Sembilan
Senin
pagi itu, suasana kantor berangsur normal. Luken mengawali hari kerja dengan meeting bersama. Mengucapkan selamat
datang kembali pada para staf. Sekaligus mengumumkan bahwa jam kerja hari ini
akan berakhir pukul dua siang, dan besok akan berjalan seperti biasa lagi. Caesar
sebagai perwakilan para staf pun mengucapkan terima kasih atas perhatian Luken.
Sepanjang
minggu kemarin, di tengah kesibukannya, Luken memang tak henti memantau kondisi
para stafnya melalui grup WA kantor mereka, menyempatkan diri datang menjenguk
ke rumah sakit, menghubungi staf yang menjalani rawat jalan di rumah secara
pribadi, maupun mengurus kepulangan para staf yang sempat opname. Luken mengumumkan
pula bahwa ia sudah mengganti katering, sehingga para staf tidak perlu trauma
saat menghadapi makan siang mereka nanti.
Salah
satu hikmah yang bisa dipetik Luken dari peristiwa kocar-kacirnya kondisi
kantor minggu lalu adalah ia bisa melihat bahwa Olivia tidak beranjak sedikit
pun dari sisinya. Gadis itu mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan.
Melakukan apa saja yang bisa dilakukan. Menangani apa yang bisa ditangani. Tanpa
sedikit pun keluar keluhan. Olivia letih, ia tahu, karena ia pun sama letihnya.
Tapi semangat tetap terpancar dari wajah gadis itu. Membuatnya merasa bisa
melakukan apa saja. Semangatnya timbul kembali setiap melihat wajah teduh
Olivia.
Ketika
meeting berakhir, mereka pun kembali
pada kesibukan masing-masing. Sandra cukup takjub bahwa pekerjaannya tidak menumpuk
karena sudah diselesaikan Olivia, sedangkan dilihatnya Olivia juga tampak cukup
santai menyelesaikan pekerjaannya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan
sepontang-panting apa gadis itu minggu lalu.
“Mbak
Liv, makasih banyak, ya,” ucapnya dengan sangat tulus. “Aku cuma nggak bisa
bayangkan seandainya kita semua makan dari katering siang itu.”
“Jangan
dibayangkan, Bu,” Olivia tertawa ringan sambil tangannya terus memisahkan
lembar-lembar dokumen untuk dimasukkan ke dalam beberapa map berbeda.
“Disyukuri saja karena hari ini kita semua sudah bisa berkumpul kembali.”
“Selama
kacau-balau kemarin, dirimu pulang jam berapa, Mbak?”
“Paling
lambat jam enam, kok, Bu. Lumayan dari Rabu sampai Jumat aku diantar-jemput
Papa. Jadi nggak terlalu stress saat kena macet.”
“Terus,
katering itu gimana?”
“Ya,
diputus sama Bapak. Suruh bayar biaya perawatan. Kayaknya, sih, keder juga
karena Bapak ancam mau bawa ke polisi kalau mereka nggak mau tanggung jawab.”
“Sukurin,” gumam Sandra. “Sudah dibayar
mahal-mahal, kok, nggak mau jaga mutu.”
Olivia
terkekeh mendengar gumaman Sandra. Setelah selesai dengan pekerjaannya
memisahkan dokumen, ia membawa beberapa buah map untuk ditandatangani Luken.
Pelan-pelan gadis itu membuka pintu kantor Luken begitu ada jawaban atas
ketukannya.
“Duduk,
Liv,” ucap Luken begitu Olivia muncul.
“Ada
beberapa berkas yang perlu ditandatangani, Pak,” dengan halus Olivia
menyodorkan map-map itu sambil duduk.
“Hm...”
Walaupun
sudah sangat percaya dengan kinerja sekretarisnya itu, Luken tetap membaca
kembali secara singkat dokumen-dokumen itu.
“Tadi
sudah dikasih uang sama Tina untuk katering?” tanya Luken sambil mulai menggoreskan
tanda tangan.
“Sudah,
Pak,” angguk Olivia. “Nanti biar saya titipkan Mama untuk disampaikan ke Budhe. Sebentar lagi Mama antar
kateringnya.”
Seketika
Luken mengangkat wajahnya. “Mama?”
Olivia
mengangguk. Tersenyum.
“Mamamu?”
Olivia
mengangguk lagi.
“Kok?”
“Hehehe...
Iya, Pak. Budhe, kan, nggak ada
fasilitas untuk antar makanan ke sini. Makanya saya minta tolong Mama. Mama,
sih, senang-senang saja. Ada kesempatan ngeluyur
positif, kan. Sekalian Mama kadang-kadang jalan untuk urusan bisnisnya.”
