Rabu, 09 Mei 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #1-3











* * *


Kresna merasa seperti tergulung sebuah lorong gelap yang sangat panjang dan dalam. Ada rasa sakit di sana-sini pada bagian tubuhnya. Bayang-bayang peristiwa yang dialaminya beberapa detik lalu seolah menghantui dan mengejarnya dari belakang. Susah payah ia berusaha berlari, tapi bayang-bayang itu tetap mengikuti.
  
Tampak apa yang baru saja dialaminya. Seolah-olah ia melihatnya sebagai penonton, bukan sebagai korban. Gambar-gambar yang mengilas menyambar-nyambar. Bagaimana mereka bertujuh, segerombolan sahabat sejak masa SMA dulu, hingga kini sudah masuk ke bangku kuliah, bermaksud untuk menghabiskan akhir pekan panjang dengan mendaki hingga ke puncak Gunung Nawonggo.

Mereka bukan hanya satu-dua kali saja mendaki hingga puncak Gunung Nawonggo. Sudah melakukannya berkali-kali sejak jaman SMA. Selalu dari jalur barat. Tapi baru kali ini mencoba untuk melewati jalur yang cukup ekstrim dari arah selatan. Jalur luar biasa ‘indah’ yang dipenuhi jurang menganga di kiri dan kanan. ‘Keindahan’ yang mereka coba patahkan di bawah pendar cahaya bulan purnama.

Dan, ia berjalan paling belakang, seperti biasanya. Satu demi satu etape mereka taklukkan, hingga sekitar satu kilometer sebelum puncak. Lalu, tiba-tiba saja, orang yang ada tepat di depannya berbalik. Mendorongnya begitu saja ke salah satu sisi jalur. Peristiwa itu terjadi begitu cepat dan sedikit pun tak pernah disangkanya akan mengalami. Ia yang begitu kaget dan tidak siap hanya bisa tertegun tanpa suara mendapati dirinya sudah melayang jatuh begitu saja. Entah berapa puluh meter ke bawah. Hanya sempat mengeluarkan sebuah teriakan pendek sambil tangannya meraih apa saja yang bisa diraih di sepanjang tebing.

Ia masih bisa mendengar keributan di atas sana. Tapi ia harus berjuang untuk hidup. Ia sempat bergantung pada entah semak apa sebelum semak itu tercerabut dan membuatnya kembali terjun bebas tak terkendali. Sebuah tonjolan, entah akar pohon atau batu berlumut, menyambut pinggangnya. Rasa nyeri yang menusuk membuatnya tak lagi bisa berpikir untuk kembali meraih semak-semak.

Terakhir, sebuah tonjolan di tebing menyerempet kepalanya. Membuatnya kembali disergap rasa nyeri dan pandangan gelap. Lalu, ia tak ingat apa-apa lagi. Hingga tanah basah berlapis lumut dan tumpukan dedaunan rontok menyambut tubuhnya.

Dan, ia terjebak di lorong gelap itu. Bersama dengan serangkaian film bisu tentang dirinya sendiri. Selama beberapa waktu situasi itu membungkus rapat tubuhnya. Hingga ada gumaman-gumanan dengan suara rendah yang ia tak bisa menangkap maksudnya. Diakhiri dengan sebuah lolongan panjang yang mendirikan bulu kuduk, terdengar begitu dekat dengan telinganya.

Segera saja ia merasa tubuhnya jadi ringan terayun-ayun selama beberapa lama. Lalu dengung-dengung itu kembali. Dengung yang melenakan.

Selanjutnya sunyi. Tak ada lagi rasa sakit. Hanya hening.

* * *

Wajah-wajah yang selalu berubah seiring dengan bertambahnya usia itu sering berkelebat dalam mimpinya. Apalagi belakangan ini. Nyaris tiap malam wajah ini  muncul dalam benaknya. Karenanya ia masih bisa mengenali wajah ini. Wajah Kresna. Tidak terlalu sama dengan bayangannya, tapi tetap saja ada garis-garis yang tak berubah sejak pemuda ini masih jadi perjaka kecil berusia delapan tahun.

