Senin, 28 Mei 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #8-1











* * *


Delapan
Rangkaian Benang Merah


Pinasti tersenyum samar ketika melihat Kresna makan dengan lahap hasil masakannya. Nasi merah hangat berlaukkan ikan goreng dan tumis pakis yang diberinya tambahan sedikit bunga krisan. Tampaknya, Kresna merasakan tatapan Pinasti. Pemuda itu mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. Hanya sedetik, karena Pinasti buru-buru menunduk, kembali menatap piringnya. Paitun dan Wilujeng yang memergoki kejadian itu saling bertukar tatapan penuh arti, disertai senyum lebar.

Wilujeng ingat percakapan tertutupnya dengan Kresna semalam. Setelah pembicaraan mereka dengan Paitun selesai, ia dan Kresna masih bertahan duduk-duduk di beranda. Menanti pulangnya Pinasti dan Janggo dari danau. Paitun sendiri mengundurkan diri ke belakang untuk mengurusi berbagai jenis tanaman obat yang siang harinya sudah dipanen Randu dan Kriswo.



‘Jadi yang mendorongmu sampai jatuh ke dalam jurang itu teman perempuanmu?’ Wilujeng menatap Kresna.

Pemuda itu mengangguk lemah.

‘Pacarmukah?’

Seketika Kresna membantah, ‘Bukan, Bu! Aku belum punya pacar. Alex itu salah satu sahabatku. Kami bertujuh bersahabat. Seta, Alex, Yopie, Sagan, Aksan, Rizal, dan aku. Alex satu-satunya perempuan dalam grup kami. Dia memang tomboy. Dengar-dengar, dia penyuka sesama jenis pula. Tapi kami nggak pernah menanyakan hal itu padanya. Terlalu pribadi.’

Wilujeng menghela napas panjang. Tapi, suara Kresna yang menembus pikirannya kemudian membuatnya hampir lupa bernapas.

‘Bu, aku rasa... aku menyukai Pinasti...,’ Kresna tertunduk. ‘Tapi entahlah, mungkin perasaanku memang sedang kacau. Lagipula Pinasti masih kecil. Aku...,’ Kresna menggeleng samar.

Tangan kanan Wilujeng terulur. Dengan hangat menggenggam tangan Kresna.

‘Kres, Pinasti sudah tumbuh jadi gadis muda yang cantik. Cerdas pula. Pribadinya juga baik. Ibu tahu karena Ibu yang mengurusnya sejak bayi. Bagi Ibu, Pinasti benar-benar anak Ibu. Tapi bagaimanapun, memang darah yang mengalir dalam tubuh kalian tidak sama. Ibu tak menyalahkan perasaanmu.’

Kresna terdiam. Suara lembut Wilujeng kembali menembus benaknya. Ada aura kesedihan yang cukup kental di dalamnya.

‘Sayangnya, Ibu tak boleh membawanya pulang bersama kita. Dan, mungkin juga dia akan terhapus dari ingatan Ibu. Soal ke depan bagaimana nasib kita bertiga, Ibu belum tahu.’

Kresna menghela napas panjang. Sebelum pembicaraan mereka berlanjut, Pinasti dan Janggo sudah muncul kembali dengan wajah cerah. Dan, Wilujeng bisa melihat dengan jelas, ada cahaya yang berpendar indah dalam mata Kresna ketika menatap Pinasti. Pun sebaliknya.



Suara dengking pendek-pendek di luar menyentakkan Wilujeng dari lamunan. Ia mengerjapkan mata bersamaan dengan Paitun berdiri dari duduknya dan keluar dari pondok melalui pintu belakang. Tak lama kemudian terdengar suara bagai dengung lebah di benaknya. Pembicaraan yang tidak jelas walaupun tak tertutup seluruhnya. Tapi ia masih mengenali salah satu suara itu. Suara Sumpil.

* * *

Sumpil menghela napas lega ketika melihat Paitun muncul. Ia mendekati perempuan itu.

‘Ada apa, Pil?’ sambut Paitun, tanpa basa-basi.

‘Ni, aku baru saja dapat kabar dari Kulukulu, ada kecelakaan di kaki Bukit Seribu Kembang Goyang semalam. Kulukulu lapor pada Nyai Combrang. Dia kemudian disuruh mencariku untuk menyampaikan kabar ini pada Nini. Pesan Nyai Combrang, kejadian ini ada hubungannya dengan orang yang Nini selamatkan beberapa hari lalu.’

‘Oh, ya...,’ Paitun manggut-manggut. Jadi benar petir itu...

Kulukulu yang disebutkan Sumpil adalah ajak penjaga Bawono Kecik di perut Gunung Julang yang bersebelahan dengan Bukit Seribu Kembang Goyang. Dan, setelah menyampaikan kabar penting itu, Sumpil pun berpamitan pada Paitun.

Perempuan itu kemudian masuk kembali ke dalam pondok. Meneruskan makan paginya yang tertunda.

“Sumpil, Mak?” tanya Wilujeng.

Paitun mengangguk sembari duduk.