Luken
tersenyum sambil kembali menekuni isi map-map di tangannya.
“Mela
kapan selesai UAS, Liv?”
“Sudah
selesai Jumat kemarin, Pak.”
“Berarti
sudah free, ya?”
Olivia
mengangguk.
Tak
lama setelah Olivia duduk kembali di belakang mejanya, telepon berdering.
Sandra lebih dulu mengangkat dan menjawabnya. Perempuan itu kemudian menoleh ke
arah Olivia.
“Tadi
dirimu pesen sama Mbak Lila, kalau Bu Arlena datang, suruh tunggu sebentar?”
“Iya,”
angguk Olivia.
“Bu
Arlena sudah dibawah.”
“Oh?
Aku ke sana.”
“Ya,
Mbak Livi segera turun, Mbak Lil,” Sandra kembali ke gagang telepon yang masih
dipegangnya.
Olivia
segera mengambil dari dalam laci sehelai amplop coklat yang didapatnya dari
bagian keuangan. Setelah berpamitan pada Sandra, Olivia turun untuk menemui
ibunya.
* * *
Menjelang
berakhirnya istirahat makan siang, di grup WA Coffee Storage bertaburan berbagai pujian soal menu makan siang
baru saja. Dengan harga yang sama, mereka mendapatkan ekstra puding walaupun
sudah ada buah. Dan rasa makanannya pun benar-benar enak. Porsinya pun lebih
banyak. Luken sempat mengerutkan kening.
“Ini
Bu Min nggak rugi, Liv?” tatapannya tampak khawatir.
Olivia
pun berpikiran sama. Maka ia berinisiatif menelepon Minarti dan membuka speaker. Dengan tegas Minarti menyatakan
bahwa semuanya sudah dihitung dengan cermat, termasuk ongkos bensin Arlena
walaupun yang bersangkutan tidak mau menerimanya, juga ekstra berbagai variasi
puding atau kue. Bahkan ia menggenapinya menjadi 20 kotak, siapa tahu ada yang
bermaksud menambah. Ia sama sekali tidak rugi. Hanya saja ia meminta tolong
agar kotak-kotak kembali padanya keesokan hari dalam keadaan lengkap, bersih, dan siap pakai.
“Keuntungannya lebih dari
cukup, Liv. Sepadan dengan tenaga yang sudah Budhe keluarkan. Ayolah, jangan terlalu khawatir
begitu.”
Olivia
kemudian menutup pembicaraan itu dengan ucapan terima kasih. Ia menatap Luken
yang wajahnya tampak lega.
“Syukurlah,”
angguk Luken. “Sayangnya... nggak dari dulu kita katering ke Bu Min.”
Baik
Sandra maupun Olivia tertawa.
“Rupanya
harus jatuh korban dulu, Pak,” timpal Sandra.
Luken
tertawa sambil menggelengkan kepala, kemudian masuk ke ruang kerjanya.
* * *
Lewat
sedikit dari pukul dua siang, satu demi satu staf di lantai bawah mulai
meninggalkan kursi mereka. Di lantai atas, Sandra ragu-ragu sejenak karena
melihat Olivia masih duduk manis di kursinya, sibuk mengetik dan memelototi
layar laptop.
“Mbak...,”
panggilnya kemudian. Ragu-ragu.
“Ya?”
Olivia menoleh.
“Ini
sudah boleh pulang, kan?”
Olivia
mengalihkan tatapan ke arah jam dinding di seberangnya. Pukul 02.09 Ia
kemudian kembali menatap Sandra.
“Bolehlah...,”
dikerutkannya kening. “Kan, Bapak tadi bilang boleh pulang jam dua.”
“Dirimu
nggak siap-siap?”
“Oh...,”
Olivia tersenyum. “Aku nanti dulu, Bu. Sekalian mau jemput Papa. Kalau aku cabut sekarang, malah kelamaan bengong
tunggu Papa keluar. Ibu kalau mau pulang, pulang saja.”
Sandra
mengangguk, kemudian melangkah ke kantor Luken untuk berpamitan. Laki-laki itu
keluar hampir bersamaan dengan Sandra mulai menuruni tangga. Sudah menenteng
tas laptopnya.
“Liv?
Nggak pulang?”
Olivia
mengalihkan tatapan dari layar laptop.
“Tanggung,
Pak. Sekalian saya mau jemput Papa.”
“Ya,
sudah, aku temani kamu dulu.”
“Lho,
Bapak kalau mau pulang, silakan. Saya nggak apa-apa, kok, ditinggal.”
