Selasa, 22 Mei 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #6-2








Sebelumnya



* * *


Sedikit demi sedikit, ia mulai memahami apa yang sedang mengguncang hatinya beberapa hari belakangan ini. Sejak ia melihat sosok Kresna untuk pertama kalinya.

Perasaan ini...

Pinasti melangkah dalam hening di samping Kresna. Begitu juga pemuda itu. Keduanya seolah tenggelam dalam lautan pikiran masing-masing.

Mereka menyusuri jalan dengan mengambil arah ke kanan sekeluarnya dari pondok Paitun. Ujung jalan itu buntu, berakhir pada sekumpulan pakis raksasa. Tapi Pinasti berjalan terus. Tangan mungilnya bergerak menyibak rumpun pakis itu. Ternyata ada sebuah lorong di baliknya.

Tanpa berkata apa-apa, Kresna mengikuti langkah Pinasti masuk ke dalam lorong itu. Dari suasana terang yang teduh di mulut lorong, makin ke dalam makin redup walaupun tidak gelap pekat. Kresna merasakan semilir angin dari arah depannya.

Sekitar lima menit melangkah dalam kegelapan, menembus lorong dengan banyak cabang dan seolah melingkar-lingkar, mereka pun sampai di ujungnya. Suara germercik air sudah terdengar sejak mereka memasuki cabang lorong terakhir. Ada sungai kecil yang mengalir di ujung lorong itu. Pinasti berbelok ke kiri. Kresna tetap mengikutinya. Sebuah sampan kecil tertambat di dermaga mini. Pinasti meraih tali yang menambatkan sampan itu ke tiang dermaga dan melepaskan ikatannya.

“Masuklah, Mas,” ucapnya.

Kresna pun menurut. Dengan hati-hati ia masuk ke dalam sampan. Benda itu sempat bergoyang-goyang ketika ia menapakkan kaki dan menempatkan diri. Tapi entah, sedikit pun ia tak merasa khawatir. Ia merasa bahwa ia akan baik-baik saja bersama Pinasti. Ada perasaan nyaman yang begitu kuat. Apalagi ketika gadis muda itu naik pula ke dalam sampan.

“Mana dayungnya, Pin?” Kresna mencari-cari sesuatu.

“Tak ada,” Pinasti menggeleng. Tersenyum. “Sampan kita akan meluncur sendiri.”

Dan, benar saja! Sampan itu mulai bergerak menjauhi dermaga. Meluncur mengikuti arah air mengalir. Kresna ternganga sejenak. Ia kemudian menggeleng samar.

Setelah ini, keajaiban apa lagi yang akan kutemui?

Sampan itu terus melaju. Ada tiga lorong di depan. Ketika sampan terus mendekati mulut lorong-lorong itu, tangan kanan Pinasti terulur ke arah air. Dengan halus, ia menepuk air di bagian kanan sampan sebanyak tiga kali. Seketika arah sampan berubah. Melenceng ke kanan, masuk ke lorong paling kanan. Kresna kembali ternganga.

Lorong itu sepertinya berujung di sebuah tempat yang terang. Tampak ada sumber cahaya di depan. Sampan itu terus melaju. Menimbulkan suara kecipak halus yang terdengar indah di telinga.

Terang itu makin jelas. Dan, Kresna ternganga untuk kesekian kalinya ketika mereka keluar dari lorong. Sungai kecil itu berbelok ke kiri. Mengalir terus berujung entah di mana. Mereka kini sudah sampai di tepi sebuah padang rumput luas yang hijau, disinari cahaya mentari, dan ada beberapa pohon peneduh di sepanjang tepi sungai. Selain itu, ada dermaga kecil lain di sana. Tempat sampan itu berlabuh, dan Pinasti menautkan tali tambatan ke salah satu tiangnya.

Kresna turun pelan-pelan dari sampan. Ia mendongak. Membiarkan sinar lembut matahari menghangatkan wajahnya yang selama beberapa hari ‘terpendam’ di dunia ‘bawah’. Ia tak terlalu peduli ada di mana ia sekarang.

Diam-diam, Pinasti menatap Kresna. Menatap wajah tampan pemuda itu. Wajah tampan yang terlihat begitu berseri di bawah pendar cahaya matahari. Tapi ia buru-buru mengalihkan tatapannya ketika kepala Kresna bergerak. Kali ini, pemuda itu melihat berkeliling. Mengamati keindahan padang rumput yang membentang di sekitar mereka.

“Pin... ini bagus sekali...,” desahnya.

“Ya,” Pinasti mengangguk. Tersenyum. “Setidaknya, inilah dunia ‘atas’ yang pernah kukenal.”

Seketika Kresna menatapnya. Dunia atas? Ia melihat lagi berkeliling. Padang rumput itu cukup luas. Ada tebing yang membentang tinggi di seberang sana. Dan... Astaga... Itu mobil-mobil? Terlihat ada jajaran berbagai kendaraan bermotor yang hilir mudik pada sebuah jalur. Jadi...?

“Pin... ini...?” Kresna tak sanggup meneruskan ucapannya.

“Kata Nini, itu jalur Pegunungan Pedut,” ujar Pinasti sambil duduk di bawah sebuah pohon. “Dulu, Ibu ditemukan di sisi sebaliknya sana.”

