Rabu, 30 Mei 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #8-3








Sebelumnya



* * *


Menjelang sore, Pinasti muncul bersama Janggo. Janggo tampak mengantuk. Ajak raksasa itu segera pulang ke pondok Tirto setelah mengantar Pinasti. Pendar cahaya kembali terbit di mata Kresna begitu melihat kembali Pinasti. Disambutnya perawan sunti cantik itu.

“Bunganya dapat, Pin?” tanyanya tanpa basa-basi.

Pinasti mengangguk dengan wajah cerah sambil mengeluarkan aneka bunga dari keranjang yang ditentengnya. Sejenak kemudian Kresna sudah asyik merangkai bebungaan itu sambil duduk bersila di balai-balai di beranda depan. Pinasti sendiri menghilang ke dalam untuk membersihkan diri.

Bebungaan yang dibawa Pinasti cukup banyak untuk dijadikan tiga buah mahkota yang semuanya cantik. Yang satu bernuansa merah dan biru, yang satunya lagi bernuansa kuning, putih, dan hijau, sedangkan yang terakhir berwarna-warni. Dengan puas, Kresna menatap hasil kerja tangannya.

Bersamaan dengan itu, Pinasti sudah selesai mandi. Gadis itu mengenakan daster batik tanpa lengan dengan corak parang rusak berwarna coklat. Kresna segera mengulurkan mahkota bernuansa kuning-putih-hijau padanya.

“Nih, sudah jadi,” senyum Kresna.

Pinasti menerimanya dengan senang hati. Wajahnya tampak segar dengan sedikit rona tersipu yang menghiasi dengan sangat manis. Kresna membantu mengenakan mahkota itu di puncak kepala Pinasti.

“Terima kasih,” bisik Pinasti.

“Sama-sama,” balas Kresna, halus. “Aku mandi dulu, ya.”

Pinasti mengangguk. “Mm... Mas...”

“Ya?” Kresna menghentikan langkahnya.

“Aku ingin mengajak Mas Kresna untuk melihat matahari terbenam. Boleh, kok, sama Nini dan Ibu. Mas mau?”

“Wah, boleh!” Kresna menyambutnya dengan antusias.

Pemuda itu kemudian menghilang ke arah belakang pondok untuk mandi.

Matahari terbenam? Di mana?

Keingintahuan itu seketika membuatnya sangat bersemangat.

* * *

Kresna menurut ketika Pinasti mengajaknya menyeberangi sungai di belakang pondok. Bagian sungai tepat di ujung jalan setapak itu ternyata sangat dangkal. Hanya setinggi betis. Setibanya di seberang, Pinasti menyibakkan dedaunan keladi besar yang menyambut mereka. Ada jalan setapak lain di balik rerimbunan keladi itu. Jalan setapak yang menanjak.

Suasana di sepanjang jalan setapak itu sedikit remang karena ada di bawah naungan berbagai pohon besar. Tapi Kresna dapat melihat secercah suasana terang yang berada di atas, di ujung jalan setapak.

Setelah beberapa lama berjalan, keduanya pun sampai di ujung jalan setapak. Letaknya ada di puncak bukit kecil. Dan, pemandangan yang terbentang di depan mereka membuat Kresna hampir lupa bernapas.

Ada danau besar terbentang di bawah. Penuh dengan teratai yang mekar indah. Ia ingat, ia pernah melihat pemandangan itu dari puncak Gunung Nawonggo saat mendaki dulu. Danau teratai di kejauhan yang entah bisa dicapai atau tidak oleh orang ‘luar’. Ketika ia melangkah setapak lagi, keluar dari ujung jalur jalan, tubuhnya terasa menabrak dinding keras. Seketika Kresna mengerti dan tak mencoba lagi untuk mengulangi perbuatannya. Maka, ia pun berdiri diam dan menatap kejauhan.

Matahari mulai menggelincir ke arah kaki langit, tepat berbatasan dengan danau teratai yang seolah tak bertepi. Sinar jingganya tak lagi terasa hangat dan menyilaukan mata. Di tengah keheningan yang membungkus tempat itu, lagi-lagi Kresna berusaha menyimpan pemandangan itu di dalam hati. Dan, matahari pun kini sudah bersembunyi sempurna di tempat peraduannya. Kresna menggeleng samar.

Seandainya aku bisa mengabadikan keindahan ini dalam bingkai foto...

Tapi hal itu hanyalah tinggal ‘seandainya’. Ponselnya masih utuh ada di dalam ransel. Diam tak berkutik dalam kondisi mati total. Dihelanya napas panjang. Pelan-pelan, kelam mulai menyelimuti tempat itu.

“Kita pulang, Mas?” usik Pinasti lembut.

Kresna mengangguk. Keduanya kemudian berbalik. Bergandengan tangan, kembali menyusuri jalan setapak berpasir halus seperti jalan setapak lainnya di tempat itu.

