Sebelumnya
* * *
Aldebaran dan Kana sudah selesai melapor kepada Sverlin, bahwa forum sudah memutuskan bahwa keduanya menjadi bagian dari tim Via Lactea yang akan berangkat ke Andromeda bersama Gematri. Karena agak susah masuk ke Triangulum melalui jalur yang kuncinya masih belum bisa dibuka secara penuh di Via Lactea, maka mereka akan masuk melalui Andromeda.
Dengan jelas, Kana dapat menangkap ketidakpuasan pada wajah Sverlin. Bahkan laki-laki itu secara tegas mengatakan hendak mengajukan protes kepada Caruso sebelum memutuskan sambungan komunikasi. Tapi beberapa menit kemudian Sverlin membuka jalur komunikasi lagi. Mengatakan bahwa keputusan Caruso memang sudah tak lagi bisa diganggu gugat. Kana memang harus bergabung dengan tim bersama Aldebaran.
Kana menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi begitu jalur komunikasi dengan Sverlin tertutup kembali. Sejujurnya, ia mulai risih dengan sikap Sverlin. Apalagi dipengaruhi pikirannya yang berseru-seru tentang adanya kemungkinan Moses sengaja ‘dihilangkan’ oleh Sverlin.
“Dia memang terlibat.”
Suara berat Aldebaran tiba-tiba saja menggema di ruangan kecil itu. Lobi kompartemen dua kamar tempat mereka menginap sambil menunggu pemberangkatan ke Andromeda beberapa hari lagi.
Kana mengerutkan kening. “Apanya yang...”
“Profesor,” tegas Aldebaran. Menoleh sekilas. “Terlibat dalam menghilangnya Moses dan tim.”
Seketika Kana ternganga. Kali ini, Aldebaran seutuhnya menjatuhkan tatapan kepadanya.
“Bagaimana kamu...,” bisik Kana.
Aldebaran mengangkat bahu. Masih menatap Kana.
“Aku bisa membaca pikiran kalian semua.”
Seketika Kana menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Tapi Aldebaran tersenyum, bahkan tertawa lebar. Senyum dan tawa Aldebaran yang baru sekali ini Kana melihatnya. Selama dua setengah tahun berada di Observatorium Tandan, bergaul walaupun tidak terlalu rapat dengan Aldebaran, belum pernah ia melihat bibir laki-laki berusia akhir dua puluhan itu menyunggingkan senyum. Apalagi tertawa!
Dan, dia tampan sekaliii kalau tersenyum dan tertawa begituuu!
“Bahkan setiap cetusan spontan pikiran kotor Profesor sekalipun. Tapi, tenang saja,” Aldebaran mengibaskan tangan kanannya dengan gerakan ringan. “Aku terlatih untuk menyaring dan menutup gelombang pikiran orang lain yang sampai ke otakku, kok. ...”
Kana langsung bernapas lega. Untungnya...
“... Kecuali yang telanjur nyelonong seperti pikiranmu baru saja,” lanjut Aldebaran. Kembali tersenyum lebar.
Seluruh wajah Kana terasa menghangat. Rasa-rasanya, ia ingin melesap begitu saja ke dalam Bhumi detik ini juga. Tapi, sebelum Kana bisa berpikir kembali, Aldebaran sudah bangkit dari duduknya. Laki-laki itu masuk ke dalam kamarnya, dan kembali beberapa belas detik kemudian, sebelum Kana bisa mengendalikan debar jantung dan kesadarannya.
“Kamu suka cokelat?” tanya Aldebaran tiba-tiba.
Kana sempat terpana sejenak sebelum mengangguk, tanpa tahu ke mana arah pertanyaan Aldebaran. Aldebaran sendiri kembali ke tempat duduknya semula, membuka kertas pembungkus benda berbentuk kotak tipis di tangannya, kemudian mematahkan benda itu jadi dua bagian yang sama. Diulurkannya setengah bagian benda itu kepada Kana.
“Nih, aku tadi diberi ini sama Angel,” ujar Aldebaran.