Tak henti-hentinya Wilujeng menatap wajah itu. Sudah tiga belas tahun berlalu. Betapa ia merindukannya! Lalu ia tergugu.

Kita terjebak di sini, Nak. Aku sudah berusaha menerima, tapi bisakah kamu?

Dalam diam, Wilujeng menghapus air mata yang membasahi pipi. Pelan-pelan ia merebahkan kepalanya ke atas pembaringan. Sunyi dan remang membuat kantuknya datang perlahan. Ia menguap tanpa suara, dan matanya pun terkatup. Menyisakan bening titik-titik air mata yang menggantung di ujung bulu mata lentiknya.

* * *

Debar ini…

Pinasti meraba dadanya. Dengan gelisah ia hanya bisa mengguling-gulingkan badannya di atas pembaringan. Tanpa mampu kembali memejamkan mata.

Mas itu tadi…

Seumur hidupnya hingga detik ini, ia belum pernah melihat pemuda semenarik itu. Ada banyak orang yang sudah ditolong Nini Paitun, beberapa kira-kira seumuran pemuda itu, tapi belum pernah ada yang membuat rasanya seperti ini.

Seperti apa?

Pinasti menggeleng samar. Tiba-tiba saja ia ingat perkataan Nini Paitun beberapa bulan lalu.

“Nduk, kamu sudah jadi perawan sunti sekarang,” ucap Paitun dengan nada lembut seperti biasanya. “Lebih hati-hatilah dalam bersikap. Jaga dirimu.”

Sebenarnya ia belum bisa memahami secara utuh ‘peringatan’ Nini Paitun. Tapi ia bisa merasakan ada sesuatu yang penting di baliknya. Sesuatu yang berkaitan dengan perubahan hidupnya ke depan.

Ia bukan lagi Pinasti kanak-kanak. Ia sudah ‘besar’ kini. Entah apa yang berubah dari dirinya selain keluarnya cairan merah dari dalam tubuhnya beberapa bulan lalu, selama beberapa hari. Darah yang meluruh. Proses yang membuatnya didera rasa sakit dan tidak nyaman. Membuatnya tidak bisa bermain selama beberapa hari di luar pondok bersama Janggo seperti biasanya. Lalu proses itu berulang lagi dan berulang lagi. Tapi ia mulai terbiasa dengan rasa sakitnya. Dengan ketidaknyamanannya. Pendeknya, ia berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan itu.

Ia tak lagi mengenakan kemben yang membuat bahunya terbuka dan merasa sejuk. Wilujeng sudah membuatkan banyak sekali baju yang bisa menutup tubuh bagian atasnya. Berwarna-warni, dengan berbagai corak. Berasal dari cita yang diperoleh Nini Paitun dari ‘atas’. Dunia yang belum pernah dijenguknya barang sekejap pun.

“Belum waktunya, Nduk…,” begitu ucap Nini Paitun.

Dan, begitu saja wajah teduh itu kembali bermain di benaknya.

Ada apa ini?

Ingin sekali ia bertanya pada Ibu. Tapi tampaknya Ibu saat ini sedang tak mau diganggu. Sekilas, ia bisa melihat bahwa Mas itu tidak apa-apa. Hanya saja, entah kenapa, Ibu merasa penting sekali untuk menjaga Mas itu hingga terjaga nanti.

Pinasti menguap.

“Kik…kik… kik…”

Serangkaian dengking pendek-pendek yang berasal dari luar jendela itu membuat bibir Pinasti terkatup tiba-tiba. Ia bergerak bangun dan beringsut turun dari pembaringan. Dengan langkah tanpa suara ia mendekati jendela. Bibirnya kemudian tersenyum melihat ‘siapa’ yang sudah duduk menunggu di bawah jendela. Sedang menatapnya sambil menjulurkan lidah.

