Kamis, 10 Mei 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #1-4







Sebelumnya



* * *


Tiba-tiba saja Wilujeng tersentak bangun. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengamati dan memeriksa Kresna yang masih terbaring diam di atas tilam. Mata pemuda itu masih juga terpejam rapat. Dengan halus dibelainya wajah itu. Dihelanya napas panjang.

Sudah tiga belas tahun berlalu…

Matanya menghangat tiba-tiba.

Masihkah kamu ingat Ibu, Nak? Bagaimana kabar ayahmu, Seta, rumah kita?

Mengingat itu, air mata Wilujeng perlahan menitik.

Sosok Kresna kini seutuhnya sama dan sebangun dengan Mahesa Prabangkara. Satu-satunya laki-laki yang ia cintai sebelum si kembar Seta dan Kresna hadir dalam kehidupan mereka.

Lalu mereka menapaki hidup bahagia itu berempat. Rumah yang semarak, ayah yang selalu memiliki segudang cinta, ibu yang selalu punya kehangatan kasih, anak-anak yang lasak dan penuh celoteh…

Dan, suatu saat ia terpisah dari semuanya itu. Terguling dan terjatuh ke dalam lembah terdalam yang ia tak pernah tahu. Lembah dan lorong yang menjebaknya.

Keluar?

Wilujeng menggeleng lemah. Semua kedamaian hatinya ada di sini. Lagipula…

“Belum saatnya, Wilujeng.”

Terngiang kembali ucapan Paitun.

Ya, mungkin memang belum saatnya.

Wilujeng mengerjapkan mata.

Garis takdir terus berputar, dan aku tetap harus meniti garis itu. Garis itu pula yang mungkin membawa Kresna-ku ke sini…

Kresna-nya sudah tumbuh jadi pemuda yang tampan dan gagah. Seolah tak tersisa lagi pipi bulatnya yang menggemaskan.

Ya, memang sudah tiga belas tahun berlalu…

Dengung-dengung yang tak terlalu jelas mendadak saja menyeretnya keluar dari lamunan. Tapi ia masih bisa mengenalinya. Suara jiwa Pinasti dan Janggo. Ia menggeliat dan bangkit perlahan-lahan. Tanpa suara, ia membuka pintu kamar dan melangkah keluar. Dilihatnya sosok Paitun di depan jendela. Tengah menatap ke arah beranda.

‘Mak…,’ panggilnya dalam hening.

Perempuan tua itu menoleh. ‘Kamu belum tidur?’

‘Tadi sudah, sebentar. Emak sedang apa?’

‘Tak apa-apa. Hanya melihat anak-anak.’

‘Sedang apa Pinasti? Tadi dia pamit mau tidur.’

‘Sedang mengobrol dengan Janggo. Biarkan saja, Nduk.’

Wilujeng menguap tertahan, kemudian ikut melongokkan kepala. Melihat ada apa di balik jendela. Pinasti sedang duduk di beranda. Berdua dengan Janggo. Tampak serius bercakap dalam hening.

‘Anakmu sudah besar…’

Ia menoleh ketika suara Paitun menyusup dalam benaknya. Dilihatnya Paitun mengulum senyum.

‘Maksud Emak?’

‘Nanti juga kamu tahu.’

Wilujeng mengerjapkan matanya. Benar-benar tak mengerti arah bicara Paitun. Bersamaan dengan itu, terdengar erangan lirih dari dalam kamar. Wilujeng segera berbalik dan meninggalkan Paitun.

Kresna…

* * *

Rasa sakit itu kembali. Nyeri berdenyut-denyut terasa di sekujur tubuh. Ketika tak tahan lagi ia mengerang tertahan. Lalu, rasa sakit itu lenyap. Sejenak, ia merasa melihat cahaya kecil di ujung lorong. Ia berusaha melangkah ke arah cahaya itu, tapi terasa sangat berat. Ia bergerak, tapi sepertinya lorong itu tak berujung. Titik cahaya itu tetap terlihat kecil dan jauh. Dan, rasa sakit itu kembali. Ia mengerang lagi.

