silakan, saya hargai sepenuhnya, saya beri servis sebaik-baiknya. Kalau sampai yang saya janjikan meleset, tentu ada sebab yang nggak bisa saya hindari (dan nggak perlu juga semua isi dunia tahu apa yang terjadi selama dua hari kemarin itu), yang di luar kuasa saya. Memangnya Anda pikir kerjaan saya cuma nge-blog melulu? Nggak ada kerjaan lain? Nggak punya kehidupan lain? Nggak puas menikmati penulis abal-abal yang 'gayanya kaya yg sudah hebat ini', silakan meninggalkan blog ini dan nggak perlu kembali lagi. Toh, cerita-cerita yang tersaji di sini dari dulu sampai kapan juga kelasnya masih abal-abal. Alias ora mutu. Wong yang nulis juga cuma penulis abal-abal yang hanya sekadar menyalurkan hobi. Kurang selevellah sama Anda yang macam juragan besar nagih utang ke budaknya. Jadi... goodbye buat Anda yang akun fb-nya juga nggak jelas itu. Ternyata nggak kalah abal-abalnya kayak saya. Lagian, sama penulis abal-abal aja kok ya bisa sampai merasa di-PHP-in. Amsiooong....

3. Cerbung berikutnya akan mulai tayang hari Senin depan, 15 Oktober 2018. Judulnya ”Portal Triangulum”.

4. Terima kasih kepada semua pembaca blog ini, yang sudah berkenan singgah dan membaca, sabar banget mengikuti jalinan cerita nggak mutu yang terbit di sini, dan juga bersedia di-PHP-in sama penulis abal-abal kayak saya. You’re the best! All of you! Kecuali oknum juragan besar yang nggak sopan tadi.