Sebelumnya
* * *
Kesempatan jarang datang untuk kedua kalinya. Tapi sepertinya pintu masih terbuka lebar untuknya. Itu yang membuat Ken pantang mundur untuk memperjuangkan hubungannya dengan Ingrid. Setidaknya, ia perlu mengungkapkan perasaan hatinya terhadap Ingrid. Yang membuatnya kembali bersemangat, adalah ‘bocoran’ yang didapatnya dari Lulu, bahwa Ingrid secara resmi masih jomlo.
Kemarin sore, rencananya sudah gagal total. Sore ini, tak boleh ada kegagalan lagi. Waktunya kian sempit. Akhir minggu ini, ia sudah harus terbang ke Singapura. Statusnya dan Ingrid harus jelas. Ya, atau tidak. Walaupun sungguh berharap statusnya adalah ‘ya, akhirnya ia dan Ingrid menjadi sepasang kekasih’.
Dengan wajah cerah, ia meluncurkan mobil ibunya membelah jalan untuk menuju ke rumah Ingrid. Cuaca Minggu sore ini sedikit diwarnai mendung kelabu. Tidak secerah hatinya. Tidak secerah semangatnya. Tapi ia tak peduli hal itu. Dengan wajah berseri-seri, ia menekan bel yang ada di tembok pagar rumah Ingrid.
“Bik, Ingrid ada?” tanyanya begitu melihat salah seorang ART Ingrid muncul dari garasi.
“Ada, ada, Mas,” ART itu dengan cekatan membuka pintu pagar. “Mari, masuk.”
“Oh, makasih. Aku di sini saja, Bi, di teras.”
ART itu kemudian masuk untuk memanggil Ingrid. Gadis itu muncul tak lama kemudian. Terlihat manis mengenakan kaus oblong longgar berwarna kuning gading dan celana capri denim. Ken nyaris tak bisa mengendalikan debar liar jantungnya saat menatap senyum Ingrid.
* * *
Sambil bernyanyi-nyanyi kecil, Ingrid menyisir rambutnya seusai mandi. Diikatnya rambut ikal sepunggungnya tinggi-tinggi. Setelah itu, ia membedaki wajahnya, tipis-tipis saja. Tak lupa memulas bibirnya dengan lipbalm ringan berwarna merah muda.
Selesai!
Masih sambil bernyanyi-nyanyi, ia membuka pintu kanan lemarinya dan menarik keluar sehelai celana denim. Berikutnya ia membuka pintu kiri, untuk memilih salah satu blus dari sederet blus yang tergantung di sana. Pilihannya jatuh pada sehelai blus putih tanpa lengan dengan kerah tegak. Untuk melengkapi penampilannya, ditariknya keluar sehelai kardigan rajut berwarna merah muda yang sangat manis modelnya.
Perfect!
Ia ada janji sore ini. Hendak membeli sepasang gaun dan kemeja batik sarimbit yang akan dikenakannya dan Endra untuk menghadiri acara pernikahan Joya dua minggu lagi. Sejujurnya, ia merasa bahwa terlalu cepat Endra membawanya bertemu dengan seluruh keluarga besarnya. Tapi ketika melihat kesungguhan Endra ketika memintanya turut serta, Ingrid pun mengangguk tanpa syarat. Dan, segera saja kerlip indah yang berlompatan keluar dari mata Endra membuatnya dilanda keriangan yang sama.
Ia menoleh ketika mendengar pintu kamarnya diketuk dan dibuka perlahan dari arah luar. Kepala Lami menyembul dari sela pintu.
“Mbak, dicari temennya, tuh."
“Hah?” Ingrid terlonjak. “Gini hari Mas Endra sudah datang?”
“Bukan Mas Endra,” geleng Lami. “Itu, yang kemarin sore ke sini juga.”
Ingrid mengerutkan kening. “Mas Ken?”