“Santai
saja, Liv.”
Laki-laki
itu kemudian duduk di belakang meja Sandra. Asyik dengan ponselnya. Sekilas
Olivia melirik. Sebersit rasa iba timbul dalam hatinya.
Laki-laki
itu sepertinya menghabiskan waktu dengan tenggelam dalam pekerjaan. Di luar
itu, Olivia sama sekali tak tahu tentang kehidupan pribadi Luken. Karena
laki-laki itu juga tak pernah menceritakan apa-apa, dan ia sendiri merasa
terlalu rikuh untuk bertanya, pada Sandra sekalipun.
Seandainya dia seorang ayah,
pastilah dia ayah yang sangat baik...
Satu
baris ketikan terakhir Olivia penuh dengan typo.
Gadis itu buru-buru mengembalikan fokus pikirannya. Tapi sudah telanjur terburai
tak keruan. Maka ia memutuskan untuk menyudahi dan menyimpan saja pekerjaannya itu. Setelah menyimpan file
dan mematikan laptop, ia kemudian merapikan berbagai berkas dan tumpukan map di
mejanya. Diperiksanya dengan teliti semua isi map sebelum diikembalikannya ke
lemari arsip.
“Sudah
selesai, Liv?”
“Iya,
Pak, sudah,” angguknya.
Keduanya
bersamaan turun dan menuju ke mobil masing-masing.
“Sampai
ketemu lagi, Liv,” senyum Luken sebelum menghilang ke dalam mobilnya.
* * *
Prima
menepikan mobilnya pelan-pelan di depan penjual martabak langganannya. Di jok
sebelah yang sandarannya agak rebah ke belakang, Olivia masih terlelap. Pelan-pelan
Prima keluar untuk mengambil pesanan, dan kembali tak sampai lima menit
kemudian. Diletakkannya tas kertas berisi tiga kotak martabak di jok belakang
sebelum kembali melajukan mobil Olivia.
Ia
menoleh setelah menghentikan mobil pada lampu merah terakhir, satu belokan
sebelum masuk ke komplek perumahan mereka. Gadis sulungnya masih terlelap
dengan wajah polos bak seorang bayi. Ia tersenyum.
How time flies so fast.
Ia
menggeleng samar.
Too fast. Bahkan si bungsu
pun sudah mulai kenal yang namanya ketertarikan pada lawan jenis.
Tapi
ia sungguh bersyukur karena tidak terlalu banyak kehilangan saat-saat berharga
bersama ketiga buah hatinya. Ia masih bisa melihat dan mengikuti pertumbuhan
dan perkembangan ketiganya nyaris detik demi detik. Baginya, itulah harta yang paling
berharga sepanjang hayat.
Ketika
arus lalu lintas mulai terurai kembali, dengan halus ia menginjak pedal gas.
Mobil itu melaju kembali. Nyaris tanpa tersendat berbelok masuk ke kompleks.
Ketika ia berbelok lagi di ujung jalan, bibirnya membundar karena melihat ada
sebuah SUV parkir di depan pagar. Ketika ia mendekat, diilihatnya mobil itu
tidak menutupi pintu pagar yang sudah terbuka lebar. Maka ia langsung
melajukannya hingga berhenti di carport.
Hingga
Prima mematikan mesin mobil, si putri tidur belum juga membuka mata. Terpaksa
ditepuk-tepuknya pipi Olivia dengan lembut.
“Liv...
Livi... Liv... Bangun, dong... Sudah sampai rumah ini...”
Tapi
gadis itu begitu lelapnya sehingga hanya bergerak sedikit saja, masih dengan
mata terpejam rapat. Arlena yang keluar menyambut melalui pintu depan segera
mendekat begitu diihatnya Prima tidak langsung turun dari mobil. Prima membuka
pintu kiri depan dari dalam. Ia membungkuk sedikit ke arah Arlena yang
melongok.
“Anak
ini pulas banget, nggak bisa dibangunin,” bisik Prima.
Arlena
menggelengkan kepala. Ditatapnya Prima.
“Ya,
sudah, Papa masuk dulu. Biar aku yang bangunin Livi. Ada Mas Luken itu.”
“Mela
ada?” tanya Prima sebelum keluar.
Arlena
mengangguk.
“Biar
kusuruh bawakan barang-barang Livi. Ada martabak juga di belakang.”
Arlena
kembali mengangguk. Dengan lembut, ia kemudian mencoba membangunkan gadis
sulungnya. Bahkan hingga Carmela selesai mengurusi semua barang bawaan yang
tertinggal di mobil, Olivia masih juga memejamkan mata.
