Jumat, 25 Mei 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #7-1










* * *


Tujuh
Dinding Runtuh


Seta menghentikan motornya di bawah sebuah pohon yang rimbun, di dekat sebuah rumah besar berlantai dua. Sejenak ia mengatur napas dan menyurutkan kemarahan. Hal yang akan diurusnya kali ini adalah hal yang sangat besar. Selain itu, ia sekalian menunggu kedatangan Yopie dan Aksan. Beberapa saat setelah ia tadi meninggalkan rumah, ia sempat menghubungi Yopie. Kebetulan Aksan sedang ada di rumah Yopie. Setelah mendengar penuturannya, tanpa berpanjang kata lagi, Yopie dan Aksan pun langsung berangkat ke tempat itu.

Sekitar lima menit menunggu, Seta melihat motor besar yang dikendarai Yopie muncul di belokan. Motor itu mendekat dan berhenti di depan motornya. Aksan melompat turun dari boncengan motor Yopie.

“Lo yakin?” pemuda itu menatap Seta.

Seta menggeleng samar. “Gue cuma main logika, San.”

Yopie pun mendekat setelah memarkir motornya baik-baik. Seta beralih menatapnya.

“Gue masih ingat urutan kita pas mendaki itu,” ujar Yopie. “Sesekali, kan, gue sempatin juga noleh ke belakang, mastiin rombongan masih lengkap gak. Dari depan itu gue, terus Seta, Aksan, Sagan, Rizal, Alex, Kresna. Ya, wajarlah kalau kita harus kejar penjelasan Alex.”

Seta terpekur sejenak. Mereka bertujuh sudah bertahun-tahun bersahabat. Tak pernah ada tanda-tanda permusuhan antara Alex dan Kresna. Apalagi ia mengenal betul Kresna yang penyabar dan tak suka membuat masalah. Sulit sekali untuk menerka motifnya. Tapi seutuhnya Seta mempercayai penjelasan Mahesa soal mimpi Samadi, dan pesan yang disampaikan laki-laki itu. Ia kembali menggeleng samar.

“Oke, sekarang coba kita tanya Alex baik-baik,” ujar Aksan. “Sudah kepalang basah, kita sudah sampai di sini.”

Kedua sahabatnya mengangguk.

“Gue harap, lo bisa tahan emosi, Set,” Aksan menepuk bahu Seta.

Seta mengangguk. Seandainya benar Alex pelakunya, yang ia lebih butuhkan saat ini hanyalah pengakuan. Agar Kresna bisa kembali.

Sayangnya, yang dicari tidak ada. Kata temannya sesama penghuni kompleks rumah kost itu, Alex mudik begitu pulang dari Gunung Nawonggo. Kapan akan kembali, tak ada yang tahu.

* * *

Gadis muda itu hanya bisa termangu dengan tatapan kosong ketika penjelasan Paitun tuntas, dengan masih menyisakan bagian ‘belahan jiwa’ yang untuk sementara waktu memang sengaja disimpan dulu oleh Paitun. Kresna sendiri masih berusaha melonggarkan napasnya yang terasa sesak tiba-tiba.

“Jadi... aku bukan anak Ibu?” Pinasti mengerjapkan mata.

Wilujeng hanya bisa menjawabnya dengan sebuah pelukan erat.

“Tapi Ibu sangat menyayangimu, Pin...,” bisik Wilujeng.

Seutuhnya Pinasti mempercayai bisikan Wilujeng. Kasih sayang. Itu yang ia dapatkan dari Wilujeng seumur hidupnya hingga detik ini. Lagipula Wilujeng sendiri juga tak pernah tahu bahwa Pinasti bukanlah anak kandungnya.

Lalu, tatapan Pinasti berlabuh pada Kresna, yang masih terpekur dengan mata menerawang jauh menembus dedaunan yang merimbun di depan beranda pondok Paitun. Debar liar itu datang lagi.

Jadi...

Rupanya perasaan itu tidak salah. Kresna bukanlah abang kandungnya. Bukan pula abang tirinya. Darah yang mengalir di tubuh mereka tidaklah berasal dari sumber yang sama. Tapi...

Apakah dia juga punya perasaan yang sama?

