Prolog
“Profesor Sverlin menemukan portal baru di tenggara Portal Andromeda!”
Teriakan dari arah pintu itu membuyarkan konsentrasi Kana. Ia menoleh sekilas. Ruang tempatnya bekerja dalam sekejap nyaris kosong. Tiga perempat penghuninya sudah berpindah ke ruang sebelah. Ruang Profesor Sverlin beserta stafnya. Sejujurnya, ia juga ingin bergabung ke sana. Sayangnya...
Pesan dalam kode huruf dan angka acak itu terus masuk ke mesin pengolah data dan berebutan muncul di layar komputernya. Asalnya dari antena penangkap sinyal berukuran raksasa yang terpasang di puncak kompleks observatorium berlantai lima puluh enam, di tengah kaldera mati Gunung Tandan.
Kana menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Sudah hampir tiga belas jam huruf-huruf dan angka-angka itu bergulung memenuhi layar komputernya. Entah akan berakhir kapan.
Virus?
Kana menggeleng samar. Semua komputer di kompleks observatorium itu sudah dilindungi oleh perangkat antivirus canggih yang diprogram oleh Aldebaran, salah satu asisten Profesor Sverlin. Bahkan virus trojan paling ganas dari angkasa luar terjauh sekalipun sudah berhasil ditangkal oleh program perisai milik Aldebaran.
Kalau virus, sudah kolaps komputerku, Kana meringis sekilas. Lagipula, Alde pasti sudah ribut sejak tadi.
Lalu, tiba-tiba saja...
Kana terbelalak ketika tampilan layar komputernya berubah. Deretan huruf dan angka sudah menghilang. Berganti dengan seraut wajah yang sangat dikenalnya.
“Moses!” serunya dengan suara bergetar. Punggungnya tegak seketika.
Seperempat sisa isi ruangan yang mendengar seruannya serentak menghentikan kegiatan mereka, dan berdesakan mengerubungi Kana dan mejanya.
“Moses!” ulang Kana.
“Hai, Kana!”
Wajah Moses tampak semringah di layar komputer. Membuat Kana sebal setengah mati.
“Seisi dunia gempar dengan hilangnya kapsulmu!” sentak Kana tanpa ampun. “Dan, mendadak saja kamu muncul di layar komputerku, cengar-cengir pula! Di mana kamu sekarang?”
“Oh... Hei! Jangan marah dulu!”
Di seberang sana Moses mengangkat tangan kanannya. Memberi sinyal tanda agar Kana menahan omelannya.
“Bilang sama Profesor Sverlin. Hitungannya meleset satu digit. Akibatnya aku terseret lubang cacing lain dan sampai ke sini. Boro-boro masuk lorong Andromeda.”
“Oke! Lalu kamu ada di mana sekarang ini?”
“Triangulum.”
“HAH???” Kana makin menegakkan punggungnya.
“Kana, jangan berisik! Waktuku sempit!” Moses mulai terlihat kesal. Membuat Kana seketika mengatupkan mulutnya rapat-rapat. “Aku baru berhasil membuka portalnya, tapi sekarang harus kututup lagi. Segera kamu simpan kunci koordinat yang tadi kukirim. Akan kucoba lagi kalau kondisi aman. Sekarang sedang ada...”
Mendadak tampilan wajah Moses menghilang dari layar. Berganti menjadi layaknya jutaan semut berbintik yang memenuhi layar dari sudut ke sudut.
“Moses!”
Hanya ada suara gemersik yang terdengar. Kana kembali menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi.
“Dia baik-baik saja... Dia baik-baik saja...,” bisiknya, seolah meyakinkan dirinya sendiri.
Ketika tampilan layarnya berubah lagi, Kana tersentak. Kali ini latar belakang hitam dengan dua kotak berbeda warna. Kotak hijau bertuliskan SAVE, dan kotak merah bertuliskan DELETE. Sebelum Kana ingat harus berbuat apa, ada tangan yang terulur menyentuh kotak berwarna hijau di layar komputer Kana. SAVE.
Terdengar helaan napas lega di sekeliling Kana. Gadis berusia dua puluh enam tahun itu menoleh. Ingin tahu siapa penyelamat kunci koordinat portal. Ternyata Aldebaran. Laki-laki itu menatapnya tajam.
“Kamu dipanggil Profesor Sverlin,” ucap laki-laki itu dengan nada tegas.
Kana menggeleng samar. Ia tahu kesalahannya. Belum melapor ke Profesor Sverlin bahwa ia sudah nyaris tiga belas jam berkutat dengan kode sinyal yang ternyata kunci koordinat sebuah dunia baru.
Triangulum. Galaksi Triangulum. Yang jauhnya sekitar tiga juta tahun cahaya dari Bhumi. Dunia antah-berantah tempat Moses dan timnya tersasar. Dunia yang selama ini belum pernah mereka rambah.
Tapi tampaknya Moses dan tim baik-baik saja.
Kana menghela napas panjang sambil beranjak. Aldebaran membuntuti langkahnya.
“Ceroboh!” gumam Aldebaran, begitu jelas.
Kana memutuskan untuk berdiam diri. Ya, ia ceroboh. Seandainya sinyal yang masuk ke komputernya tadi adalah kunci serangan terhadap Bhumi yang dilancarkan dari angkasa luar, pasti mereka sudah habis.
Tapi nyatanya tidak, kan?
Kana mencibir dalam hati. Karena perasaannya mengatakan begitu. Bahwa mereka akan aman. Tapi ada berapa belah mata yang bisa memandang bahwa perasaan itu tetap perlu di tengah logika yang bertebaran dari sudut ke sudut observatorium?
Tanpa suara, ia menyelinap masuk ke ruangan Profesor Sverlin.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Catatan :
Cerbung berjudul “Portal Triangulum” ini HANYALAH FIKSI FANTASI biasa. SAMA SEKALI BUKAN FIKSI SAINS. Saya kasih catatan begini, supaya harapan pembaca nggak ketinggian. Wong cuma penulis abal-abal, kok, maksa nulis fiksi sains. Ya, enggak cucok meong lah... Wokeh?
Selamat menikmati...