Kana menerima potongan cokelat itu sambil menggumamkan ucapan terima kasih. Setelah benar-benar menerima potongan cokelat itu, barulah ia tahu bahwa itu adalah cokelat termahal dan terbaik yang beredar di Galaksi Via Lactea. Cokelat Vorserante buatan Planet Corsita, salah satu planet yang dimiliki bintang Antares. Pelan-pelan Kana menggigit sudut cokelat itu.
Aaawww... Enaknyaaa..., batinnya sambil mengunyah.
Lalu ia menggigit dan mengunyah lagi potongan cokelat itu sampai habis. Untungnya, Aldebaran sibuk dengan perangkat gawai dan potongan cokelatnya, sehingga sepertinya tidak terlalu peduli terhadap ekspresi Kana yang seolah sedang menikmati keindahan sebuah sudut surga. Saat hendak membuang pembungkus cokelat yang sudah habis di tangannya, gawai Kana berbunyi. Buru-buru ia menanggapinya. Senyumnya terbit melihat siapa yang membuka jalur komunikasi dengannya.
“Hai, Jimbo!” sapanya dengan suara ceria.
“Hai! Sebentar lagi waktunya makan malam. Kamu mau makan malam di sini atau di luar?”
“Di mana saja.”
“Kita keluar saja? Ada tavern keren di puncak gedung kompartemenmu.”
“Ah! Boleh... Boleh...”
“Aku jemput sekarang.”
“Siap, Jimbo!”
Dengan bibir masih menyunggingkan senyum, Kana menyimpan kembali gawainya di saku pinggul kanan overall biru langitnya. Saat itu, matanya menangkap tatapan Aldebaran. Ia mengerutkan kening.
“Kenapa?” tanyanya.
“Kupikir kita akan makan malam bersama di bawah,” gumam Aldebaran, merujuk pada ruang makan bersama dua lantai di bawah kompartemen mereka.
Kana terbengong sejenak sebelum menemukan jawabannya. “Wah, kupikir pada saat bebas dari forum seperti ini, kita juga boleh punya acara bebas sendiri-sendiri.”
“Ya, memang boleh, sih,” Aldebaran tetap menggumam. “Tapi aku dapat tugas khusus dari Profesor untuk menjagamu.”
Seketika ekspresi sengit tergambar pada wajah Kana. Ini lagi...
“Jimbo akan menjagaku!” ucap Kana, setengah menyentak. Melepaskan kejengkelannya.
“Oke... Oke...,” Aldebaran mengangkat kedua tangannya dengan ekspresi wajah datar seperti biasa. “Aku hanya menjalankan tugas.”
Kana mengerucutkan bibirnya. Sebuah ekspresi yang membuat Aldebaran merasa gemas sekali.
“Bersenang-senanglah dengan Jim,” ucap Aldebaran kemudian. “Lumayan juga, sih... Aku jadi bisa keluar bersama Angel.”
Entah kenapa, ucapan Aldebaran tak sedikit pun bisa mengurangi ukuran kerucut bibir Kana. Bahkan, rasa-rasanya kejengkelan Kana justru bertambah. Bahkan, sekelebat pikiran muncul begitu saja dalam benak Kana. Membuatnya mendadak dilanda murka.
“Hei! Kalau kamu tahu Profesor berniat buruk terhadap Moses, kenapa kamu tak mencegahnya?!” Kana setengah berteriak.
“Aku baru tahu pada detik-detik terakhir!” Tatapan Aldebaran tajam menyambar Kana. “Profesor bisa mengendalikan dan menutup pikirannya sendiri, jadi aku tidak tahu sejak awal.”
Kana hendak membuka mulut lagi, tapi benar-benar tak tahu apa yang harus diucapkannya. Kesempatan itu dipakai lagi oleh Aldebaran untuk ‘membela diri’.
“Aku baru bisa menangkap pikiran Profesor begitu Moses tak terdeteksi lagi keberadaannya. Karena terlalu girang, dia lupa menutup pikirannya.”
Kana terhenyak. Jadi... Perasaanku benar!
“Seandainya bisa mencegah, aku tentu melakukannya dengan segala cara,” suara Aldebaran terus menurun.
Tapi masih ada ketidakpuasan tersendiri dalam hati Kana.
