Senin, 29 Oktober 2018

[Cerbung] Portal Triangulum #3-1









Sebelumnya



* * *


Tiga


Moses menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Ia menggeleng resah. Hingga saat ini, sudah hampir satu minggu, ia masih juga gagal untuk kembali menghubungi Bhumi. Untuk langsung kembali ke Bhumi, portal ke Bhumi dari Triangulum, tepatnya yang ada di pusat kendali planet Gerose, sama sekali belum bisa distabilkan oleh Xavier. Laki-laki berdaun telinga lancip yang menjadi kepala keamanan fasilitas antar semesta planet Gerose itu belum berhasil mengendalikan arah lubang cacing menuju ke Bhumi. Lagipula, selama ini memang belum ada lubang cacing yang menghubungkan Triangulum dengan Via Lactea.

“Gagal lagi?”

Suara berat sedikit serak itu membuat Moses menoleh ke arah kiri. Xavier tengah menatapnya dengan serius. Moses pun menanggapi pertanyaan Xavier dengan gelengan putus asa.

“Ada indikasi observatoriummu memblokir jalur komunikasi dari sini,” gumam Xavier, mengalihkan tatapannya.

Layar monitor luas yang terpampang dua puluh lima inci di depan mereka menampakkan visi tak beraturan. Kadang memunculkan gelombang-`gelombang monokrom. Sebentar kemudian berubah menjadi gambar garis-garis zigzag warna-warni. Kembali jadi gelombang monokrom beberapa detik kemudian. Begitu seterusnya. Membuat Moses lama-lama jadi sakit kepala.

“Sebetulnya kalian bisa kembali ke Bhumi melalui Andromeda,” gumam Xavier lagi. Tatapannya kembali terarah pada Moses. “Sayangnya, Ketua sudah memutuskan untuk sementara waktu menutup semua portal keluar dari Triangulum. Kami sedang ada masalah keamanan di sini.”

Moses mengangguk, walaupun tak paham sepenuhnya maksud Xavier dengan ‘masalah keamanan’ itu. Lalu, ia pun berdiam diri di tempatnya duduk di sebelah Xavier. Menyaksikan Xavier kembali sibuk dengan segala macam perangkat penting di ruang pemimpin pusat pengendali keamanan itu.

Sejujurnya, ia sudah lelah. Kalau ia hanya sendirian berangkat ke Jandez dan pada akhirnya tersasar seperti ini, bebannya tentu tak akan sebesar bila ia membawa pula timnya. Semua anggota tim berada dalam kondisi stres, walaupun pihak dari planet Gerose yang tanpa sengaja telah menyedot mereka melalui cabang lubang cacing dari Bhumi memperlakukan mereka dengan sangat baik.

Sebetulnya, ia sudah bersikukuh untuk berangkat sendirian ke Jandez. Ada sesuatu dalam hati yang membuatnya ingin berangkat sendirian saja, tanpa tim. Mungkin itu nalurinya. Mencium adanya bahaya dalam kepergiannya kali ini. Tapi Caruso sudah memberikan surat keputusan untuk memberangkatkan ia bersama tim, seluruhnya berjumlah empat orang. Dan, bila surat keputusan dari Caruso sudah turun, itu artinya sudah tak ada lagi hal yang bisa diganggu gugat.

Ternyata, nalurinya benar. Sekilas, beberapa jam sebelum diberangkatkan, ia menangkap pikiran licik Sverlin. Tapi sudah terlalu lambat untuk mengundurkan diri. Hubungan baik antar galaksi sangatlah penting demi kelangsungan hidup semesta raya. Termasuk tugasnya ke Jandez. Lagipula, siapa yang bisa percaya kepadanya? Kepada ungkapannya atas pikiran spontan Sverlin yang hanya sekilas saja bisa terbaca olehnya?

Aldebaran?

Moses menggeleng samar. Aldebaran setahunya adalah ‘orangnya’ Sverlin yang cukup setia. Laki-laki yang tak pernah banyak cakap itu selalu menjalankan perintah Sverlin yang berhubungan dengan keamanan observatorium dengan sangat sempurna. Kontra dengan Sverlin bisa jadi berarti akan berhadapan pula dengan Aldebaran.

Sedikit banyak, ia tahu resume Aldebaran. Lulusan terbaik sekolah khusus angkatan keamanan galaksi yang berpusat di dekat Observatorium Finch. Memegang beberapa sabuk tertinggi, bahkan sabuk kehormatan, beberapa aliran bela diri. Bukan itu saja, Aldebaran juga ahli teknologi informatika. Tak heran kariernya begitu melejit, hingga kini dipercaya memegang jabatan sangat bergengsi di Observatorium Tandan, observatorium terbesar di Bhumi.