“Ada kabar apa?”

“Cuma memberi tahu, semalam ada yang celaka di kaki Bukit Seribu Kembang Goyang.”

Secara tersamar, Paitun mengayunkan tangannya di udara, berlagak mengusir sesuatu yang mengganggu. Sebenarnya, ia sedang menutup pembicaraan hanya untuk dirinya dan Wilujeng saja.

‘Itu gadis yang mencelakaan Kresna, Jeng,’ ucap Paitun dalam hening. ‘Sudah menerima ganjarannya. Dan... Kresna secepatnya bisa kembali ke ‘atas’.’

Ah, perpisahan itu... Wilujeng mendegut ludah.

Sungguh, ia tak keberatan ada perpisahan lagi dengan Kresna. Karena ia tahu perpisahan itu tak akan lama. Ia juga akan kembali ke ‘atas’ setelahnya.

Tapi Pinasti?

Pelan-pelan, mendung itu pun turun menyelimuti wajah Wilujeng. Tapi ia berusaha menahan rasa sedih itu.

‘Nanti kita bicara lagi dengan Kresna, Jeng. Aku akan meminta Janggo untuk bawa Pinasti main di luar agar kita bisa bicara dengan bebas bertiga.’

Wilujeng mengangguk samar.

Seusai makan pagi, dengan pikirannya Wilujeng memanggil Janggo. Ajak itu pun datang dengan berlari-lari kecil ke pondok Paitun. Ketika Wilujeng memintanya untuk mengajak Pinasti ‘bermain’ di luar, ia menyambutnya dengan senang hati.

“Boleh mengajak Mas Kresna, Bu?” tanya Pinasti dengan tatapan penuh harap.

Tapi Wilujeng menggeleng.

“Besok kamu masih bisa ‘main’ dengan Mas Kresna, Pin,” celetuk Paitun. “Sekarang sama Janggo saja, ya?”

“Baiklah,” Pinasti mengangguk patuh walaupun dengan wajah sedikit kecewa.

“Pin,” panggil Kresna tiba-tiba ketika Pinasti hendak beranjak.

“Ya?” perawan sunti itu berbalik.

“Cari bunga yang bagus-bagus, ya,” senyum Kresna. “Nanti kubuatkan mahkota bunga lagi.”

Seketika ekspresi kecewa sirna dari wajah Pinasti. Perawan sunti cantik itu mengangguk dengan antusias, kemudian berpamitan. Tak lupa Wilujeng membekalinya dengan beberapa buku, makanan, dan minuman dalam keranjang rotan.

* * *

Janggo mengajak Pinasti ke padang bunga di tenggara Bawono Kinayung. Wajah perawan sunti itu tampak berseri-seri ketika memetik bunga beraneka warna, bentuk, dan ukuran yang terhampar di sana. Sudah terbayang di benaknya, mahkota bunga cantik yang nanti akan dibuatkan Kresna untuknya. Tanpa bisa dicegah, semu kemerahan mewarnai pipinya.

‘Duh... Yang lagi jatuh cinta...,’ suara berat Janggo yang menyeruak masuk ke dalam benak Pinasti sarat nada sindiran.

Seketika Pinasti tersipu.

“Apa, sih, Janggooo...,” elaknya, dengan warna merah makin bersemburat di pipi.

Janggo mendengking. Tertawa. Ajak itu kemudian berbaring malas di atas rerumputan yang terbentang bagai permadani mengalasi padang bunga. Pinasti yang sudah selesai memetik bunga kemudian duduk di sebelahnya.

‘Mm... Tapi aku merasa bahwa kami akan berpisah tak lama lagi,’ ada kesedihan dalam gema suara hening Pinasti.

Janggo menghela napas panjang. Sesungguhnya ia tahu itu. Ia juga sudah tahu bahwa keberadaan Kresna di Bawono Kinayung akan segera berakhir. Diulurkannya salah satu kaki depannya. Menjangkau pangkuan Pinasti. Perawan sunti itu pun menanggapi dengan menggenggam cakar Janggo.

‘Pin, semua akan baik-baik saja,’ ucap Janggo. ‘Kehidupan kita sudah ada garisnya sendiri-sendiri.’

Pinasti menghela napas panjang.

‘Dan, kalau benar aku harus pindah ke ‘atas’, berarti kita akan berpisah, Janggo...’

Tapi Janggo hanya mendengking pendek sekali. Tersenyum simpul dalam benaknya. Senyum yang penuh rahasia.

* * *

Selanjutnya



Mari silakan singgah juga ke CATATAN DI BALIK LAYAR ini. Terima kasih... 🙏

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


6 komentar:

  1. Duh, yang lagi kasmaran. Ehehehehe

    BalasHapus
  2. Aku ki terkesan tenan karo polose Pinasti dik. Gambaran karaktere jelas ning ora berlebihan. Wis jan apik tenan crita iki !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih... Makasih... Makasiiih... 😘💕

      Hapus
  3. Waduh..janggo mau ijut ke atas rek...

    BalasHapus