Tepat saat itu, Kresna mengalihkan arah pandangnya. Kini, tatapan mereka saling mengunci. Saling menyusuri lorong-lorong tersembunyi yang mungkin menyimpan jawabannya. Pada suatu detik yang sama, keduanya sama-sama tersentak. Pinasti buru-buru mengalihkan tatapannya. Wajahnya sedikit memerah.

Gusti... Dia juga...

Dan, entah bagaimana, tiba-tiba saja Kresna menemukan jawabannya. Terutama tentang sengatan serupa aliran listrik yang ada saat ia bersentuhan dengan Pinasti.

Dia bukan adikku. Jadi...

Dihelanya napas panjang untuk sedikit meredakan kecamuk berbagai rasa yang berlompatan secara bersama-sama dalam hatinya. Ada kelegaan, karena ia mendapati bahwa rasa ‘tak wajar’ yang timbul itu ternyata bukanlah sesuatu yang salah. Juga ada kesedihan, karena itu artinya ia sudah tak lagi memiliki adik. Ada juga rasa was-was, membayangkan bagaimana ia nanti harus berpisah dengan Pinasti. Ia dan Wilujeng akan sama-sama kembali ke ‘atas’. Sementara Pinasti... Kresna mendegut ludah.

“Ada banyak hal yang tak mungkin aku jelaskan satu per satu,” suara Paitun memecah keheningan. “Tapi yang pasti, kehidupan kalian akan terus berlanjut di ‘atas’. Tinggal menunggu satu hal. Yang mendorong Kresna ke jurang harus jelas dulu siapa. Karena itu juga termasuk benang merahnya.”

Kresna menggeleng samar. Kembali menatap rimbunnya dedaunan.

“Kres, kamu benar-benar tak mau mengatakannya pada Nini?” tanya Paitun dengan sangat lembut.

Kresna mengalihkan tatapannya pada Paitun. Tak perlu berpikir ulang untuk menggeleng lagi. Paitun mendesah.

“Gusti tahu, Ni,” ucap Kresna.

“Ya, Gusti tahu,” Paitun mengangguk. “Gusti tahu segalanya. Tapi Gusti sudah menyerahkan urusan ini pada Nini. Nini harus menyelesaikannya.”

Kresna kembali tercenung. Apakah menyebutkan namanya adalah tindakan yang benar? Toh, aku masih hidup. Tidak kenapa-kenapa.

Sementara itu, tanpa disadari Kresna, tangan Pinasti membuat lingkaran di udara, kemudian menyentuhkan telapak tangan kanannya pada lengan Paitun. Komunikasi tertutup antara keduanya akan segera dimulai.

‘Nini, benarkah Nini tidak bisa menembus pikiran Mas Kresna soal itu?’

Paitun menggeleng samar. ‘Pertahanannya terlalu kuat. Kabutnya tebal sekali, Pin.’

‘Tadi pagi aku mendapati sesuatu. Tidak terlalu jelas, tapi mulai kelihatan samar-samar.’

‘Oh, ya? Katakan pada Nini, Nduk...’

‘Yang menyebabkan Mas Kresna bisa sampai dijatuhkan ke sini adalah perempuan. Rambutnya ikal panjang. Hanya itu gambaran yang bisa aku dapatkan.’

‘Hm...,’ Paitun manggut-manggut.

Pinasti pun mengakhiri komunikasi tertutup itu. Paitun berdehem pelan.

“Kita sudah mengalami banyak hal hari ini,” ucapnya. “Besok, Suket Teki dan aku akan mengantar Wilujeng ke Bawono Sayekti untuk ziarah ke makam. Kamu boleh ikut, Kres, karena itu makam adikmu juga. Pinasti kalau mau ikut juga boleh.”

Tak ada yang bisa mereka lakukan selain mengangguk.

* * *

Remang terasa makin pekat. Udara pun mendingin. Pinasti terbangun tiba-tiba. Seolah ada yang menggerakkannya untuk meraih sehelai kain lebar yang bisa menghangatkan tubuh bagian atasnya. Sebelum beringsut dari pembaringan dan keluar dari bilik, Pinasti menatap wajah teduh Wilujeng yang terbaring di sebelahnya. Dihelanya napas panjang.