Remang sudah berganti jadi gelap pekat ketika mereka melangkah di bawah jajaran pohon-pohon besar. Suasana yang sungguh-sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Tapi entah kenapa, Kresna merasa aman bersama Pinasti.

“Pin...,” suara lirih Kresna memecah keheningan itu.

“Ya?”

“Aku... nggak lama lagi... harus kembali ke atas.”

Sunyi. Tak ada sahutan dari Pinasti. Kresna menghela napas panjang.

“Kita akan berpisah,” lanjut Kresna dengan suara berbalut kesedihan. “Aku ingin selalu mengingatmu. Mungkin tidak bisa. Tapi...”

Kresna merasa genggaman tangan Pinasti mengetat di telapak tangannya. Ia balas meremas telapak tangan mungil Pinasti.

“Aku merasa... hati kita akan saling mengingat,” gumam Pinasti. “Walaupun mungkin ingatan dalam benak kita akan terhapus tanpa bekas.”

“Ya,” Kresna mendegut ludah. “Aku harap begitu.”

“Mm... Besok aku akan mengajak Mas ke padang bunga,” ucap Pinasti. “Mas mau?”

“Mau! Mau!” Kresna menyahut dengan nada antusias.

Pinasti tersenyum. Satu hal lagi yang ia suka dari diri Kresna. Antusiasme yang begitu murni dan jujur.

* * *

Seusai makan, Wilujeng masuk ke dalam bilik Kresna. Pemuda itu tengah ada di dalam. Merapikan beberapa baju bersihnya. Dimasukkannya baju-baju itu ke dalam ransel. Wilujeng duduk di tepi pembaringan. Ditatapnya Kresna.

“Ibu selalu merindukanmu,” bisik Wilujeng dengan mata mengaca. “Merindukan kalian.”

Pelan-pelan Kresna duduk di sebelah Wilujeng. Sebelah lengan kukuhnya merengkuh sekeliling bahu Wilujeng.

“Aku harap kita segera berkumpul kembali, Bu,” lirih suara Kresna. “Aku tak bisa membayangkan betapa bahagianya Ayah bila melihat Ibu lagi. Begitu juga Seta.”

“Seandainya Ibu bisa membawa serta Pinasti...,” Wilujeng tertunduk.

“Bu... Kan, Nini sudah bilang kalau takdir kita sudah digariskan,” hibur Kresna. “Kelak, semoga kita semua bisa bertemu lagi. Seutuhnya aku percaya ucapan Nini Paitun.”

Wilujeng tertunduk. Berusaha mengukir seulas senyum di wajahnya. Ditepuknya lembut paha Kresna.

“Jadi, kapan kamu siap untuk kembali ke ‘atas’?”

“Kapan pun aku siap, Bu. Tapi besok Pinasti masih mau mengajakku ke padang bunga yang ada entah di mana lagi,” Kresna menyambung ucapannya dengan gelak ringan. “Tempat ini benar-benar sangat menakjubkan. Aku sungguh beruntung bisa sejenak menikmatinya, Bu. Walaupun awalnya sangat menyakitkan.”

Wilujeng kembali menepuk lembut paha Kresna sambil berdiri.

“Ya, sudah, kamu tidurlah. Sepertinya besok kamu akan menghabiskan waktu seharian bersama Pinasti. Nikmatilah selagi masih ada waktu.”

Kresna mengangguk. Wilujeng mengecup lembut keningnya. Kemudian berlalu. Keluar dari bilik.

* * *

Ia seperti terjebak dalam sebuah lorong gelap. Mengapung dalam kelam yang terasa begitu kosong.

Apa yang terjadi?

Secara samar ingatannya berlabuh pada kejadian yang serasa baru sedetik berlalu. Ketika sebuah hantaman yang begitu keras dan menyakitkan melanda tubuhnya. Lalu, selebihnya gelap.

Ya, Tuhan... Apa yang terjadi?

Secara samar pula telinganya menangkap bebunyian dalam ritme teratur. Terasa dekat, sekaligus jauh. Terasa sedikit mengganggu, tapi entah bagaimana caranya ia tahu bahwa ia membutuhkan bebunyian itu.

Tak ada rasa sakit. Tak ada cahaya.

Sekali lagi, ya, Tuhaaan... APA YANG SUDAH TERJADI PADAKU???

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)




4 komentar:

  1. Wah, besok harus kubaca lagi, nih.

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Papae Quin meneh30 Mei 2018 pukul 07.28

      Wanyik ....... Koyoe wes pruput isuk² mrene lah kosek kedisikan juragan lab ae rek wkkkkkkkk

      Hapus
  3. Iki es erek² presensi awak yoh nyah wkkkkkkk

    BalasHapus