“Iya, ‘kali, Bibik nggak tahu namanya.”
“Oh.... Sudah disuruh masuk?”
“Nunggu di teras. Maunya gitu.”
“Ya, deh. Tolong, bikinin minum, ya, Bik?”
Tak butuh waktu lama bagi Ingrid untuk keluar dari kamarnya di lantai atas dan mencapai teras. Benar, Ken duduk di sana.
Hmm.... Mau apa lagi dia?
Berusaha ramah, Ingrid pun menyapa Ken. Pemuda itu menyambut sapaannya dengan wajah penuh cahaya. Diam-diam Ingrid merasa geli karenanya.
Setelah seutuhnya menyadari apa yang ia rasakan selama ini, ternyata cukup kekagumannya terhadap Ken hanya sampai menatap pemuda itu dari jauh. Ketidaktahuannya terhadap bagaimana pribadi Ken yang sebenarnya, justru membuatnya enggan untuk menelisik lebih lanjut. Debar jantungnya sudah tawar terhadap Ken. Entah sejak kapan. Diam-diam ia merasa bodoh sendiri. Ia sudah membuang banyak waktu untuk melamunkan Ken.
“Ada perlu apa, nih, Mas?” ucapnya setelah basa-basi berlalu.
“Mm.... Kemarin nggak jadi mau ajak kamu keluar. Sore ini bisa?” tanya Ken dengan nada halus.
“Waduh...,” Ingrid menanggapi dengan nada datar. “Aku sudah telanjur janjian mau pergi. Nanti pukul enam.”
“Oh.... Sibuk banget kamu, ya?” Ken berusaha tersenyum.
“Ya, kebetulan saja, memang lagi fully booked, hehehe....”
Ken pun ikut tertawa ringan bersama Ingrid. Tapi sejurus kemudian ia kembali serius. Ditatapnya Ingrid.
“Mm.... In, Jumat besok ini aku sudah harus terbang ke Singapura,” ucap Ken, nyaris tak terdengar. “Sebelum berangkat, aku ingin.... Mm.... In, mau nggak, jadi pacarku? Aku cinta sama kamu.”
Ingrid terbengong sejadi-jadinya. Ditatapnya Ken dengan mata bulat. Tapi ia kemudian tersadar ketika dilihatnya ada keresahan dalam tatapan Ken. Ingrid mengerjapkan mata. Berusaha mengumpulkan kembali logikanya yang mendadak saja tercerai berai beberapa detik lalu.
“Sebentar.... Sebentar....,” Ingrid menggeleng pelan. “Sejak kapan?”
“Maksudmu?”
“Sejak kapan merasa cinta sama aku?” Ingrid tak sedetik pun melepaskan tatapannya dari wajah tampan Ken. Tatapan yang membuat pemuda itu cukup gugup.
“Euh.... Sudah lama, In,” Ken tertunduk. “Sejak.... aku masih aktif di sanggar.”
Hah??? Maksudnya???
Entah kenapa, ucapan lirih Ken seolah membakar bara dalam hati Ingrid. Teringat betapa nelangsanya ia saat merasa seperti pungguk merindukan bulan. Betapa sia-sia waktu yang terbuang selama ia mengangankan seorang Ken. Betapa tolol rasanya saat ia selalu membandingkan pemuda-pemuda yang mencoba mendekatinya dengan sosok Ken.
Jadi, dia sebenarnya punya perasaan yang sama??? Hanya saja....
“Selama itu?” desis Ingrid. “Dan, Mas Ken sama sekali nggak pernah ngomong apa-apa?” Lantas, kamu anggap apa aku???
Ken menghela napas panjang. Rasa-rasanya, hawa yang beredar di sekitarnya dan Ingrid mulai terasa kurang enak.
“Kenapa nggak pernah ngomong?” Tatapan Ingrid tajam menghunjamnya.