“Satu hal lagi,” suara Aldebaran terus melirih, “soal aku bisa membaca pikiran ini, tak ada dalam resumeku. Di luar aku dan keluargaku, baru kamu yang tahu. Jadi, tolong, simpan hal ini untuk dirimu sendiri.”
Kana mengerutkan kening. Balas menatap Aldebaran.
“Kenapa kamu begitu percaya padaku?”
Aldebaran mengangkat bahu dengan ringan. “Karena kamu memang bisa dipercaya.”
Seketika Kana termangu. Tapi tak terlalu lama. Ada ketukan dari luar pintu kompartemen mereka. Ketika Kana membukanya, dilihatnya Jim-lah yang ada di depan pintu. Tanpa banyak kata, Kana segera menyeret laki-laki ramping tegap itu meninggalkan kompartemen.
* * *
“Hei, Jimbo, jadi benar, Sverlin yang mengotaki ‘pembuangan’ Moses,” bisik Kana setelah mereka duduk berhadapan di salah satu sudut tavern. Pemandangan langit luas dengan kerlip bintang-bintang di depan tirai gelap langit malam ada di balik jendela kaca di samping meja mereka.
Jim sempat ternganga sebelum bisa menanggapi ucapan Kana. “Bagaimana kamu tahu?”
“Itu...”
Walaupun sangat bersemangat untuk membahas masalah ini, tapi kendali diri Kana masihlah sangat bagus. Ia ingat pesan Aldebaran. Ia berdehem sejenak sebelum melanjutkan bicaranya.
Walaupun sangat bersemangat untuk membahas masalah ini, tapi kendali diri Kana masihlah sangat bagus. Ia ingat pesan Aldebaran. Ia berdehem sejenak sebelum melanjutkan bicaranya.
“Ehm! Itu... ada orang dalam yang tahu, tapi sudah terlambat. Tahunya setelah Moses dan timnya hilang kontak. Semacam kelepasan omong begitulah si Sverlin.”
“Tidak mencoba untuk memperkarakan ini?” Jim menatap Kana lurus-lurus. “Ini masalah nyawa manusia, Na. Apalagi Moses adalah salah satu dari empat ahli botani semesta terbaik yang dimiliki galaksi kita.”
Kana menghela napas panjang. Ia menggeleng samar.
“Untuk sementara, cukuplah kita tahu Moses selamat,” gumam Kana. “Lagipula, aku berharap masih bisa bertemu dengannya saat tim kita nanti sampai di Triangulum, sekaligus membawanya pulang.”
Jim manggut-manggut. Masih ditatapnya Kana.
“Jujur, ya, aku mengkhawatirkan keselamatanmu di bawah profesor sinting itu, Na,” ucap Jim. Sangat serius.
Tapi Kana tersenyum.
“Tenang saja, Jimbo,” ujarnya dengan nada ringan. “Kepala keamanan Tandan orangnya baik, kok. Bisa menjagaku. Dia...”
“Hooo... Pantas!” potong Jim. Menyambungnya dengan tawa renyah. “Bahkan dia membuntutimu hingga ke sini. Dan, berkali-kali memantaumu.”
“Hah?” Kana ternganga sejenak. Bersiap untuk mencari sosok yang tengah mereka bicarakan.
“Jangan menoleh!” desis Jim. “Dia ada di posisi pukul delapanmu. Bersama perempuan cantik yang tadi siang duduk di sebelahnya di forum. Hmm... Angel Galessi. Petualang cinta dari Observatorium Finch.”
Kali ini, Kana ternganga seutuhnya.
Angel? Yang memberi Aldebaran cokelat Vorserante yang tadi dibaginya separuh untukku?
Ingin ia menengok, tapi tatapan Jim benar-benar melarangnya. Akhirnya, dengan pasrah Kana pun menurut.
Jim kemudian membuat Kana sibuk dengan berbagai topik pembicaraan yang ia sodorkan, sembari menikmati makan malam. Kana pun menanggapinya dengan antusias. Pelan-pelan, Kana terlepas dari jerat keinginannya untuk menangkap keberadaan sosok Aldebaran dengan matanya. Membuat Jim menarik napas lega.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)