“Kalau kamu lelah, istirahat saja.”

Suara berat dan serak Xavier membuyarkan lamunan Moses. Ia menoleh sekilas sebelum bangkit dari duduknya dan menepuk bahu Xavier.

“Ya, aku menemui timku dulu,” ucapnya sebelum meninggalkan ruang kerja Xavier.

Xavier pun mengangguk tanpa suara. Tetap sibuk dengan pekerjaannya.

* * *

Seluruh anggota tim tak Moses jumpai di apartemen khusus yang ada di dekat gedung keamanan planet Gerose. Dari salah seorang penjaga, Moses mendapat informasi bahwa tim botani planet Gerose secara khusus meminta bantuan tim Moses untuk mengidentifikasi salah satu spesimen tumbuhan yang baru saja didapat dari tim penjelajah. Tim Moses ada di gedung peneliti botani. Letaknya ada di seberang gedung keamanan.

Ketika ia masuk ke area gedung peneliti botani, seorang penjaga segera menyambut dan mengantarkannya ke laboratorium. Benar, timnya ada di sana. Sedang berdiskusi dengan para peneliti planet Gerose. Diskusi itu terjeda ketika Moses muncul. Ketua peneliti segera menyambutnya dengan hangat.

“Mohon maaf, Tuan Moses, kami meminjam tim Anda tanpa izin,” ucap Azayala dengan penuh hormat.

“Tak apa-apa, Puan Azayala,” Moses membungkuk sedikit. “Lagipula, kami juga bisa dilanda bosan kalau hanya menganggur saja.”

Azayala, nenek-nenek berambut ikal keperakan yang masih terlihat sangat bugar itu tampak lega. Telinga lancipnya terlihat bergerak-gerak sedikit, tanda ia merasa senang dengan kehadiran Moses.

“Jadi, spesimen apa yang kalian diskusikan?” Moses mengambil tempat duduk di sebelah Dodge, salah seorang anggota timnya.

“Itu,” Azayala menunjuk ke arah kotak kaca yang tertutup rapat di atas meja observasi.

Sejenak, Moses menatap ke arah kotak kaca itu. Ada sebuah gumpalan sebesar genggaman tangan yang terlihat masif dalam kotak itu. Gumpalan itu diselimuti lendir berwarna ungu yang terlihat mengilap di bawah sorot lampu terang tepat di atas meja. Sejenak ia tertegun.

Tanpa mengalihkan tatapan dari spesimen itu, Moses berbisik, “Dari mana kalian dapatkan spesimen ini?”

“Tim penjelajah kami memperolehnya dari salah satu planet di galaksi Jantilisnanet,” jawab Azayala dengan suara ringan. “Kata mereka, ada banyak di sana.”

“Masih ada lagi, atau hanya ini?” Moses masih berbisik. Tatapannya masih melekat pada spesimen itu.

“Hanya ini.”

“Sudah berapa hari di sini?”

“Baru tiba semalam. Tim penjelajah pun masih ada dalam karantina hingga minggu depan.”

Moses mendegut ludah.

“Terlihat bergerak atau tidak?”

“Belum.”

“Sudah, sekali,” salah seorang anggota tim peneliti melakukan koreksi. “Gerakan yang sangat halus. Hampir tak terlihat.”

Moses segera mengalihkan tatapannya kepada Azayala

“Puan Azayala,” ditatapnya lekat-lekat perempuan tua itu, “saya mohon, dengarkan saya baik-baik.” Moses menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. “Spesimen ini sangat berbahaya. Sangat sangat sangat berbahaya. Dia sejenis jamur dengan daur hidup sangat kompleks. Sel raginya bisa menginfeksi saluran pernapasan, kemudian menyerang susunan saraf, dan menyebabkan kematian dengan sangat menyakitkan. Saat ini memang masih berada dalam kondisi tidak aktif. Tapi begitu dia aktif, dia bisa berkembang dengan sangat cepat. Sel raginya bisa terhambur di udara saat meledak dengan kekuatan sangat besar. Ukuran sebesar spesimen ini mampu  menginfeksi seluruh planet. Karenanya, dia harus cepat dimusnahkan. Sebab...”

“Dia bergerak!” seru Dodge tiba-tiba. Menghentikan begitu saja penjelasan Moses.

Refleks, semua yang ada di sekeliling meja observasi itu bergerak menjauh, kecuali Moses. Ia sempat melihat gerakan halus spesimen itu. Menggembung dan mengempis beberapa kali, sebelum kembali diam.

Moses kembali menelan ludah

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)