Baru
lima menit kemudian usaha Arlena berhasil. Dengan wajah linglung, Olivia
mengerjapkan matanya yang sedikit merah. Ditatapnya Arlena dengan sorot mata bingung.
Ia kemudian mengerjap lagi dan melihat ke arah luar.
“Lho,
sudah sampai rumah?”
Ia
menengok ke kanan. Kosong. Arlena tertawa ringan. Olivia menguap lebar sambil
mengucek matanya. Ia kemudian kembali menegakkan sandaran jok dan beringsut
keluar. Saat hendak masuk melalui garasi, langkahnya terhenti. Sosok tinggi
tegap itu berdiri di sudut teras di dekat carport.
Menatapnya sambil tersenyum.
* * *
Kenapa waktunya selalu tidak
tepat?
Dengan
frustrasi, Olivia menatap wajah jeleknya melalui pantulan cermin. Cemberut,
dengan kelelahan jelas-jelas terlihat menggantung di bawah kedua matanya. Seandainya
Luken mau berterus terang hendak mampir sepulang kerja, tidak perlulah ia
berharap terlalu tinggi agar seluruh tubuh letihnya dipijat Mpok Ranti
setibanya di rumah.
Ia
sudah telanjur mengirim pesan pada Muntik agar memesan jasa Mpok Ranti setelah
pukul tujuh petang. Tapi ia terpaksa membatalkannya begitu tahu Luken sudah
menunggunya di rumah. Kemarin, sepanjang akhir pekan, Mpok Ranti sudah penuh
dipesan para pelanggan jasa pijat urutnya. Sama sekali tidak ada waktu untuk
Olivia.
Dan
tadi, ia menjemput Prima, karena menyukai waktu yang berlalu bersama ayahnya
itu. Hanya mereka berdua. Walaupun ia terpaksa membiarkan Prima menyetir
sendirian karena ia sudah tak kuat lagi menahan kantuk.
Tentunya
Luken juga tidak bisa disalahkan begitu saja. Laki-laki itu bebas berkunjung
kapan saja ia mau. Toh, Luken punya Carmela sebagai penggemarnya. Tapi apakah
tega tidak meladeni laki-laki itu, yang juga sama-sama merasakan lelah?
Dihelanya
napas panjang ketika mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar. Dengan
malas-malasan ia beringsut. Wajah Arlena menyembul begitu ia membuka pintu.
“Mama
urut, ya, Liv?” ucap Arlena lembut. “Mama tahu kamu sudah beberapa hari
menumpuk lelah. Pijatan Mama pastinya nggak senyaman Mbok Ranti. Tapi daripada
kamu malah jadi keterusan nggak enak badan...”
Tanpa
daya, Olivia mengangguk. Ia tidak punya pilihan lain. Lebih tepatnya lagi, ia
sudah tidak mampu berpikir panjang.
“Tunggu,
Mama ambil minyaknya dulu,” Arlena terlihat bersemangat. “Kamu siap-siap, ya?”
Olivia
mengangguk lagi.
* * *
Kenapa waktunya selalu tidak
tepat?
Dengan
kesal Luken membanting punggungnya di atas ranjang. Diam-diam ia kesal pada
dirinya sendiri.
Kenapa rasanya sulit sekali
sekadar mengatakan ‘Liv, aku nanti ke rumahmu, ya?’.
Tak
perlu menggunakan mata hati. Mata telanjangnya jelas-jelas melihat wajah letih
Olivia yang sedikit pucat. Entah karena riasan wajah gadis itu sudah luntur,
ataukah memang benar-benar memucat. Yang jelas, wajah bangun tidur gadis itu
terlihat benar-benar tidak ‘hidup’.
Saat
ia hendak buru-buru berpamitan karena melihat kondisi Olivia yang seperti itu,
baik Arlena maupun Prima menahannya. Memintanya untuk ikut makan malam bersama
lebih dulu. Lagi-lagi ia merasa tidak punya alasan untuk menolak. Tidak mampu.
Dan
Olivia? Tetap dengan keheningan dan sikap diamnya. Sedikit saja menanggapi
pembicaraan. Seperlunya. Dengan kelelahan yang terlihat makin kental.
Seharusnya aku...
Sedetik
kemudian Luken meralat pikirannya dengan kekesalan bertumpuk. Kekesalan terhadap
diri sendiri.
Penyesalan memang selalu
datang belakangan!
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com
(dengan modifikasi)
Lek gek ngarep jenenge pendaftaran wkkkkkkkkk
BalasHapusJaim karo2 ne yoooo....
BalasHapusgood post mbak
BalasHapus