Kresna terduduk di dekat Pinasti. Terakhir ia mendaki Gunung Nawonggo. Setidaknya, Gunung Nawonggo berjarak dua kota dari Pegunungan Pedut. Kini Pegunungan Pedut ada tepat di depan matanya. Dan, baru saja ia melalui perjalanan seturut aliran sungai hanya beberapa belas menit saja lamanya dari bawah Gunung Nawonggo.

Astaga...

Hanya itu yang mampu ia ucapkan dalam hati. Keajaiban-keajaiban yang dialaminya belakangan ini sungguh menggoncangkan logika yang selalu bermain di benaknya. Samar, Kresna menggelengkan kepala. Ia kemudian membaringkan diri di sebelah Pinasti. Gadis muda itu sudah kembali sibuk dengan novelnya.

Diam-diam Kresna mengamati adiknya itu. Seorang gadis muda yang benar-benar memiliki kecantikannya sendiri. Ada debar yang mulai bermain dalam hatinya. Debar liar yang sejujurnya mulai membuatnya ketakutan.

Astaga, Kresna! Dia adikmu sendiri!

Matanya mengerjap ketika suara hatinya berseru-seru mengingatkan. Kresna kemudian bangkit dan mulai berjalan-jalan di sekitar. Tangannya meraih batang-batang rumput dengan bunga kecil warna-warni di setiap ujungnya. Setelah berpikir sejenak, ia pun mencabut batang-batang berbunga itu.

Di sebelah sana, ada bebungaan liar yang lebih besar dengan warna-warni lebih cerah. Kresna pun melangkah ke arah itu. Pinasti mendongak sejenak. Tersenyum simpul. Tapi ia tak mengatakan apa-apa. Ia kembali menunduk ketika Kresna mendadak saja terpental beberapa langkah ke belakang. Seolah-olah gadis itu tak tahu apa-apa.

Kresna sendiri tersentak mendapati kenyataan itu. Ia kemudian berjalan pelan ke arah depan, dengan tangan kiri terulur. Tepat di sekitar ia terpental tadi, ujung jemarinya membentur sesuatu. Dengan mengerutkan kening, ia meraba sesuatu itu. Seperti dinding kaca. Membentang entah dari mana sampai ke mana. Ia berbalik, menatap Pinasti.

“Pin...”

“Ya?” Pinasti mendongak dengan wajah polos.

“Kita terpisah dari... dunia luar?” tanya Kresna, ragu-ragu.

Pinasti mengangguk. Membuat Kresna tertegun. Jadi... Ia mengerti kini. Pelan, ia kembali ke sini Pinasti. Duduk di sana. Terdiam dalam hening.

“Karenanya aku berani mengajak Mas ke sini,” ucap Pinasti dengan nada lembut. Nyaris hanya menyerupai gumaman.

Ya, karena aku tak mungkin bisa melarikan diri begitu saja.

Kresna kemudian ingat ucapan ibunya. Tentang waktu yang tepat. Seutuhnya ia memercayai hal itu. Dihelanya napas panjang. Perhatiannya teralih pada batang-batang bunga rumput yang ada di tangannya.

Ia segera tenggelam dalam keasyikan merangkai batang-batang itu. Ketika dirasanya kurang, ia mengambil lagi. Tak jauh. Tak sampai di tempat yang sudah membuatnya terpental tadi.

Pemuda itu tersenyum puas ketika ketekunannya selama beberapa saat baru saja membuahkan hasil. Sebuah mahkota yang cukup bagus. Pelan-pelan, dengan sangat hati-hati, ia meletakkan mahkota itu di puncak kepala Pinasti.

Perawan sunti cantik itu terlihat sedikit terkejut. Ia menoleh ke arah Kresna, yang menatapnya sambil tersenyum.

“Cantik..,” gumam Kresna.

Gumaman yang seketika menimbulkan badai dalam hati Pinasti. Gadis itu kemudian tertunduk dengan pipi bersemu merah. Menggemaskan sekali. Kresna meraihnya ke dalam pelukan. Berusaha menemukan kedekatan ikatan abang-adik yang ia belum pernah punya pengalaman merasakannya.

Tapi...

ZRRRTT!

Keduanya seolah tersentak, dan sama-sama terpental.

Aliran listrik itu...

Kresna ingat pernah merasakannya. Tapi kali ini sengatan itu jauh lebih besar tenaganya. Ditatapnya Pinasti yang balas menatapnya dalam belalak mata bulat besar.

“Pin, kenapa?” suara Kresna terdengar sedikit gemetar. Ia benar-benar kaget baru saja.

Dengan wajah sedikit ketakutan Pinasti menggeleng berkali-kali.

“Aku tidak tahu...,” bisiknya.

Kresna sungguh ingin kembali memeluk adiknya itu. Menenangkannya. Menghilangkan cahaya ketakutan dari matanya. Tapi ketika ia mengulurkan tangan, Pinasti justru beringsut menjauh.

“Jangan...,” gumamnya. “Jangan sekarang.”

Kresna menatapnya dengan putus asa.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)




8 komentar:

  1. Aq cumak isa duga".
    Skenarioe terserah authore.
    Ciamik pol soro to the max cerbunge pean iq mb Lis !
    Laen tekok biasae.
    Gemes aq !

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Huehehe... Kemping di Bawono Kinayung aja yuk, Mbak 😁😁😁

      Hapus
  3. Aku nggak tahu lagi mau komen apa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya nggak usah maksain diri komen to. Sesederhana itu.

      Hapus