Semoga perpisahan kita nanti tidak terlalu menyedihkan, Bu...

Ia mengerjapkan mata yang sedikit basah. Kenyataan itu sungguh mengentakkan perasaannya. Ada rasa sakit, sekaligus harapan. Juga keraguan. Semua bergumul jadi satu.

Akan jadi seperti apa hari esok?

Tapi ia memutuskan untuk berhenti berandai-andai. Tanpa suara, ia keluar dari dalam bilik, kemudian melangkah ke arah depan pondok. Langkahnya sempat terhenti ketika membuka pintu. Didapatinya Kresna sudah ada di beranda. Duduk mencangkung di atas balai-balai. Pemuda itu menoleh ketika merasa ada orang lain di dekatnya.

“Pin?” bisiknya.

Pinasti mendekat, kemudian duduk di tepi balai-balai. Kresna menurunkan kakinya.

“Sini,” pemuda itu menepuk tempat tepat di sisi kirinya.

Pinasti pun beringsut, duduk lebih dekat ke arah Kresna.

“Apakah... kamu juga... merasakan hal yang sama... denganku?” lirih suara Kresna. Sedikit terbata.

Pinasti menunduk. Mengangguk tanpa kentara. Tapi dalam keremangan, Kresna menangkap gerakan halus itu. Dihelanya napas panjang.

“Aku... takut salah,” gumam Kresna lagi. “Tapi ternyata... kita memang bukan abang-adik.”

Pinasti masih terdiam. Larut dalam pikirannya sendiri.

Sedikit banyak, ia mulai memahami soal ‘rasa’ itu. Beberapa buku cerita yang pernah dibacanya ada yang bicara soal cinta kepada lawan jenis. Dan, kini ia seolah-olah ‘terjebak’ di dalamnya. Tapi ada kelegaan tersendiri. Karena Kresna ternyata merasakan juga hal yang sama. Dinding itu sudah runtuh.

“Aku... belum pernah merasa seperti ini, Pin,” desah Kresna tiba-tiba. “Aku punya banyak teman cewek. Tapi baru kali ini aku... Ah!”

‘Kamu masih kecil, Pin... Tapi aku tahu aku mencintaimu...’

Dengan jelas Pinasti menangkap pikiran itu. Pikiran yang berlayar dalam benak Kresna. Tapi ia memutuskan untuk tak mengatakan apa-apa. Cukup tahu saja.

“Mas, besok kita ikut Ibu dan Nini, kan?” ujarnya kemudian, halus, mengalihkan bahan pembicaraan.

“Ya, aku ikut. Kamu juga, kan?” Kresna menatap Pinasti.

Perawan sunti cantik itu mengangguk. “Kalau begitu, sebaiknya kita istirahat. Karena besok kita akan berangkat pagi-pagi.”

“Baiklah,” Kresna bangkit pelan-pelan. “Ayo,” diulurkannya tangan pada Pinasti.

Gadis muda itu ragu-ragu sejenak. Tapi disambutnya juga uluran tangan Kresna. Ada sedikit sengatan yang tersalur ketika tangan mereka saling menggenggam. Kresna tersenyum. Ia sudah menyiapkan diri. Bahkan sebelah tangannya yang bebas mengelus kepala Pinasti.

“Besok kubuatkan lagi mahkota bunga untukmu,” ucapnya sembari beranjak. “Yang jauh lebih bagus.”

Pinasti tersenyum mendengarnya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


11 komentar:

  1. Uuu... Dibikinin flower crown 😬😮😱

    BalasHapus
  2. siapakah perempuan berambut panjang?
    Jadi kayak cerita misteri nih mbak. saluut belok2nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasiiih mampirnya ya, Mbak Muti... 😘💕

      Hapus
  3. Wis a.. Pembacane lak dicegurno nang endi2 rek! 😀
    👍👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapie awak dewe sek ketagian mampir ae yoh Al wkkkkkkkkk

      Hapus
    2. Kurang penggawean ncene bapak-bapak iki... 🙄🙄🙄

      Hapus
  4. Woww kerennn... Pinasti semakin berseri wajahnya begitu dia n kresna berjodoh nantinya..... Salam peluk cium buat mereka dan penulisnya..😘😘😘

    BalasHapus