“Kresna… Kresna…”

Suara lembut itu menggema di telinganya. Gelap perlahan memudar.

“Kresna… Bangun, Nak…”

Cahaya itu kini mendekat sendiri. Terlihat makin besar. Makin besar…

“Kresna… Dengar Ibu, Nak?”

Suara itu terus menggema. Ia terhenyak tiba-tiba. Rasa-rasanya suara itu begitu akrab di telinga dan hatinya. Suara yang lembut dan hangat. Suara yang dirindukannya. Suara ibunya.

Ibu? Ibu! Ibu…

Dengan resah ia menggelengkan kepala.

Tapi Ibu sudah pergi! Sudah lama sekali pergi…

“Kresna… Bangun, Nak. Buka mata. Ini Ibu…”

Tiba-tiba saja rasa sakit itu kembali. Ia mengerang lagi.

“Aaah…”

“Kres… Kresna…”

Kali ini ia merasakan tepukan halus di pipinya. Cahaya itu sudah di depan mata. Entah dari mana asalnya kekuatan itu, matanya terbuka begitu saja. Cahaya itu benar ada. Tapi tak menyilaukan. Hanya pendar lembut di sebuah langit-langit. Dan gambaran yang kabur di matanya.

“Kres… Kresna… Sudah bangun kamu, Nak?”

Hah? Ibu?

Dikerjapkannya mata beberapa kali. Pelan kesadarannya yang tercerai-berai mengumpul. Setelah kerjapan terakhir, sebentuk wajah tampak memenuhi ruang pandangnya. Terasa ada yang menghentak di dada.

Ibu? Astaga… Aku sudah mati rupanya? Tapi benarkah dia Ibu?

Dicobanya untuk memfokuskan titik penglihatannya. Tatapan itu…

Perempuan yang memenuhi ruang pandangnya itu menatapnya dengan khawatir. Wajahnya yang teduh begitu dikenalnya. Benarkah?

“Bu…”

Perempuan itu tak menjawab. Kini memeluknya erat. Ada hentakan-hentakan rasa nyeri, tapi ia berusaha menahannya.

Ibu… Benarkah Ibu? Bukankah…

“Bu…,” hanya itu yang ia mampu bisikkan.

“Iya, Kresna,” bisik perempuan ayu itu. “Ini Ibu, Kresna. Ini Ibu! Masih ingat Ibu, Nak?”

“Bu…”

Lalu sederetan kalimat yang dimulai dengan ‘kenapa’, ‘bagaimana bisa’, ‘di mana’, segera memenuhi benaknya. Membuatnya didera rasa pening yang tak terhingga. Pelan-pelan cahaya itu meredup. Lalu hilang.

“Kresna!”

Suara lembut itu menggema lagi. Juga suara yang lain.

“Tak apa-apa, Wilujeng. Dia memang masih butuh istirahat.”

Wilujeng? Jadi dia benar-benar Ibu… Ah, di mana ini?

Lalu hening kembali, dan pekat menyelimutinya lagi. Hening dan pekat yang membuai dan menenangkan jiwa. Menghilangkan segala rasa nyeri. Kali ini, Kresna sangat menikmatinya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

7 komentar:

  1. Balasan
    1. Makasih banyak atas singgahnya, Pak Subur... 🙏😊

      Hapus
  2. Terus Pinasti anaknya siapa? Haduh terbitnya masih besok 😅

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo sudah nggak sabar ngikutin cerbung ini, sudah nggak bisa menikmati lagi, nulis sendiri aja, Neng...

      Hapus
    2. Akan saya ikuti terus kelanjutannya.

      Hapus
  3. Leyeh2 sore nyruput teh ro maca cerbung iki jan mewah tenan 👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haseeek... Matur nuwun mampire, Mbak 🙏😘💕

      Hapus