‘Janggo, kamu mengagetkanku saja,’ gerutu Pinasti, tanpa suara.

‘Kamu belum tidur? Kenapa?’ suara berat Janggo masuk ke kepala Pinasti.

Gadis itu tersenyum, kemudian beranjak keluar dari kamarnya. Ia melangkah ke depan, bermaksud untuk keluar dari pondok. Tapi saat ia melewati kamar tempat ‘orang jatuh’ tadi dibaringkan, ia berhenti sejenak. Pintu yang terbuka sedikit membuatnya tergoda untuk mengintip. Pemuda tampan itu masih terbaring di atas tilam di pembaringan pendek. Sementara Wilujeng bersimpuh di atas alas yang terbuat dari anyaman pandan. Kepala Wilujeng terkulai di tepi pembaringan. Matanya terpejam rapat.

Pelan-pelan, masih tanpa suara, Pinasti mengundurkan diri. Agar debar jantungnya tak berlompatan makin liar tanpa bisa ia kendalikan. Tanpa suara pula ia membuka pintu pondok. Janggo, ajak yang jarang sekali memejamkan mata pada malam hari itu, sudah menunggunya di beranda. Ia pun duduk di ujung sebuah bangku panjang, dekat makhluk berbulu coklat kemerahan itu.

‘Kamu tahu, suara jantungmu yang tak keruan itu mengganggu sekali, Pin,’ gerutu Janggo.

Pinasti tertawa dalam hening. Diusapnya kepala Janggo dengan seluruh rasa sayang. Janggo pun menyandarkan kepalanya di atas pangkuan Pinasti.

Mereka sudah berteman sejak mula. Janggo berumur satu bulan ketika Pinasti hadir dalam kehidupannya. Lalu, keduanya tumbuh besar bersama. Diikat oleh hati yang saling bertaut sebagai sahabat. Janggo selalu melindungi Pinasti. Membantu Wilujeng mengasuh putri kesayangannya itu. Setia pada persaudaraan mereka.

‘Kamu tertarik padanya, Pin?’

‘Hah? Maksudmu?’ Pinasti menunduk, menatap Janggo di pangkuannya.

‘Hei, perawan sunti cantik, kamu tahu maksudku,’ Janggo menggeram sedikit.

Pinasti mengalihkan tatapannya dari Janggo. Bersit-bersit rasa hangat terasa menjalari wajahnya..

‘Entahlah,’ Pinasti menggeleng samar.

Karena ia memang benar-benar tak tahu.

Sementara itu, Paitun – yang diam-diam mendengarkan ‘percakapan dalam hening’ itu dari balik jendela depan pondok – mengulum senyum.

Kamu sudah besar, Nduk, batinnya, sudah besar…

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)





10 komentar:

  1. Ide bentuk komunikasi Pin-Janggo nya cerdas bngt. 👍
    Apik wis! Slmt pagi. Slmt berkarya. Tuhan berkati..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Kalo dibikin komunikasi ala manusia (verbal) kok rasanya terlalu mainstream 😁
      Nuwus mampire, Sam. Sehat terus ya... Berkah Dalem 🙏

      Hapus
    2. Idem ae kambek Al. Cumak authore koq cek medite. Konco dewek isok ga dibagi bocorane wkkkkkkkkk

      Hapus
    3. Babahno medhit 😝😝😝

      Hapus
  2. Masih kepo sama Zervia... (maksa banget hehehe)

    BalasHapus
  3. Mantaf ini makin hari makin bikin penisirin bingiiitz,tp harus bersabar sampai besok pagi lg neh...top mbak lizz dtunggu kelanjutanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasiiih mampirnya ya, Mbak... 🙏😘💕

      Hapus
  4. Balasan
    1. Siaaap, Mbak Muti. Makasiiih mampirnya ya... 🙏💕

      Hapus