“Itu.... Aku....” Ken mengangkat wajah, berusaha menentang tatapan Ingrid. “Aku minta maaf, In. Selama ini aku belum yakin sama perasaanku sendiri. Aku pikir....”
“Kalau belum yakin, kenapa tidak mencobanya?”
“Aku.... Entahlah, In,” Ken terlihat pasrah. Tertunduk lagi. “Aku sudah salah mengambil keputusan. Seharusnya kita, kamu dan aku, bisa berjalan bersama sambil aku menyelesaikan studi. Sayangnya..., waktu nggak bisa diputar balik. Aku... menyesal sekali.”
Terlambat!!! Ingrid menatap Ken dengan geram.
“Dengar, ya, Mas, ya,” Ingrid berusaha menahan ledakan kemarahannya. “Bertahun-tahun aku hidup dalam bayangan melihat sosok seorang pangeran dalam diri Mas. Bahkan pernah punya keinginan untuk belajar tari Karonsih berpasangan dengan Mas. Aku ingin seperti Bu Cindra dan Pak Damar. Seperti juga Kak Lulu dan Onkel Fritz. Tapi tahu seperti apa mimpi-mimpiku itu? Buyar karena sedikit pun Mas Ken nggak pernah menoleh padaku. Nggak pernah menganggap aku ada. Sedikit pun! Bertahun-tahun, Mas. Bertahun-tahun!”
Ken mendongak. Mendapati bara kemarahan berlompatan keluar dari mata Ingrid.
“In, aku selalu menyimpanmu dalam hatiku. Aku....”
“Lalu, kenapa nggak pernah ngomong?” sambar Ingrid.
“Aku...,” Ken tertunduk lagi. “Iya, In, aku salah. Salah mengenali perasaanku. Salah menempatkan prioritas. Kasih kesempatan aku buat memperbaiki semuanya. Please....”
Sekilas, Ingrid melihat mobil Endra baru saja berhenti di depan pagar, di belakang mobil Ken. Ia harus secepatnya menyelesaikan ini.
“Sudah nggak ada kesempatan lagi, Mas.” Ingrid menggeleng tegas. “Prioritasku sekarang sudah bukan cari pacar main-main lagi. Dan, sudah ada yang bisa membuat hatiku tenang dan nggak khawatir apa-apa lagi. Dia yang seumuran dengan Mas, tapi bisa berpikir jauh lebih dewasa dan jauh ke depan. Tegas dan berani mengambil risiko. Aku butuh laki-laki yang kuat seperti itu. Bukan laki-laki peragu yang hanya bisa berharap bisa menebus kesalahan saat semuanya sudah terlambat. Jadi, kesimpulannya sudah jelas.”
Dengan ekor matanya, Ingrid bisa menangkap gerakan Endra yang berjalan mendekat. Dialihkannya tatapan dari wajah Ken. Seketika wajahnya menjadi berseri-seri. Sama sekali bukan artifisial. Karena ia benar-benar mengharapkan dan menyukai kehadiran Endra.
“Halo!” Sapaan Endra terdengar renyah. “Lho, kok, belum siap?”
“Iya, nih, ada tamu.”
Dengan sikap ramah, Endra kemudian menjabat tangan Ken. Genggamannya terasa begitu kuat dan yakin di tangan Ken. Sejenak, Ken merasa kikuk. Pemuda yang baru datang menyeruak di tengah ia dan Ingrid ini, yang seumuran dengannya, di atas kertas adalah atasan tertingginya kelak.
Tak ada hal yang bisa dilakukannya lagi selain cepat-cepat mengundurkan diri dari teras rumah Ingrid. Bila tadi ia datang dengan perasaan yakin, kali ini ia pulang dengan perasaan kalah seutuhnya. Telak.
Kali ini kesempatan rupanya tidak datang dua kali, pikirnya, pahit.
Perlahan, langit pun berangsur gelap dan mulai meneteskan rintik-rintik lembut air hujan.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)